“The principle of utility does not mean that any given pleasure, as music, for instance, or any given exemption from pain, as for example health, are to be looked upon as means to a collective something termed happiness, and to be desired on that account.” John Stuart Mill-Utilitarianism, The Floating Press (66).
Dua filsuf hukum Inggris, yakni, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, mengajukan perhitungan (Latin: calculus) soal distribusi dan redistribusi kesejahteraan, yang sepintas dapat dibaca secara berbeda tentang seberapa adil perlakuan yang diterima warga negara.
Bentham adalah filsuf Inggris pendiri utilitarianisme yang mengadvokasi gagasan besar bahwa hukum dan kebijakan harus memaksimalkan kebahagiaan optimum bagi mayoritas. Pemikiran Bentham sangat memengaruhi perkembangan positivisme dalam hukum.
Sedangkan Mill seorang ekonom dan teoritikus yang mengembangkan gagasan utilitarianisme Bentham lebih lanjut dengan mendukung kebebasan berpendapat individu dan partisipasi perempuan dalam politik. Di kemudian hari, gagasan-gagasan Mill sangat memengaruhi pemikiran demokrasi modern dan politik liberal. Utilitarianisme menjadi pemikiran yang sangat relevan saat kuantifikasi dianggap penting untuk kebijakan ekonomi.
Dalam tulisannya yang berjudul Principles of Political Economy (2011:206-217), Mill menekankan pentingnya distribusi ulang kekayaan sebagai bagian dari tanggung jawab bersama sebagai bagian dari masyarakat.
Gagasan Mill sebenarnya melanjutkan pemikiran pendahulunya, Bentham, yang dalam “Observations on the Restrictive and Prohibitory Commercial System” (2005:269-280), membela kemandirian ekonomi tanpa meninggalkan aspek kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pemikiran Bentham dan Mill sebenarnya sejalan dengan prinsip cikal-bakal negara kesejahteraan, meski dalam skala terbatas.
Revisi terhadap Privilese Kaum Bangsawan
Di sisi lain, ketika kita membaca pemikiran Locke tentang hak-hak pribadi dalam Two Treatises of Government and A Letter Concerning Toleration (2003), secara skeptik dapat membawa pada kesimpulan bahwa Locke memberi celah justifikasi teoretis untuk langgengnya fasilitas yang diterima kaum bangsawan. Ini setelah monarki absolut mendapatkan kritikan keras dan mulai digantikan eksistensinya oleh negara modern. Bahkan, Locke tidak secara tegas memberikan catatan tentang redistribusi pendapatan oleh negara. Poin itulah yang diangkat oleh Bentham menjadi fondasi dari hitung-hitungan utilitarian.
Bentham (2000:15) mengatakan: “An action then may be said to be conformable to then principle of utility, or, for shortness sake, to utility, (meaning with respect to the community at large) when the tendency it has to augment the happiness of the community is greater than any it has to diminish it” (Suatu tindakan dikatakan sesuai dengan prinsip utilitas, saat upaya-upaya untuk meningkatkan kebahagiaan bersama melampaui keputusan untuk menegasinya).
Utilitarianisme Bentham seperti yang tertuang dalam An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (2000) berdasarkan pada prinsip, bahwa kualitas hidup mayoritas adalah prasyarat adil tidaknya sebuah tindakan. Bila keputusan seseorang meningkatkan kesejahteraan masyarakat (menaikkan utilitas), maka tindakan tersebut tepat untuk dilakukan dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, keputusan yang menghasilkan penderitaan (menurunkan utilitas) harus dihindari atau ditolak.
Bentham memperkenalkan metode yang mengevaluasi enam aspek utilitas: intensitas, durasi, tingkat kepastian, proksimitas (rentang pencapaian), fekunditas (peluang amplifikasi kesejahteraan), puritas (absennya penderitaan), dan ekstensi. Gagasan Bentham juga bersifat konsekuensialis, yang artinya keadilan ditentukan oleh konsekuensi dari suatu tindakan.
Bagi Bentham, optimalisasi utilitas bersifat universal, karena tingkat kebahagiaan bernilai sama bagi setiap orang. Tidak ada kesejahteraan individu atau kelompok yang dapat diklaim lebih penting dari yang lain.
Utilitas pun bukan persoalan klaim abstraksi konsepsual yang diberikan otoritas. Ini menegaskan disposisi Bentham yang berseberangan dengan pemikiran Locke dalam artian Bentham memangkas celah akumulasi kekayaan yang mempertajam ketimpangan.
Koreksi Progresif untuk Utilitarianisme Bentham
Mill mengambil alih tongkat estafet argumentasi dari Bentham, terutama untuk mengatasi persoalan ekses praktisnya. Pemikiran Bentham berdampak pada kuantifikasi kualitas hidup seseorang-seperti dalam diskusi yang diajukan Michael Sandel di Sanders Theater, Harvard University (2005).
Mengukur nilai dan bahkan nyawa manusia dalam ukuran nilai rupiah, bisa menjadi sangat problematis karena mengesampingkan berbagai elemen seperti rasa kehilangan yang sangat sulit untuk diukur dengan materi. Untuk itu, Sandel mengangkat contoh nyata tentang perhitungan cost-benefit analysis dari sebuah perusahaan rokok yang mengkalkulasi keuntungan berdasarkan perkiraan angka kematian prematur dari perokok di Ceko, sebuah negara di Eropa Timur.
