Dalam sengketa perdata di Indonesia, para pihak sering memilih berbagai cara penyelesaian, baik melalui jalur litigasi di pengadilan maupun alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti arbitrase atau mediasi. Namun, tidak sedikit pula pihak yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi.
Biasanya, litigasi dilakukan setelah upaya musyawarah atau teguran tidak membuahkan hasil, terutama jika salah satu pihak dianggap wanprestasi (ingkar janji) atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, terdapat beberapa asas hukum acara perdata yang menjadi pedoman utama, antara lain:
- Asas actori incumbit probation: Pihak yang mengajukan dalil wajib membuktikannya.
- Asas audi et alteram partem: Para pihak berperkara harus diperlakukan sama dan didengar secara adil di hadapan hukum.
- Asas putusan pengadilan wajib berlandaskan pembuktian fakta dan argumentasi yang kuat.
- Asas iudex non ultra petita: Hakim tidak boleh memutus perkara melebihi apa yang diminta (petitum).
- Asas pengakuan menyeluruh terhadap pokok sengketa yang dapat mengakhiri perkara perdata.
Kewajiban pembuktian ini, ditegaskan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg.
Namun, dalam praktik persidangan, beberapa hal tidak perlu dibuktikan, seperti: Notoir feiten, fakta yang sudah diketahui publik secara luas. Juga, fakta yang telah diakui secara tegas oleh pihak lawan.
Pertanyaan penting kemudian muncul, soal bagaimana jika penggugat tidak mengajukan alat bukti untuk memperkuat dalil gugatannya di persidangan? Apa akibat hukumnya?
Untuk menjawab ini, merujuk pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1676 K/Pdt/2003 yang diputus pada 17 Juni 2023 oleh Majelis Hakim Agung RI, Ketua Majelis Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., bersama anggota hakim H. Toton Suprapto, S.H. dan Abdul Rahman Saleh, S.H., M.H.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menegaskan, jika dalil gugatan disangkal tergugat, penggugat wajib membuktikannya sesuai Pasal 163 HIR. Dan jika penggugat tidak mengajukan alat bukti, hakim berwenang menolak gugatan tersebut.
Hal ini juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 540 K/Sip/1972 yang diputus pada 11 September 1975, oleh Majelis Hakim Agung RI DH Lumbanradja (Ketua Majelis), dengan anggota hakim Bushtanul Arifin, S.H. dan R.Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H.
Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, penggugat yang tidak mengajukan alat bukti saat dalil gugatannya disangkal tergugat berisiko besar gugatannya ditolak oleh hakim.
Kaidah hukum ini dirangkum dalam buku Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad karya M. Ali Boediarto, S.H.
Semoga pembahasan mengenai kaidah hukum ini dapat menjadi referensi bermanfaat bagi para hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah wawasan bagi para pembaca.