Belakangan ini, jagat peradilan tengah diramaikan oleh wacana penggunaan plat dinas khusus untuk aparatur Mahkamah Agung (MA).
Kebijakan ini mulai diperbincangkan seiring munculnya kebutuhan identitas kelembagaan yang lebih jelas di jalan raya.
Tujuannya mulia: sebagai simbol pengenal sekaligus bentuk kehormatan atas tugas negara yang diemban oleh para hakim dan aparatur pengadilan.
Namun, di balik niat baik itu, muncul pula pertanyaan: apakah kebijakan ini akan membawa manfaat lebih besar atau justru menyimpan potensi utang etik yang berbahaya di kemudian hari?
Publik, dengan sensitivitasnya yang semakin tinggi terhadap simbol-simbol kekuasaan, tentu akan menyoroti langkah ini dengan cermat.
Secara hukum, tidak ada larangan penggunaan plat dinas oleh lembaga peradilan. Dalam sistem keprotokolan negara, kendaraan dinas adalah bentuk fasilitas yang sah.
Namun, Mahkamah Agung selama ini dikenal sebagai lembaga yang menjunjung tinggi kesederhanaan, integritas, dan kehati-hatian dalam berinteraksi dengan simbol negara. Di sinilah nilai kehati-hatian diuji.
MA sebagai lembaga yudikatif memiliki peran penting dalam menjaga marwah keadilan. Simbol, sekecil apa pun, bisa berdampak pada persepsi publik.
Oleh karena itu, penerapan kebijakan plat dinas harus dibarengi dengan pedoman etika yang ketat. Misalnya, hanya digunakan untuk kepentingan kedinasan, tidak untuk kepentingan pribadi atau gaya hidup, dan tetap menjunjung nilai kesederhanaan.
Peran hakim sebagai wajah peradilan juga menjadi sorotan. Penggunaan fasilitas negara, termasuk kendaraan berplat khusus, tidak boleh mengaburkan esensi utama profesi hakim: melayani keadilan tanpa pamrih.
Bila tak dikelola dengan bijak, kebijakan ini bisa menjadi celah yang menurunkan kepercayaan publik.
Solusi ke depan bisa berupa regulasi internal yang mengatur batasan dan mekanisme pengawasan. Edukasi kepada aparatur juga penting, agar simbol bukan dijadikan kebanggaan semata, tapi sebagai pengingat akan tanggung jawab yang besar.
MA bisa menggandeng Komisi Yudisial dan Bawas MA dalam menyusun kode etik pelengkap bila diperlukan.
Akhirnya, kebijakan apa pun akan kembali pada cara kita menerapkannya. Plat dinas bisa jadi simbol kehormatan, asal tidak menjelma menjadi jurang antara harapan publik dan perilaku lembaga.





