Mahkamah Agung menyatakan sependapat dengan permohonan Pemohon bahwa Pasal 81A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah bertentangan secara bersyarat dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal tersebut disampaikan oleh Adji Prakoso, Hakim Yustisial Mahkamah Agung, yang mewakili Mahkamah Agung menyampaikan keterangan Pihak Terkait dalam Sidang Judicial Review terhadap UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi, UU Komisi Yudisial, dan UU Perbendaharaan Negara yang teregister dalam Nomor 189/PUU-XXIII/2025, Selasa, (9/12) di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.
Sebagai informasi, perkara tersebut dimohonkan oleh Viktor Santoso Tandiasa, seorang Advokat dan Pegiat Hukum Tata Negara.
Dalam penyampaiannya, Adji Prakoso menegaskan bahwa perubahan pola penganggaran lembaga peradilan adalah kunci untuk menjamin independensi anggaran dan menegakkan prinsip Trias Politica secara utuh.
"Pemisahan kekuasaan negara dalam tiga poros, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah bertujuan utama agar tegaknya negara hukum demokratis dan tidak ada yang mendominasi. Dalam teori dimaksud, hakim dan badan peradilan harus mampu menjalankan fungsi secara bebas, tanpa campur tangan dari pihak manapun, termasuk tekanan dari kekuasaan eksekutif, legislatif maupun para aktor sosial dan ekonomi," jelas Adji Prakoso di hadapan majelis hakim MK.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung dalam keterangannya menyebutkan bahwa kondisi riil saat ini memperlihatkan kemandirian anggaran lembaga peradilan belum terealisasi. Hal ini mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan berbagai program Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, guna mewujudkan visi Mahkamah Agung yakni mewujdukan badan peradilan yang agung.
“Namun, ketika anggaran ditentukan oleh pihak luar, Mahkamah Agung kesulitan untuk mengalokasikan dana untuk program-program pengembangan jangka panjang, seperti e Court, e-Berpadu, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Sistem 6 Informasi Administrasi Perkara (SIAP) terintegrasi, Info Perkara, dan Direktori Putusan, termasuk kesulitan Mahkamah Agung untuk mewujudkan amanat perundang-undangan, guna memberikan jaminan perlindungan keamanan bagi hakim, aparatur peradilan lainnya dan keluarganya,” sebutnya.
Menurut Adji, MA berharap alokasi dana operasional dan pembangunan peradilan tidak lagi rentan dipangkas atau diintervensi oleh kekuasaan eksekutif, yang selama ini dinilai dapat mengganggu otonomi lembaga yudikatif.
“Mahkamah Agung sependapat dengan permohonan Pemohon bahwa Pasal 81 UU MA bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa anggaran diajukan oleh Mahkamah Agung kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN dan hasil pembahasan tersebut disampaikan pada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan Undang Undang tentang APBN,” sebut Adji.
Senada dengan Mahkamah Agung, Pihak Terkait dari Lembaga Eksaminasi Hukum yang diwakili oleh Prof. Faisal Santiago menyebutkan bahwa intervensi terhadap anggaran badan peradilan tidak hanya mengganggu independensi kekuasaan kehakiman, tetapi juga berimplikasi pada terhambatnya akses masyarakat terhadap putusan-putusan hakim yang seharusnya dapat diperoleh secara transparan dan bebas biaya. “Independensi anggaran dipandang sebagai bagian independensi kekuasaan kehakiman sehingga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan fungsi peradilan secara optimal dan bebas dari tekanan politik maupun kepentingan tertentu,” tegas Prof. Faisal.
Sidang perkara Nomor 189/PUU-XXIII/2025 tersebut menghadirkan sejumlah pihak terkait untuk mendengar keterangannya, diantaranya Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bappenas, dan Peneliti Eksaminasi Hukum. (AAR)