Apakah Dia Bersalah? Begini Cara Pembuktiannya Menurut Teori Pembuktian Pidana

Tujuan utama pembuktian dalam hukum pidana adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dengan mengungkap kebenaran materiil suatu perkara pidana, yang harus mampu diuji oleh hakim.
Ilustrasi ketuk palu hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi ketuk palu hakim. Foto freepik.com

"Kita serahkan keputusannya kepada Pak Hakim" Beginilah kata kata yang sering kita dengar di persidangan baik dalam pembelaan dan tuntunan.

Hakim memiliki kewenangan yang begitu besar untuk menentukan benar salahnya sesuatu, mengambil sedikit peran Tuhan di atas dunia, maka beberapa literasi memanggilnya Wakil Tuhan, namun demikian hakim tidak boleh sembarangan dan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang dia tangani, apalagi mengadili berdasarkan pesanan atau titipan. Benar salah dan berat ringannya berada di tangan dan hati nurani seorang hakim. 

Dalam hukum pidana, teori pembuktian bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai peristiwa pidana yang terjadi dan menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Berikut adalah beberapa teori pembuktian yang dikenal dalam hukum pidana:

- Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie): Teori ini menyatakan, pembuktian yang benar hanya berdasarkan undang-undang. Hakim hanya menilai pembuktian berdasarkan pertimbangan undang-undang, sehingga mengesampingkan pertimbangan subjektif di luar undang-undang.

- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime): Dalam teori ini, hakim tidak terikat pada alat bukti yang diatur undang-undang. Hakim bebas menggunakan alat bukti untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa atau mengabaikannya, berdasarkan keyakinan yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pengakuan terdakwa.

- Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonnée): Teori ini mewajibkan hakim untuk menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa.

- Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijstheorie): Teori ini merupakan campuran antara conviction raisonnée dan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Salah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Teori ini menumbuhkan asas beyond reasonable doubt, oleh karena hakim itu bukanlah orang yang menyaksikan dan mengetahui persis kejadiannya, maka dengan bukti dan alasan yang masuk akal dan bisa diterima akal sehat serta ber kesesuaian dengan aturan hukum yang berlaku, untuk melindungi kepentingan sosial (social defence) hakim dibayar oleh negara melalui pajak masyarakat untuk mampu menguji dan menentukan suatu perkara.

Di sinilah letak dan bentuk tanggung jawab seorang hakim, karena mahkota seorang hakim terletak dalam pertimbangan putusannya, jika seorang hakim menentukan suatu perkara berdasarkan pesanan atau karena hal lain, maka sama saja hakim tersebut mengotori mahkotanya sendiri. 

Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, sebagaimana tertuang dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa.

Tujuan utama pembuktian dalam hukum pidana adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dengan mengungkap kebenaran materiil suatu perkara pidana, yang harus mampu diuji oleh hakim.

Proses pembuktian ini penting bagi penuntut umum untuk meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa, bagi terdakwa untuk membela diri, dan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.