Okulosentrisme dan Keadilan Testimonial

Berbicara tentang keadilan testimonial, terutama yang bersifat audial (suara) kita tidak bisa menanggalkan atau mengesampingkan peran melihat (videre, dalam bahasa Latin) dalam sejarah pemikiran Barat.
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/

“All the choir of heaven and furniture of earth, in a word all those bodies which compose the mighty frame of the world, have not any subsistence without a mind – that their being is to be perceived or known.”

George Berkeley (A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge).

Dalam berbicara tentang keadilan testimonial, terutama yang bersifat audial (suara) kita tidak bisa menanggalkan atau mengesampingkan peran melihat (videre, dalam bahasa Latin) dalam sejarah pemikiran Barat. Konsep-konsep seperti “ide” dan “teori” pun merupakan metafor visual. Istilah “idea” dan “theoria” secara harfiah berarti “melihat”, dan ini menunjukkan status melihat sebagai sumber kebenaran dalam filsafat (Plato, 2008).

Bahkan dalam bahasa Inggris, kata “evidence” berakar dari “ex” (dari) dan “videre”, yang dapat kita artikan sebagai “sesuatu yang mewujud setelah dilihat”. Organ tubuh mata (oculus) dengan demikian memegang peranan sentral. Peradaban Barat bersifat okulosentris-menitikberatkan pada apa yang dilihat oleh mata. Lebih dari itu, kata “visi” pun secara etimologis berarti “penglihatan” seseorang.

Singkatnya, yang visual lebih luhur dari yang audial. Konsekuensinya, hukuman dalam garis pemikiran Barat berarti “dilihat/diamati” (gazed). Jeremy Bentham, pilar Utilitarianisme dalam filsafat hukum, memperkenalkan istilah panoptikon – penjara dalam bentuk kebebasan mata sipir untuk melihat semua narapidana sekaligus (Bentham, 1995). Jeruji ruang penjara pada dasarnya didesain untuk meniadakan jeda visual terhadap seorang tahanan.

Filsuf Prancis Michel Foucault, kemudian mengembangkan gagasan Bentham dengan memperkenalkan konsep kekuasaan berdasarkan pengamatan. Bertolak dari itu, Foucault menggagas, ide panoptikon juga ada di rumah sakit dan lembaga pemerintahan yang bekerja dengan prinsip yang sama: subjugasi berbasis pengawasan (Foucault, 2012).

Catatan Kritis terhadap Okulosentrisme

Filsuf Prancis René Descartes (yang terkenal dengan cogito ergo sum-saya berpikir maka saya ada) berbicara secara paradoks: di satu sisi Descartes mencurigai dan bahkan menegasi mata manusia sebagai sumber ilmu. Di sisi lain, dia mengajukan konsep pikiran yang melihat sebagai pengetahuan sejati (Descartes, 2006).

Pemikir Prancis modern, Maurice Merleu-Ponty, mencurigai penekanan yang berlebihan terhadap mata sebagai semacam bias pengetahuan karena mendegradasi kemampuan perseptual manusia. Dengan panca indranya, menurut Merleu-Ponty, manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan utuh hanya dengan observasi. Dunia manusia bukan hanya dilihat oleh mata, tetapi “diamati secara lengkap” (embodied perception) oleh pendengaran dan indra-indra lainnya (Merleu-Ponty, 1945[2001]).  Sederhananya, realitas tidak bersifat estetik (berdasarkan satu persepsi visual), tetapi sinestetik (multipersepsi).

Peradaban manusia pun sebenarnya tidak hanya okulosentrik. Di daerah Timur Tengah, suara menjadi sumber pengetahuan yang kokoh dalam bentuk ritual agama. Emanuel Levinas, filsuf Modern dari Prancis mencatat, mendengar sama fundamentalnya dengan melihat sebagai fondasi realitas.

Manusia, bagi Levinas, dikenali kemanusiaannya lewat wajah. Persepsi visual menurut Levinas cenderung mereduksi keutuhan manusia. Manusia yang berbicara adalah realitas yang lebih utuh dari sekadar imaji mental “wajah” dalam otak. Dalam bahasa Levinas manusia baru sepenuhnya bisa mengenali yang lain (the Other) saat kita mengenali sesama secara eksperiensial.

Dari neurosains (ilmu tentang syaraf), melihat adalah sebuah aktivitas aktif untuk menciptakan realitas (Seth, 2017). Bahkan dunia yang masuk ke mata manusia adalah konstruksi langsung berdasarkan data. Lebih tepatnya, manusia secara saintifik tidak melihat informasi dalam bentuk data imaji-imaji, tetapi utilitas (kegunaan) dari data tersebut (Lotto, 2017).

Ada sekitar 130 juta reseptor cahaya di mata manusia yang menghasilkan imaji yang diterjemahkan oleh otak. Sains mencoba menawarkan gagasan lebih lanjut, yaitu realitas sebenarnya direkonstruksi ulang oleh manusia, sehingga ungkapan “seeing reality as it is” (melihat realitas seperti apa adanya) sebenarnya keliru. Bagi pakar neurosains Donald Hoffman: “Does natural selection favor true perceptions? Is it possible that we did not evolve to see truly-that our perceptions of space, time, and objects do not reveal reality as it is?” (Apakah seleksi alam mendukung persepsi sesungguhnya? Mungkinkah kita tidak berevolusi untuk melihat kenyataan secara apa adanya-bahwa persepsi kita tentang ruang, waktu, dan benda-benda sebenarnya tidak menyingkap realitas sebagaimana adanya?) (Hoffman, 2019:60).

