Kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari perikatan keperdataan dengan subjek hukum lainnya, baik sebagai individu atau saat bertindak mewakili suatu badan hukum.
Ikatan keperdataan sendiri, lahir dari persetujuan (perjanjian) atau diharuskan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata. Bentuk perikatan dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (vide Pasal 1234 KUHPerdata).
Bagi subjek hukum yang melanggar perikatan diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga, karena tidak dipenuhinya perikatan dan dimulainya sejak setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatan, sebagaimana Pasal 1243 KUHPerdata.
Demikian juga, perikatan dapat dibuat dengan memberikan ancaman hukuman, yang wajib dilakukan pihak pelanggar perikatan dan ancaman hukum merupakan jaminan pelaksanaan perikatan, berdasarkan ketentuan Pasal 1304 KUHPerdata.
Namun, seandainya perikatan pokok atas kesepakatan bersama para pihak dinyatakan batal, dimana akibatkan batalnya juga ancaman hukuman. Sedangkan dalam kondisi para pihak membatalkan ancaman hukuman, tidak secara mutatis mutandis perikatan pokoknya batal (vide Pasal 1305 KUHPerdata).
Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, juga menjelaskan perbuatan melawan hukum yang termasuk perikatan berdasarkan undang-undang, membebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum untuk mengganti kerugiannya.
Tanggung jawab tindakan melawan hukum sendiri, tidak hanya terbatas pada diri pribadi subjek hukum, melainkan dapat juga dikenakan kepada anak, orang yang mewakili urusan subjek hukum lain dan termasuk hewan peliharaannya, sesuai Pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata.
Bagi para pihak, yang merasa perikatannya dilanggar dalam suatu hubungan keperdataan, dapat menuntut haknya baik melalui penyelesaian sengketa alternatif, seperti melalui arbitrase (bilamana diperjanjikan oleh para pihak) atau melalui gugatan perdata di pengadilan.
Tidak sedikit, pelanggaran ikatan keperdataan masih memiliki keterikatan antara satu persoalan dengan beragam persoalan lainnya, sehingga tidak sedikit subjek hukum menilainya dapat digabungkan dalam satu gugatan perdata.
Gugatan perdata diajukan baik oleh prinsipal sendiri atau melalui kuasa hukum yang ditunjuknya, sesuai Pasal 118 Ayat 1 HIR dan Pasal 142 Ayat 1 Rbg.
Hukum acara perdata, sebagaimana HIR dan Rbg, tidak memberikan pengaturan penggabungan gugatan. Namun, secara praktik penggabungan dua gugatan atau lebih ke dalam satu gugatan dapat diterima dan dilakukan.
Tujuan penggabungan gugatan, guna mempersingkat proses penyelesaian perkara, menghemat waktu dan biaya perkara. Satu-satunya ketentuan tertulis, yang membahas penggabungan gugatan adalah Pasal 103 Rv.
Pasal 103 Rv tersebut, menjelaskan penggabungan gugatan mengenai hak menguasai (bezit) dan hak milik (petitoir) tidak dapat dilakukan. Maka timbul pertanyaan, Apakah terdapat syarat lainnya dalam penggabungan gugatan perdata yang dijalankan dalam praktek persidangan perdata?
Kaidah Hukum Penggabungan Gugatan menurut Yurisprudensi MA RI
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan menguraikan kaidah hukum dari beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI, sebagaimana tercantum dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan kaidah hukum Putusan MA RI Nomor 1652 K/Sip/1975, kumulasi atau penggabungan beberapa gugatan wajib memiliki hubungan erat antara satu dengan lainnya, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum acara yang berlaku.
Yang dimaksud bertentangan dengan hukum acara di sini adalah, ketika penyelesaian suatu perkara tunduk pada hukum acara yang berbeda. Meskipun pokok sengketa dalam dua gugatan atau lebih saling berkaitan, penggabungan tidak diperbolehkan jika masing-masing gugatan diatur oleh hukum acara yang berbeda. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA RI Nomor 677 K/Sip/1972.
Demikian pula, Putusan MA RI Nomor 880 K/Sip/1973 menegaskan bahwa penggabungan gugatan harus didasarkan pada hubungan erat antar-gugatan, dengan tujuan menghindari putusan yang saling bertentangan apabila gugatan tersebut diperiksa dan diputus secara terpisah.
Kesimpulannya, berdasarkan kaidah hukum yurisprudensi MA RI, penggabungan gugatan wajib memenuhi dua syarat utama yakni: pertama, harus ada hubungan atau ikatan erat antar-gugatan. Kedua, tidak boleh melibatkan hukum acara yang berbeda, misalnya satu gugatan tunduk pada hukum acara perdata umum, sementara gugatan lainnya tunduk pada mekanisme perdata khusus seperti perselisihan hubungan industrial.
Dengan memahami kaidah ini, diharapkan artikel ini dapat menjadi referensi bagi para hakim dalam mengadili perkara serupa, sekaligus menambah wawasan hukum bagi pembaca.