Perkara perubahan nama anak kerap dipandang sebagai urusan administratif belaka. Datang ke pengadilan, ajukan permohonan, lalu selesai. Namun, anggapan sederhana ini sesungguhnya menutupi persoalan hukum yang jauh lebih mendalam. Perubahan nama anak bukan sekadar soal ejaan, estetika, atau kenyamanan orang tua, melainkan menyangkut identitas keperdataan seorang anak yang akan melekat sepanjang hidupnya.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah permohonan perubahan nama anak yang masih di bawah umur dapat diajukan secara sepihak oleh salah satu orang tua, atau seharusnya diajukan oleh kedua orang tua secara bersama-sama? Pertanyaan ini menjadi signifikan karena menyentuh tiga dimensi sekaligus: pelaksanaan kekuasaan orang tua, perlindungan hak anak, dan kepastian hukum dalam administrasi kependudukan.
Nama Anak: Identitas Hukum, Bukan Formalitas
Dalam hukum, nama bukan sekadar tanda pengenal sosial. Nama adalah bagian dari identitas hukum yang menghubungkan seorang anak dengan berbagai hak dan kewajiban keperdataan: akta kelahiran, pendidikan, kesehatan, warisan, hingga relasi hukum di masa depan. Oleh karena itu, setiap perubahan atas nama anak harus diposisikan sebagai tindakan hukum, bukan sekadar tindakan administratif.
Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Hak ini bukan hanya milik anak, tetapi juga menjadi kewajiban negara untuk memastikan bahwa identitas tersebut dilindungi dari tindakan yang berpotensi merugikan kepentingan terbaik anak.
Dalam konteks hukum keluarga, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan fondasi yang jelas. Pasal 45 menegaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Norma ini tidak memberi ruang bagi tafsir bahwa tanggung jawab terhadap anak dapat dijalankan secara individual selama hubungan hukum keorangtuaan masih utuh.
Lebih lanjut, Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum berusia 18 tahun berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan ayat (2) menegaskan bahwa orang tua mewakili anak dalam setiap perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Frasa “orang tua” dalam norma ini secara sistematis dan logis harus dimaknai sebagai kedua orang tua, bukan salah satunya.
Dengan demikian, kewenangan bertindak atas nama anak merupakan perpanjangan dari kekuasaan orang tua yang pada prinsipnya dijalankan secara bersama. Perubahan nama anak, sebagai perbuatan hukum yang memengaruhi identitas keperdataan anak, semestinya mencerminkan kehendak kolektif tersebut.
Risiko Hukum Permohonan Sepihak
Ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menentuan bahwa pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Norma ini menegaskan bahwa perubahan nama bukan sekadar tindakan administratif, melainkan tindakan hukum yang mensyaratkan adanya pemeriksaan yudisial terhadap pemohon, termasuk penilaian atas keabsahan kewenangan pihak yang mengajukan permohonan.
Oleh karena itu, pengadilan tidak hanya berfungsi sebagai pemberi legitimasi formal, tetapi juga sebagai penjaga kepastian hukum dan perlindungan hak-hak keperdataan pihak lain yang berkepentingan.
Permohonan perubahan nama anak yang diajukan hanya oleh salah satu orang tua, tanpa persetujuan yang sah dari orang tua lainnya, menimbulkan persoalan serius dari sisi hukum acara perdata. Dalam konteks ini, masalahnya bukan terletak pada layak atau tidaknya perubahan nama, melainkan pada kewenangan bertindak (legal standing).
Tanpa adanya persetujuan tertulis atau persetujuan lisan yang dinyatakan secara tegas di persidangan oleh orang tua lainnya, permohonan tersebut tidak memenuhi syarat formil. Ketidakterpenuhan syarat formil ini secara hukum menutup ruang bagi pengadilan untuk memasuki pemeriksaan pokok perkara.
Mengabaikan syarat formil bukan hanya bertentangan dengan prinsip kehati-hatian peradilan, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari. Tidak tertutup kemungkinan, perubahan nama yang dikabulkan secara sepihak justru memicu sengketa baru antara orang tua, bahkan merugikan kepentingan anak itu sendiri.
Pernyataan bahwa permohonan perubahan nama anak tidak dapat diterima bukanlah bentuk penilaian negatif terhadap substansi permohonan. Sebaliknya, hal tersebut merupakan penegasan bahwa pengadilan berkewajiban menjaga tertib hukum, memastikan kewenangan bertindak terpenuhi, serta melindungi kepentingan terbaik anak secara berimbang.
Dalam perspektif ini, kehati-hatian pengadilan justru menjadi instrumen perlindungan, baik bagi anak maupun bagi kedua orang tua. Pengadilan tidak menutup pintu perubahan nama, tetapi memastikan bahwa perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur yang sah, adil, dan mencerminkan tanggung jawab bersama sebagai orang tua.
Penutup
Perubahan nama anak bukan ruang bagi tindakan sepihak, melainkan proses hukum yang menuntut kehati-hatian dan tanggung jawab bersama. Dalam pertemuan antara hukum keluarga, perlindungan anak, dan hukum acara perdata, menjadi terang bahwa kepentingan terbaik anak hanya dapat dijaga melalui prosedur yang tertib dan peran aktif pengadilan. Dalam konteks ini, penerapan prinsip ex officio memungkinkan hakim memastikan bahwa permohonan diajukan oleh pihak yang berwenang dan benar-benar diarahkan untuk melindungi masa depan anak, bukan sekadar mencerminkan kehendak sepihak orang tua.





