MARINews, Medan - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengadakan kerja sama dalam rangka melaksanakan kegiatan sosialisasi dan diskusi kelompok terpumpun terkait tugas, fungsi, dan wewenang LPS kepada Mahkamah Agung.
Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 hari bertempat di Hotel JW Marriott Medan, dari tanggal 16 September 2025 sampai dengan 18 September 2025. Acara diikuti peserta yang terdiri dari pimpinan Pengadilan Tinggi, Hakim Tinggi, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, dan Hakim Tingkat Pertama se-wilayah Sumatera Utara.
Dalam kegiatan tersebut turut dihadiri dari Mahkamah Agung yang diwakili oleh Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., yaitu Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sedangkan dari Lembaga Penjamin Simpanan hadir Direktur Eksekutif Hukum dan Penjamin Simpanan, Dr. Ary Zulfikar, S.H., M.H.
Dr. Ary Zulfikar, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan kegiatan ini bukanlah kegiatan pertama sekali yang pernah dilaksanakan antara LPS dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia, akan tetapi merupakan kegiatan rutin yang hampir setiap tahunnya pernah dilaksanakan. Hal ini sebagai wujud membangun kerja sama dan sinergi antar lembaga dalam membahas persoalan hukum, khususnya terkait pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang LPS, sehingga nantinya bisa memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi masyarakat.
Sedangkan Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada LPS atas inisiatif dan konsistensi dalam menyelenggarakan kegiatan sosialisasi ini, mengingat pentingnya kegiatan ini sebagai wadah untuk memperkuat pemahaman mengenai fungsi, tugas, dan wewenang LPS dalam menjaga stabilitas sistem perbankan serta memberikan perlindungan hukum kepada nasabah.
Ia melanjutkan bahwa dalam kegiatan ini Mahkamah Agung melibatkan Pimpinan Pengadilan Tinggi, Hakim Tinggi, Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama, dan Hakim Tingkat Pertama. Peserta tersebut berasal dari wilayah hukum yang terdapat banyak bank seperti BPR dan BPRS, yang berpotensi menimbulkan sengketa hukum dan perlu ditangani secara tepat serta profesional oleh lembaga peradilan. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam akan membantu hakim dalam mengadili sengketa, khususnya terkait dengan tupoksi LPS, sehingga perlindungan hukum bagi masyarakat dapat terwujud secara optimal.
Kemudian, Bapak Sobandi menekankan bahwa sinergi antara Mahkamah Agung dan LPS harus tetap mengedepankan independensi masing-masing lembaga. Hal ini menjadi landasan kuat dalam mendukung tercapainya keadilan dan perlindungan hak masyarakat. Independensi ini penting dijaga agar tidak menimbulkan kesan seolah-olah Mahkamah Agung mendapatkan intervensi dari LPS melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Melalui forum ini diharapkan komunikasi dan kolaborasi antara aparatur pengadilan dengan LPS akan semakin efektif dalam mengimplementasikan peraturan, kebijakan, serta penyelesaian perkara perbankan dengan tetap menjaga independensi kedua lembaga.
Lanjut Bapak Sobandi, sebagai bagian dari upaya memperkuat kepastian hukum dalam penanganan perkara perbankan, khususnya berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang LPS, Mahkamah Agung telah menghimpun dan mempersiapkan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Perbankan dan Perusahaan Asuransi dalam Likuidasi dan Pasca-Likuidasi di Pengadilan Niaga.
Rancangan Perma ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman yang jelas dan terukur bagi aparatur pengadilan dalam mengadili sengketa yang timbul pada proses bank dalam likuidasi, termasuk sengketa penjaminan simpanan nasabah serta sengketa yang muncul pada tahap pasca-likuidasi. Rancangan Perma tersebut juga hadir untuk memenuhi akses keadilan bagi masyarakat pencari keadilan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, yakni penyederhanaan tahapan persidangan serta tata cara delegasi pemeriksaan autentifikasi bukti surat. Diharapkan hadirnya Perma ini akan melengkapi hukum acara formil yang masih mengalami kekosongan hukum, serta memberikan aturan mekanisme teknis penyelesaian sengketa yang selama ini belum diatur secara spesifik.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Pengadilan Tinggi Medan Dr. H. Siswandriyono, S.H., M. Hum., turut memberikan sambutan. Dalam sambutannya, ia mempresentasikan tentang manfaat adanya LPS. Namun, seiring pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang LPS, terjadi persoalan-persoalan hukum yang berakhir pada penyelesaian sengketa di pengadilan. Salah satu kasus nyata adalah kasus Bank Century. Bapak Siswandriyono menambahkan bahwa persoalan-persoalan hukum ini diharapkan dapat dibahas sebagai bahan diskusi.