Ketidakadilan dan Keadilan Testimonial 

Filsuf Inggris Miranda Fricker berbicara banyak tentang persoalan ini. Untuk dapat memahami lebih lanjut, kita perlu mengupasnya dari sisi ketidakadilan. Bagi Fricker, ada dua sisi yang bisa digali, pertama, testimonial, dan kedua, hermeneutik. Ketidakadilan testimonial terjadi saat kualifikasi orang yang memberikan kesaksian diragukan karena aspek-aspek yang tidak relevan (seperti gender atau ras).

Sebaliknya, ketidakadilan hermeneutik terjadi karena ketiadaan konsep atau ungkapan untuk menjelaskannya (Fricker, 2007). Sebagai ilustrasi, saat seorang anak melapor bahwa ia dirundung, dan pengaduannya tidak dipercaya, maka sang anak mengalami perlakuan tidak adil dari sisi testimonial. Namun saat seorang anak menciptakan permainan baru, dan tidak ada orang dewasa memahaminya, maka maka ia mengalami ketidakadilan hermeneutik.

Dengan kata lain, keadilan testimonial adalah saat aspek personal atau latar belakang seseorang tidak menjadi ganjalan dalam pemberian kesaksian. Di Australia, ketidakadilan menimpa penduduk asli benua tersebut (yang dilabeli “aborigin”).

Penduduk asli Australia harus hidup dengan kebijakan terra nullius, yang artinya benua tersebut tidak berpenghuni sebelum kedatangan imigran dari Inggris. Ini juga berarti, mereka tidak memiliki hak atas tanah (Smith, 1999). Kebijakan ini bernuansa diskriminatif, seperti politik apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Setelah kasus Mabo v Queensland pada 1992, dampak dari diskriminasi kepemilikan tersebut dapat diakhiri. 

Pengkaji masalah ini, Honni van Rijswijk (2013), mengangkat persoalan “Stolen Generations”: anak-anak penduduk asli Australia yang secara paksa dipisahkan dari orang tua mereka dan dididik negara untuk bisa menerima budaya Australia yang didominasi ras kulit putih. Praktik ini berlangsung dari awal Abad 20 hingga dekade 1970-an. Kasus South Australia v Lampard-Trevorrow 2010 juga menjadi putusan penting di dalam upaya rekonsiliasi bangsa di Australia.

Bruce Trevorrow diambil secara paksa saat masih bayi, dan kemudian dibesarkan oleh keluarga ras kulit putih. Putusan pengadilan Trevorrow di tingkat banding mengalami reduksi menjadi kejahatan yang dilakukan anggota kepolisian Australia yang dinilai rasis. Trevorrow mengalami ketidakadilan testimonial dalam upayanya untuk menyembuhkan trauma (Libesman, 2021).

Menurut van Rijswijk, mencari celah untuk meretas narasi diskriminatif semacam ini tidak mudah, namun mendengar kesaksian dan cerita para korban sangat genting untuk memutus praktik tersebut.

Tawaran Alternatif terhadap Okulosentrisme

Mendengarkan langsung dari para korban, terutama dalam upaya restoratif semacam ini, sangat penting. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Australian, memberikan laporan menyeluruh pada 1997 yang diberi nama “Bringing Them Home.” Salah satu bagiannya menyebutkan: “Many Indigenous people suffered deeply when their experiences of removal and loss were not believed or were dismissed by officials. The trauma was compounded because their voices were often ignored, causing ongoing harm across generations” (Banyak masyarakat asli mengalami penderitaan mendalam ketika pengalaman mereka tentang pemisahan dan kehilangan tidak dipercaya atau diabaikan oleh para pejabat. Trauma yang dialami pun semakin parah karena suara mereka sering kali tidak didengar, sehingga menyebabkan dampak buruk yang berkelanjutan dari generasi ke generasi) (Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1997).

Hal tersebut menunjukkan bahwa “suara” menjadi sangat penting. Dalam struktur peradaban modern yang berbasis dari pemikiran Barat, dan berakar di Yunani Klasik, peran “melihat” menjadi terlalu dominan sehingga menumpulkan upaya kita untuk melihat realitas. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa peradaban manusia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada dominasi persepsi visual sebagai sumber kebenaran mutlak.

Okulosentrisme memang mengakar kuat dalam pemikiran Barat, namun banyak bukti historis maupun saintifik menunjukkan, persepsi manusia terhadap realitas adalah jauh lebih kompleks, bersifat multisensori, dan sering kali tidak mencerminkan kenyataan sesungguhnya.

Keadilan testimonial menawarkan alternatif signifikan: mendengarkan secara tulus dan menghormati kesaksian suara-suara yang selama ini terabaikan, khususnya dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Melalui upaya rekonsiliasi, seperti kasus di Australia, kita diajak untuk memperluas horizon persepsi kita, bukan lagi terbatas pada apa yang kita lihat, melainkan juga apa yang kita dengar, rasakan, dan alami secara mendalam.

Hanya dengan begitu, kita dapat secara adil memahami realitas dalam seluruh keberagamannya, serta merangkul kemanusiaan secara lebih utuh dan bermakna.     
           
       

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews