Lulik, Anak Kolong yang Takut Darah

Profil Dr. Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H. Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI
Dr. Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H. Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI. Foto : Dokumentasi Humas MA
Dr. Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H. Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI. Foto : Dokumentasi Humas MA

“Saya ini anak kolong,” katanya, sambil tersenyum.

Kalimat itu menjadi pintu masuk ke banyak hal: masa kecil di lingkungan tentara, kebiasaan bangun saat hari masih gelap, hingga keberanian mengambil jalan hidup yang tak pernah ia rancang sejak awal. Lahir di Malang, 8 Mei 1963, Anak Kolong tersebut bernama Lulik Tri Cahyaningrum.

Lulik tumbuh di kawasan Singosari, dekat pangkalan, jauh dari kemewahan, dan akrab dengan disiplin. Dari sanalah, tanpa ia sadari, ketangguhan diri perlahan dibentuk.

Ayah tentara. Kakak tentara. Paman-pamannya pun banyak yang berseragam loreng. Rumahnya juga di lingkungan tentara. Untuk itu, sedari dulu hingga sekarang, ia bangga menyebut dirinya sebagai anak kolong. Anak yang hidup dan terbentuk dengan budaya tentara. Bahkan, cita-cita pertamanya adalah menjadi tentara.

Kini ia dikenal sebagai Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI. Padahal dulu, tidak pernah terfikir menjadi hakim apalagi hakim agung.

Kepada MARINews ia menceritakan tentang dirinya, keluarganya, prinsip hidupnya, hingga karirnya yang diawalinya dengan tanpa rencana.

Berangkat Sekolah Saat Dunia Masih Gelap

Sekolah, bagi Lulik kecil, bukan perkara ringan. Jarak yang jauh dan transportasi terbatas membuatnya harus berangkat ketika hari belum sepenuhnya terang. Jam lima pagi, ia sudah harus berjalan, kadang menumpang kendaraan yang kebetulan mengantar tentara ke kota. Keadaan tersebut tidak menyurutkan niat sekolah Lulik kecil.

Selain belajar di sekolah, Lulik dan saudara-saudara kandungnya juga belajar di rumah. Gurunya adalah Ayahnya langsung.

“Di meja besar, setiap malam kami kumpul, Ayah akan periksa satu-satu tugas kami,” cerita Lulik. ia menegaskan bapaknya memiliki pengaruh besar dalam pendidikan ia dan saudara-saudaranya.

Kala siang, sepulang dari sekolah, rumahnya menjadi sunyi, rumah-rumah tetangga juga begitu, karena sepulang sekolah, semua anak-anak diwajibkan tidur siang.

“Saya pernah juga bandel, ya namanya anak-anak, jadi ketika siang, saya bukannya tidur, saya keluar dari jendela, janjian bersama teman-teman saya untuk bermain di kebun belakang rumah,” katanya sambal tertawa mengingat masa kecilnya. 

“Kebetulan rumah kami itu di kelilingi kebun, jadi ya asyik main di kebun,” tambahnya.

Kuliah Hukum Tanpa Rencana Menjadi Hakim

Lulik menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Malang. Lalu ia masuk Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan lulus pada 1986. Ia tidak datang ke dunia hukum dengan peta karier menjadi hakim. Bahkan, pada masa kuliah, ia mengaku belum bisa membedakan jaksa dan hakim.

Untuk itu, selulusnya kuliah, Ia sempat bekerja di perusahaan asuransi dan pekerjaan-pekerjaan lain sambil menunggu pembukaan rekrutmen pemerintah.

Lalu, ia mendengar pemerintah membuka rekrutmen. Rekrutmen calon hakim. Lulik ikut mendaftar. Ya hanya ikut-ikutan, tanpa panggilan jiwa. Hanya mencoba.

Namun ternyata, Ia lulus dan mulai menjalani masa sebagai calon hakim pada 1 Maret 1988 di Pengadilan Negeri Malang. 

Dari keputusan “ikut-ikutan” itulah hidupnya berbelok tajam, menyusuri lorong panjang pengadilan, berpindah kota, menahan cemas, dan menahan tangis.

Pendidikan akademiknya ia lengkapi dengan Magister Hukum dari Universitas Airlangga dan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya yang diraihnya pada 2025.

Aceh: Jauh, Tegang, dan Menguatkan

Penempatan awal membawanya ke Aceh. Daerah jauh, dengan situasi keamanan yang kala itu tak sederhana. Masa konflik, GAM, suara tembakan, dan rasa mencekam menjadi bagian dari keseharian tugasnya sebagai hakim.

Ia mengingat bagaimana suatu ketika suara tembak-tembakan terdengar di sekitar kantor. 

“Ada kontak, ada kontak,” begitu biasanya info yang sampai ke Lulik dan rekan-rekan di kantor. Itu artinya sedang terjadi konflik antara GAM dan yang lain. 

“Kalau sudah begitu, mau tidak mau harus pulang ke rumah,” kenangnya.

Namun Aceh bukan hanya tentang konflik. Di sana ia menemukan persaudaraan. Saudara baru. Keluarga baru. Mereka saling menjaga, saling menguatkan. Aceh baginya juga tentang tanah yang subur, makanan yang enak, dan orang-orang yang baik.

Di Aceh, Lulik memiliki pengalaman membekas yang diingatnya hingga kini. Suatu hari, saat Lulik berada dalam labi-labi (angkutan umum khas Aceh). Tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya. Orang tersebut mengaku bahwa ia adalah terdakwa yang pernah divonisnya. Perasaan Lulik saat itu tidak menentu. Ia khawatir akan ada kejadian buruk yang menimpanya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Terdakwa yang menyapa lebih dulu itu, tersenyum dan berbincang ringan. Tidak ada dendam. Tidak ada ancaman.

Sepanjang perjalanan, Lulik merasa aman dan nyaman. Pengalaman itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa putusan yang dijatuhkan dengan benar, berdasarkan hukum dan hati Nurani, tidak akan melahirkan ketakutan, baik bagi yang memutus maupun yang diputus.

Pindah ke TUN demi Kewarasan

Lulik memulai kariernya sebagai pengadil di Peradilan Umum. Namun ada hal yang tidak bisa ia tawar. Ia tidak kuat melihat darah. Melihat foto luka dan membaca uraian kekerasan membuat kepalanya pusing.

“Meskipun saya anak tentara, saya nggak kuat lihat darah, periksa perkara-perkara kekerasan, saya pusing” katanya jujur.

Untuk itu, ketika ada kesempatan berpindah ke Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), ia mengambilnya. Saat itu memang dibolehkan pindah dari satu lingkungan peradilan ke lingkungan peradilan lain.

Meskipun saat itu, TUN masih dianggap pengadilan sepi, Lulik tak ambil pusing. Ia memilih menghormati batas tubuh dan pikirannya sendiri.

“Dari pada saya pusing terus, lebih baik saya pindah,” ujarnya.

Ia kemudian bertugas sebagai Hakim PTUN Medan, Surabaya, dan Jakarta. Kariernya berlanjut ke jabatan Wakil Ketua PTUN Denpasar dan Surabaya, hingga Ketua PTUN Bandung.

Karirnya makin menanjak, setelah berpindah-pindah daerah dan jabatan, Lulik dipercaya menjadi Hakim Tinggi PT TUN Makassar dan Hakim Tinggi pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung, hingga kemudian dipercaya menjadi Direktur Jenderal Peradilan Militer dan TUN.

Dr. Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H., saat dilantik menjadi Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI. Foto : Dokumentasi Humas MA

Hakim Agung dan Hidup yang Tenang

Pada 9 Juni 2023, Dr. Hj. Lulik Tri Cahyaningrum resmi dilantik sebagai Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI.

Ia pernah hampir gagal dalam proses seleksi karena berbagai isu yang dialamatkan kepadanya.

“Wah banyak banget cobannya. Salah satunya isu bahwa saya menganut Islam radikal,” cerita Lulik terkait prosesnya menjadi hakim agung.

“Ada yang lucu terkait itu, ocehan teman saya yang mengatakan bahwa Lulik itu pakai kerudung aja gak bener, gimana mau Islam radikal,” katanya menirukan ucapan temannya sambal tertawa.

Segala isu tersebut ia hadapi dengan data dan ketenangan. Untuk itu, ia lulus ketika diwawancara Komisi Yudisial dan juga fit and proper test di Komisi III DPR RI.

Lulik bersama Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. setelah prosesi pelantikan Hakim Agung. Foto : Dokumentasi Humas MA

“Kalau Allah sudah berkehendak, jadilah,” katanya.

Bagi Lulik, menjadi hakim itu harus jujur, jujur pada apapun, termasuk pada Tuhan dan diri sendiri. 

Ia menegaskan membuat putusan sesuai aturan bukan hanya kewajiban profesi, melainkan jalan menuju ketenangan hidup. Putusan yang benar membuat hakim bisa hidup tanpa rasa waswas.

“Tidurnya enak,” ujarnya sederhana.

Tidak dihantui rasa bersalah. Tidak takut bertemu siapa pun. Tidak cemas akan balasan apa pun di luar ruang sidang.

“Kejujuran adalah prinsip hidup saya, saya harus bekerja dengan benar, karena apa yang negara berikan kepada saya, nanti diminta pertanggungjawaban oleh malaikat dan Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya tegas.