2026: Saatnya Hakim Punya "Rumah" Sendiri

Mengapa UU Jabatan Hakim Tak Bisa Ditunda Lagi? : Sebuah Refleksi Menyambut Tahun Baru Legislasi
Ilustrasi Hakim dan Keadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi Hakim dan Keadilan. Foto : Freepik

Bayangkan Anda adalah seorang hakim muda yang baru saja ditempatkan di pengadilan terpencil di Maluku Utara. Anda harus menyeberang pulau naik kapal untuk sampai ke tempat kerja. Gaji Anda mengikuti struktur PNS golongan III/a,sekitar Rp2,7 juta. 

Meski status Anda secara hukum adalah "pejabat negara". Tunjangan Anda tidak naik selama 12 tahun. Anda harus memilih, membawa keluarga dengan risiko kesulitan ekonomi, atau bertugas sendirian berbulan-bulan tanpa melihat istri dan anak.

Ini bukan fiksi. Ini adalah potret nyata yang disampaikan Sekretaris Mahkamah Agung dalam rapat dengan DPR beberapa waktu lalu. Bahkan ada hakim yang meninggal di tempat tugas, sendirian tanpa didampingi keluarga.

Maka ketika ribuan hakim se-Indonesia melakukan "Gerakan Cuti Bersama" pada Oktober 2024 lalu, sesungguhnya itu bukan sekadar tuntutan kenaikan gaji. Hal Itu adalah jeritan dari sebuah profesi yang selama 80 tahun kemerdekaan Indonesia masih belum memiliki "rumah hukum" sendiri, berupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur jabatan hakim.

Kabar baiknya, tahun 2026 bisa menjadi titik balik. DPR telah memasukkan RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas Prioritas. Pertanyaannya, akankah momentum ini benar-benar dimanfaatkan?

Hakim Pejabat Negara yang Digaji Seperti PNS

Ada sebuah paradoks yang sudah berlangsung puluhan tahun. Di atas kertas, hakim adalah pejabat negara. UU ASN menyebutnya demikian. UU Kekuasaan Kehakiman mengukuhkannya. Bahkan amendemen UUD 1945 telah mengubah frasa "pelaksana" kekuasaan kehakiman menjadi "pelaku”. Suatu perubahan filosofis yang menegaskan bahwa hakim adalah subjek otonom, bukan sekadar "pegawai" yang menjalankan perintah.

Namun bagaimana dalam praktik?. Hakim direkrut lewat seleksi CPNS. Pangkatnya mengikuti golongan PNS. Gajinya mengacu pada struktur gaji PNS. Kenaikan pangkatnya mengikuti prosedur kepegawaian negeri. Ironisnya, pada tahun 1994 ketika hakim masih resmi berstatus PNS, gaji Hakim justru dua kali lipat gaji PNS biasa! 

Kini ketika statusnya sudah "naik kelas" menjadi pejabat negara, struktur gajinya malah turun kelas menyamai PNS. Demikian pula dengan lahirnya PP 44/2024 sebagai perubahan dari PP 94 tahun 2012, namun hanya menciptakan tabel baru dalam "sangkar" filosofi yang sama. PP ini terdapat sebuah "jebakan" sistemik yang melanggengkan akar masalah: pemisahan antara Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan.

Shimon Shetreet, seorang profesor dari Hebrew University of Jerusalem yang telah empat dekade meneliti kemandirian peradilan, punya istilah untuk kondisi semacam ini: pelanggaran terhadap personal independence. 

Menurut Shetreet, kemandirian peradilan bukan hanya soal hakim bebas memutus perkara tanpa intervensi, itu baru satu sisi. Sisi lainnya adalah jaminan bahwa "masa kerja dan kondisi jabatan hakim harus terlindungi secara memadai."

Logikanya sederhana,  bagaimana kita bisa mengharapkan hakim memutus perkara secara adil dan berani jika ia sendiri tidak memiliki kepastian tentang nasib jabatannya, atau harus pusing memikirkan bagaimana membiayai sekolah anak karena gajinya tidak cukup? 

Atau dengan Bahasa yang lebih tegas lagi, ”Hakim dituntut untuk menegakkan keadilan, namun ia diperlakukan tidak adil.”

Hakim Bukan Pegawai Biasa

Berbagai negara dengan tradisi rule of law yang kuat telah lama memahami prinsip ini. Konstitusi Amerika Serikat, yang berusia lebih dari dua abad, secara eksplisit melarang penurunan gaji hakim federal selama masa jabatannya. 

Jerman memiliki Deutsches Richtergesetz (UU Hakim Jerman) yang mengatur secara komprehensif seluruh aspek jabatan hakim. Belanda memberikan kewenangan kepada Council for the Judiciary untuk mengelola anggaran peradilan secara independen.

Standar internasional pun sudah jelas. Mount Scopus International Standards of Judicial Independence 2008, yang disusun oleh para pakar hukum dari seluruh dunia termasuk Shetreet, menegaskan: "Posisi hakim, kemandirian, jaminan masa jabatan, dan remunerasi yang memadai harus dijamin secara konstitusional atau dilindungi undang-undang."

Standar ini bahkan melarang pengangkatan hakim yang bersifat "percobaan" atau temporer karena dianggap mengancam kemandirian. Mengapa? Karena hakim yang jabatannya tidak pasti akan cenderung "main aman", takut mengambil keputusan berani yang mungkin tidak populer di mata penguasa.

Indonesia, dengan sekitar 9.000 hakim yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, jelas membutuhkan pengaturan yang tidak kalah komprehensif. Namun hingga detik ini, kita belum memilikinya.

