Keadilan adalah cita-cita tertinggi dari hukum, tetapi tidak semua hukum otomatis adil. Dalam sejarah umat manusia, tidak sedikit hukum yang ditegakkan justru menindas dan membungkam suara yang lemah.
Pertanyaannya, “apakah hukum itu selalu adil?” Ini adalah pertanyaan moral yang menuntut kedalaman refleksi. Di sinilah etika normatif hadir sebagai cermin yang memeriksa sejauh mana hukum benar-benar memihak kepada kebenaran dan kebaikan.
Etika normatif berbicara tentang apa yang seharusnya, bukan sekadar apa yang terjadi. Ia menilai tindakan berdasarkan nilai moral, bukan hanya berdasarkan hasil atau kebiasaan. Dalam konteks hukum, pendekatan ini menguji apakah suatu norma hukum layak dijalankan berdasarkan keadilannya, bukan hanya karena ia telah diundangkan.
Ada hukum yang sah secara prosedural, tetapi tidak adil secara substansial. Hukum-hukum yang membenarkan perbudakan, diskriminasi rasial, atau ketidaksetaraan gender di masa lalu adalah contoh konkret betapa hukum bisa jauh dari keadilan. Dalam situasi semacam ini, etika normatif mengingatkan bahwa hukum yang tidak bermoral sejatinya kehilangan legitimasinya.
Perspektif deontologis misalnya, menilai keadilan hukum berdasarkan kewajiban moral yang melekat, terlepas dari konsekuensinya. Hukum yang memaksakan kebijakan tanpa mempertimbangkan martabat manusia bertentangan dengan prinsip ini. Keadilan bukan sekadar soal hasil, tetapi soal niat, tujuan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai universal.
Sementara pendekatan utilitarian menilai keadilan hukum berdasarkan sejauh mana ia membawa manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Namun, pandangan ini juga menyimpan jebakan jika digunakan secara kaku. Keadilan bukan hanya soal mayoritas, melainkan juga tentang pelindungan terhadap minoritas yang rentan.
Etika kebajikan (virtue ethics) menilai hukum berdasarkan sejauh mana ia mendidik masyarakat untuk hidup dengan nilai-nilai luhur. Hukum yang baik bukan hanya menghukum pelanggaran, tetapi juga menanamkan kebajikan seperti kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab. Hukum harus menjadi sarana pembentukan karakter masyarakat, bukan hanya alat pengatur perilaku.
Contoh nyata ketidakadilan hukum bisa dilihat dalam kasus korban kekerasan yang justru disalahkan dalam proses hukum. Ketika korban tidak mendapat pelindungan karena dianggap tidak memenuhi syarat formal, maka hukum kehilangan sisi etiknya. Keadilan tidak tercapai hanya dengan mengikuti prosedur jika substansi nurani diabaikan.
Sebaliknya, hukum yang adil mampu melampaui teks. Ia membaca konteks, memahami realitas, dan mengupayakan solusi yang manusiawi. Hakim yang mempertimbangkan aspek keadilan sosial dalam putusannya memberikan harapan bahwa hukum bisa hidup dan menyentuh nurani masyarakat.
Dalam pandangan spiritual, keadilan adalah sifat Ilahi yang harus tercermin dalam tindakan manusia. Hukum yang adil adalah hukum yang menghadirkan rasa tenteram, bukan sekadar rasa takut. Ia tidak hanya mengatur, tetapi juga menuntun. Ia tidak hanya menghukum, tetapi juga menyembuhkan luka sosial.
Etika normatif membantu menyaring hukum dari dominasi kepentingan sesaat. Ia memberi panduan agar hukum tetap berjalan di jalur kebenaran. Dalam dunia yang penuh tarik-menarik kekuasaan dan kepentingan, etika menjadi jangkar agar hukum tidak kehilangan arah.
Keadilan sejati menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Ia menuntut keberanian moral untuk membela yang benar, bahkan ketika itu sulit. Hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya berpihak kepada yang kuat, tetapi juga yang lemah, yang terpinggirkan, dan yang tak bersuara.
Hukum yang tidak adil harus dikritik dan direformasi. Proses hukum harus terbuka terhadap evaluasi etik. Keberanian untuk mengakui kekeliruan dalam sistem hukum adalah bagian dari etika mulia. Di situlah hukum menunjukkan bahwa ia bukan berhala, tetapi alat kebaikan yang selalu bisa diperbaiki.
Etika normatif mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa ditentukan hanya oleh undang-undang. Ia harus diuji oleh hati nurani kolektif dan nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari akal sehat dan iman. Keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi soal kemanusiaan.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang keadilan hukum bukan sekadar pertanyaan akademik, melainkan pertanyaan hidup. Di setiap ruang sidang, di setiap peraturan yang diberlakukan, selalu ada peluang untuk menjadikan hukum lebih adil dan lebih bermakna. Etika normatif adalah suara yang membisikkan harapan itu.
Jika hukum terus diperiksa dalam cahaya etika, maka ia tidak akan menjadi alat dominasi, tetapi akan menjadi jembatan menuju masyarakat yang damai, seimbang, dan bermartabat. Sebab hukum yang benar adalah hukum yang membawa berkah, bukan sekadar keteraturan. Hukum harus memuliakan manusia sebagaimana Tuhan memuliakan makhluk-Nya.