Nani Indrawati: “Hai Hakim Perempuan, Kamu Tidak Sendiri!”

Hakim Agung Kamar Perdata yang juga Ketua umum BPHPI (Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia) itu memahami semuanya. Ia tidak menghakimi. Ia mendengar.
Nani Indrawati bersama keluarga setelah prosesi pelantikan dirinya menjadi Hakim Agung | Dok. Istimewa
Nani Indrawati bersama keluarga setelah prosesi pelantikan dirinya menjadi Hakim Agung | Dok. Istimewa

MARINews, Jakarta: Menjadi hakim itu tidak mudah. Nani Indrawati tahu betul kalimat itu bukan sekadar slogan. Ia mengucapkannya bukan dari kumpulan teori, melainkan dengan kesadaran penuh hasil dari pengalaman panjang sebagai hakim perempuan yang menjalani profesi ini puluhan tahun bersamaan dengan perannya sebagai istri dan ibu.

“Jangan dikira proses saya mulus,” katanya kepada Nur Azizah dan Nadia Yurisa Adila dari MARINews. Kalimat itu ia sampaikan berulang-ulang, terutama kepada para hakim perempuan yang datang dengan cerita berat, seperti rumah tangga yang retak, anak berkebutuhan khusus, kelelahan fisik dan mental, pelecehan seksual di ruang kerja, hingga keinginan untuk menyerah dan keluar dari profesi.

Hakim Agung Kamar Perdata yang juga Ketua umum BPHPI (Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia) itu memahami semuanya. Ia tidak menghakimi. Ia mendengar.

Ia sadar, tantangan yang dihadapi hakim perempuan hari ini bahkan lebih kompleks dibanding generasinya dulu. Ada hakim yang bersurat kepadanya, meminta mutasi karena anaknya membutuhkan terapi khusus. Ada yang terjepit antara kewajiban sidang dan kondisi rumah tangga yang tidak baik-baik saja. Ada pula yang berada di ambang keputusasaan, merasa sendirian menghadapi semua itu.

“Jangan keluar,” kata Nani tegas. Bukan karena ia menutup mata pada penderitaan, melainkan karena ia percaya bahwa semua masalah ada penyelesaiannya.

Ia berkisah, pada masanya, ia juga menghadapi dilema yang tidak sederhana. Ia pernah berada di titik ingin mengundurkan diri. Gaji habis untuk biaya pulang-pergi demi bertemu keluarga. Kewajiban rumah tangga menumpuk. Tugas kantor tidak mengenal kompromi. Ada masa-masa ketika ia merasa semuanya tidak masuk akal.
“Apalagi kalau anak sakit, fikiran tidak menentu,” ucapnya.

Namun ia bertahan. Bukan karena keadaan mudah, tetapi karena ia tidak sendirian.

Saat itu, dukungan suami menjadi penyangga utama. Dengan latar belakang psikologi, suaminya justru mengajarkan satu hal penting, jangan mengambil keputusan besar sendirian saat sedang lelah. 

Bertahan atau mundur bukan soal keberanian semata, tetapi soal melihat perjalanan panjang ke depan. “Kalau kamu keluar, kamu akan mulai dari nol lagi,” begitu kira-kira pertimbangannya waktu itu.

Ibu dua anak tersebut juga belajar bahwa menjadi hakim perempuan berarti harus berdamai dengan rasa bersalah. Rasa bersalah meninggalkan anak untuk tugas negara. Rasa bersalah tidak selalu hadir di rumah. Rasa bersalah karena merasa tidak pernah benar-benar sempurna di dua dunia.

Ia tidak menyangkal itu. Karena memang perempuan berkarir di mana pun itu, selalu dihadapi dengan dua tanggung jawab besar, keluarganya dan karirnya.

Namun ia menemukan satu hal, kualitas hubungan tidak selalu ditentukan oleh seberapa sering bertemu, melainkan oleh komitmen untuk tetap hadir. Ia selalu menegaskan kepada anak-anaknya bahwa ia pergi untuk bekerja, bukan bermain. Ia pulang setiap ada kesempatan. Ia menjaga komunikasi, bahkan sebelum teknologi semudah sekarang.

“Sekarang ada video call, ada WhatsApp. Dulu, telepon saja mahal,” ujarnya sambil tersenyum. 

Tetapi prinsipnya sama: jangan putus hubungan, jangan menghilang dari kehidupan keluarga, meski raga sedang jauh.

Kepada para hakim perempuan muda, Justice Nani juga berbicara jujur soal pilihan hidup. Soal pasangan, soal keluarga, soal konsekuensi profesi. Ia tidak melarang, tidak menggurui, tetapi mengingatkan: pahami betul bahwa profesi hakim menuntut kesiapan mental seluruh keluarga. Komunikasi menjadi kunci. Dukungan pasangan bukan pelengkap, melainkan fondasi.

“Saya pribadi sangat memegang kuat bahwa komunikasi dengan suami dan anak-anak itu penting. Bagi saya once a day itu harus ada komunikasi, menanyakan kabar, sudah makan atau belum. Sederhana memang, tetapi sangat penting!” kata Nani menjelaskan caranya menjaga harmonisasi dengan kelurga di tengah tugas yang tidak ada habisnya.

Selain itu ia juga menyatakan bahwa komitmen harus dijaga. Baik komitmen sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai abdi negara.

Alumnus Universitas Gajah Mada Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa saat ini ia bersyukur melihat pimpinan Mahkamah Agung semakin responsif.

“Setiap permasalahan hakim perempuan yang saya dilaporkan kepada pimpinan, selalu ada tindak lanjutnya, cepat sekali” terangnya.

Ada mutasi yang mempertimbangkan akses rumah sakit besar. Ada disposisi cepat demi kepentingan anak. Baginya, itu adalah bukti bahwa sistem bisa bekerja dengan empati, asal disampaikan, asal diperjuangkan.

Karena itu, pesannya sederhana kepada para hakim perempuan, “tetap kuat, kamu tidak sendirian!” tegasnya.

Terlebih sekarang di BPHPI ada program mentorship, jadi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di lapangan bisa diungkapkan di sana.

Bagi Nani, menjadi hakim perempuan memang seperti “masuk lubang jarum”. Seleksinya ketat, tanggung jawabnya berat, dan jalannya panjang. Namun di sepanjang jalan itu, selalu ada ruang untuk saling menguatkan. Ada senior yang mau mendengar. Ada pimpinan yang mau merespons. Ada solusi yang mungkin belum terlihat hari ini, tetapi bisa diperjuangkan besok.

Nani tidak menjanjikan kemudahan. Ia hanya menyampaikan kejujuran, bahwa menjadi hakim perempuan itu melelahkan, iya. Menyakitkan, kadang. Membuat ingin menyerah, sering. Namun, baginya menyerah bukanlah pilihan.

“Jangan menyerah. Kamu tidak sendiri!” tegasnya.