Dua Momentum di Penghujung 2025

Tahun 2025 yang akan segera berakhir ini menyisakan dua momentum penting yang bisa menjadi pijakan untuk reformasi di tahun 2026.

Pertama, ada perkara uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan nomor 189/PUU-XXIII/2025. Perkara ini menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Perbendaharaan Negara terkait kemandirian anggaran kekuasaan kehakiman. 

Dalam persidangan November 2025 lalu, MK bahkan meminta masukan dari Bappenas, BPK, dan Mahkamah Agung. Ini sinyal bahwa MK memandang serius isu kemandirian kelembagaan peradilan yang tentu saja berkaitan erat dengan kesejahteraan dan status hakim.

Kedua, hal ini yang lebih konkret, DPR telah memasukkan RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas Prioritas 2026. Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna September 2025. Meskipun kemudian ada beberapa RUU yang dikeluarkan dari daftar prioritas pada Desember 2025, RUU Jabatan Hakim tetap bertahan dalam daftar 64 RUU prioritas.

Wakil Ketua Komisi Yudisial periode 2020–2025, Siti Nurdjanah, menegaskan bahwa UU ini diperlukan untuk memperjelas status hakim yang selama ini "tidak jelas". Sementara Ketua Baleg DPR menyatakan RUU ini tinggal menunggu Surat Presiden. Artinya, bola kini ada di tangan eksekutif dan legislatif.

Apa yang Harus Diatur?

Jika benar RUU Jabatan Hakim akan dibahas serius di 2026, ada beberapa hal krusial yang harus masuk dalam pengaturannya:

Status yang tegas. Hakim harus benar-benar diposisikan sebagai pejabat negara dengan sistem kepegawaian tersendiri, bukan sekadar "PNS plus". Ini mencakup rekrutmen, jenjang karier, hingga pensiun.

Remunerasi yang layak dan pasti. Gaji dan tunjangan hakim harus diatur dalam undang-undang dengan mekanisme penyesuaian berkala yang tidak bergantung pada "kebaikan hati" pemerintah. Tidak boleh lagi ada cerita gaji hakim stagnan 12 tahun sementara inflasi terus berjalan.

Jaminan masa jabatan. Hakim harus memiliki kepastian masa jabatan hingga usia pensiun, dengan mekanisme pemberhentian yang ketat dan hanya bisa dilakukan melalui proses yudisial, bukan keputusan administratif.

Pola karier yang transparan. Promosi dan mutasi harus berbasis merit dan kinerja, bukan "kedekatan" atau faktor non-profesional lainnya.

Perlindungan hukum. Hakim perlu imunitas yudisial yang memadai agar berani mengambil keputusan tanpa takut dikriminalisasi.

Awas "Kocok Ulang" Hakim Agung

Namun ada satu hal yang perlu diwaspadai. Draf RUU Jabatan Hakim yang pernah beredar mengandung ketentuan yang justru bisa melemahkan kemandirian peradilan: gagasan "kocok ulang" hakim agung setiap lima tahun.

Meskipun gagasan ”kocok ulang“ ini sudah dikeluarkan dari RUU, tetapi dikawatirkan akan muncul lagi dalam pembahasan, nantinya.

Dalam draf tersebut, dibunyikan, hakim agung hanya memegang jabatan lima tahun dan harus melalui evaluasi KY serta persetujuan DPR untuk bisa diangkat kembali. Sekilas terdengar demokratis, ada mekanisme kontrol. Namun dalam perspektif personal independence, ini berbahaya.

Mount Scopus Standards secara tegas menolak pengangkatan hakim yang bersifat temporer atau percobaan. Mengapa? Karena hakim agung yang setiap lima tahun harus "menghadap" DPR untuk minta persetujuan akan kehilangan keberaniannya. Bagaimana mungkin ia memutus perkara yang mungkin tidak disukai politisi jika nasib jabatannya bergantung pada persetujuan politisi?

Pembahasan RUU Jabatan Hakim di 2026 harus cermat menghindari jebakan semacam ini. Tujuannya adalah memperkuat kemandirian hakim, bukan justru menciptakan instrumen baru untuk mengendalikan mereka

Resolusi 2026, Berikan Hakim "Rumah" yang Layak

Memasuki tahun 2026, kita memiliki kesempatan historis untuk menuntaskan utang 80 tahun kepada para hakim Indonesia. Mereka yang setiap hari mengetuk palu keadilan dari gedung pengadilan megah di Jakarta hingga bangunan sederhana di pelosok Nusantara, layak memiliki kepastian hukum tentang status dan masa depan mereka.

UU Jabatan Hakim bukan sekadar soal gaji dan tunjangan. Ini tentang menjaga marwah kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu pilar utama negara hukum. Hakim yang sejahtera dan terjamin statusnya akan lebih berani menegakkan keadilan, bahkan ketika keputusannya tidak populer.

Seperti kata Shimon Shetreet: kemandirian peradilan bukan hanya kepentingan hakim, tapi kepentingan seluruh masyarakat. Menjadi Hak Masyarakat. Karena pada akhirnya, setiap warga negara, termasuk anda dan siapapun ,membutuhkan perlindungan dari hakim yang berani dan mandiri.

Maka untuk DPR dan Pemerintah, dari hati yang paling dalam, jadikanlah UU Jabatan Hakim sebagai kado tahun baru 2026 untuk peradilan Indonesia. Jangan biarkan para penjaga keadilan terus "menumpang" di rumah orang lain.

Sudah saatnya hakim punya "rumah" sendiri.