Namun, Mill mencoba meredam dampak negatif hitung-hitungan utilitas dengan mencoba memeriksa ulang rentang stratifikasi kebahagiaan yang menjadi dasar dari keadilan utilitarian.
Dalam Utilitarianism (2009) di bagian keempat, Mill memeriksa kembali tingkat-tingkat kualitas kepuasan yang didapat dari sebuah tindakan. Bagi Mill (2009:65), kebahagiaan ultima mesti berdasarkan pada kebajikan (virtue) yang sifatnya tanpa pamrih (disinterested).
Dalam bahasa Sandel, kepuasaan seperti itu adalah yang sifatnya halus dan luhur. Sandel membandingkan antara membaca Hamlet karya dramaturg Shakespeare dibandingkan dengan sekadar menonton hiburan di televisi.
Ini berarti, masyarakat yang dicita-citakan Mill adalah masyarakat yang belajar untuk menggapai kebahagiaan yang sifatnya luhur tersebut. Mill mengandaikan sebuah sistem pendidikan skala nasional yang runut, progresif, dan terstruktur.
Dengan kata lain, Mill mengasah kalkulus felisifik (felicific calculus-perhitungan utilitas) Bentham yang memiliki celah yang cukup berisiko: “the greatest good for the greatest number” (kebaikan tertinggi adalah yang menaungi kebutuhan mayoritas), seperti yang terjadi pada cost-benefit analysis yang melibatkan nyawa manusia.
Mill mencoba untuk mereduksi dampak inkomensurabilitas (bahwa kebahagiaan manusia tidak mungkin diukur dan dikuantifikasi) dari ekses teoretik Bentham. Dengan meletakkan kebajikan sebagai elemen sentral, merupiahkan nyawa dan kompleksitas hidup justru manusia menjadi sangat absurd dan tidak beralasan.
Dengan kata lain, koreksi Mill mengandaikan utilitas dalam skala besar (agregat) dan durasi yang panjang, yang masih menjunjung tinggi hak-hak dasar setiap manusia.
Perbaikan teoretik Mill juga menarik garis lebih tebal antara utilitarianisme dengan libertarianisme Locke, yang memberi kapasitas lebih banyak pada hak-hak individu, dengan menghindari redistribusi kekayaan dalam bentuk apapun.
Keadilan Utilitarian Bentham-Mill dan Perupiahan Risiko Eksistensial
Banyak persoalan yang terjadi saat ini yang bersinggungan dengan masalah keadilan. Hal itu disebabkan oleh pemahaman sepihak tentang prinsip keadilan utilitarian. Tetapi yang pasti, konsep Bentham dan Mill adalah satu kepaduan: Mill memperjelas dan menutup celah-celah argumen Bentham, dengan berdiri di atas fondasi teoretiknya. Stratifikasi virtue yang diajukan Mill adalah pengembangan stratifikasi Bentham.
Masalahnya, pembacaan prinsip keadilan utilitarian sering masih sangat terbatas. Sehingga, menimbulkan dampak yang kontraproduktif dengan cita-cita Bentham dan Mill. Utilitarian dapat dibaca secara terbatas (eksklusif) atau luas (inklusif).
Sebagai ilustrasi, masalah hukum yang berkaitan dengan lingkungan seperti pencemaran sangat berisiko bila ditafsirkan di wilayah permukaan. Merupiahkan kesejahteraan hanya pada ketersediaan lapangan kerja berarti mengabaikan kualitas kebahagiaan hanya pada pemahaman yang terbatas pula. Kebahagiaan pekerja juga harus memperhitungkan aspek-aspek yang berpengaruh pada agregat kebahagiaan.
Ini berarti, kewajiban perusahaan dalam sengketa pencemaran semestinya bersifat inklusif sebagaimana yang terjadi pada kasus besar seperti gugatan class action sekitar 70.000 warga terhadap perusahaan raksasa Dupont yang akhirnya terbukti dengan sengaja telah membuang PFOA (asam perfluorooktanoat-bahan kimia karsinogenik yang tidak bisa terurai) ke sumber air minum warga Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat (Billot: 2019).
Dupont mungkin membaca keadilan secara eksklusif sebagai penyedia lapangan pekerjaan, tetapi tidak membaca secara inklusif kualitas hidup masyarakat di wilayah operasionalnya.
PFOA adalah contoh kasus relevan yang sekarang menjadi ancaman eksistensial yang sifatnya global, karena sudah dideteksi dalam darah manusia. Bahan kimia ini dipergunakan secara masif dalam industri makanan dunia. Mempermudah hidup manusia dengan teknologi tidak berarti menyederhanakan risiko penyakit kronik seperti kanker.
Kendati begitu, membaca keadilan utilitarian hanya dari pendekatan cost-benefit analysis adalah sebuah tindakan yang perlu dikaji ulang. Eksklusivitas kebijakan sepatutnya ditarik ke wilayah yang lebih inklusif, seperti yang diusulkan oleh Mill. Lebih dari itu, dengan munculnya GenAI (Kecerdasan Buatan Generatif) dan Agentic AI (Kecerdasan Buatan Agentik), Lynn Wu dari Wharton, University of Pennsylvania (2023) mengatakan, pasar tenaga kerja akan mengalami disrupsi besar.
Setelah krisis lingkungan, ujian berikutnya adalah bagaimana pembacaan inklusif utilitarian tentang tenaga kerja dapat diterapkan tanpa mengukur manusia dengan rupiah dan menakarnya dengan kecerdasan buatan.