Untuk kegiatan ini turut dihadirkan narasumber dari LPS, yaitu Bapak Sigit Sumarlan selaku Direktur Group Litigasi yang memberikan materi terkait Penanganan Perkara Hukum oleh LPS, Bapak Daly Rustamblin selaku Direktur Group Likuidasi Bank yang memberikan materi terkait Likuidasi Bank di LPS, dan Bapak Sofyan Baihaqi selaku Direktur Group Penanganan Klaim Bank LPS yang memberikan materi terkait Program Penjaminan Simpanan.
Selain dari LPS, hadir pula narasumber dari kalangan akademisi, yaitu Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M. Hum., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang menyampaikan materi terkait Aspek Keperdataan dan Perbankan dikaitkan dengan Fungsi, Tugas, dan Wewenang LPS.
Dari diskusi terhadap materi-materi yang disampaikan, secara umum terdapat beberapa persoalan terkait ranah kewenangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa perbankan dalam kaitannya dengan fungsi, tugas, dan wewenang LPS. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, yang pada pokoknya mengatur bahwa apabila nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) merasa dirugikan, maka nasabah dimaksud dapat:
a. mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata dan jelas; atau
b. melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
Dari ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa berbentuk alternatif. Namun, dalam hal upaya hukum melalui pengadilan, tidak secara eksplisit disebutkan pengadilan mana yang berwenang mengadili sengketa terkait. Hal ini juga berkaitan dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, terkait klaim penjaminan yang dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi. Hal tersebut dapat menimbulkan perdebatan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Perdata.
Kemudian, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, disebutkan: “Dalam hal terdapat sengketa dalam proses likuidasi, maka sengketa dimaksud diselesaikan melalui Pengadilan Niaga sesuai ketentuan yang berlaku.” Terkait hal tersebut, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, atau LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan, maka LPS meminta pencabutan izin usaha bank dimaksud sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sini muncul persoalan hukum. Pencabutan izin usaha yang berbentuk keputusan tata usaha negara merupakan ranah administratif dan objek sengketa TUN. Namun, di sisi lain, Pasal 43 menyebutkan bahwa dalam rangka melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya, penyelesaiannya dikaitkan dengan Pasal 50, yaitu melalui Pengadilan Niaga. Hal ini menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan.
Selain itu, terkait fungsi, tugas, dan wewenang LPS dari kasus-kasus yang penyelesaiannya melalui pengadilan, selama ini juga terdapat sengketa pidana dan perdata di Pengadilan Negeri, khususnya Pengadilan Niaga. Namun, ada pula ranah administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 terkait tugas LPS merumuskan serta menetapkan kebijakan. Hal ini merupakan urusan administratif. Dalam Pasal 6 huruf i juga diatur tugas LPS menjatuhkan sanksi administratif. Hal ini memperjelas potensi terjadinya sengketa TUN yang menjadi kewenangan PTUN.
Selain persoalan tersebut, peserta sosialisasi juga mengajukan pertanyaan terkait substansi penyelesaian sengketa di pengadilan, seperti permasalahan likuidasi dan titik singgung tugas, fungsi, serta wewenang LPS dengan OJK maupun BI.
Dengan demikian, kegiatan sosialisasi ini dirasakan sangat tepat sebagai langkah awal bagi Mahkamah Agung untuk membahas Rancangan Perma tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Perbankan dan Perusahaan Asuransi dalam Likuidasi dan Pasca-Likuidasi di Pengadilan Niaga. Hal ini juga untuk membahas persoalan hukum terkait tupoksi LPS dalam kondisi kekosongan hukum, sebagaimana disampaikan oleh Dr. H. Sobandi, S.H., M.H.
Diharapkan kegiatan sosialisasi seperti ini dapat terus berlanjut di masa depan sebagai bagian dari upaya memperkuat kepastian hukum dalam penanganan perkara perbankan, khususnya berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang LPS, serta untuk memenuhi akses keadilan bagi masyarakat pencari keadilan dengan tetap mengedepankan independensi kedua lembaga.