Menjadi Diri Manusia yang Autentik

Hukum tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengaturan yang bersifat eksternal, tetapi juga sebagai instrumen yang memungkinkan individu untuk mengekspresikan nilai dan keyakinan.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

“Law, considered merely as order, contains within itself the seeds of authenticity, for it addresses persons as responsible agents capable of guiding their own conduct by reference to rules.”

Lon L. Fuller (The Morality of Law).

Filsuf hukum Lon L. Fuller dari Universitas Harvard menarik garis batas yang tegas antara keberadaan otonomi diri dengan heteronomi masyarakat.

Menurut Fuller, diri yang otonom adalah fondasi dari hukum dan instrumen periferalnya. Dengan kata lain, dalam pemikiran Fuller kesejatian manusia tidak bisa diabaikan, atau berada dalam disposisi ambigu. Sudah ada kekhasan manusia yang luhur yang tidak perlu lagi disinggung-debat.

Persoalan legal dengan demikian menjadi sangat konsensual: antara agensi-agensi yang sepenuhnya sadar akan segala tindakan yang mereka lakukan. Demosi kesadaran ini menurunkan derajat dan martabat manusia sehingga tidak lagi layak menyandang status subjek hukum.

Pada hakikatnya otonomi Fuller dirintis sebelumnya oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, otonomi manusia ditandai dengan karakter fakultatifnya dan pengetahuan manusiawi bersifat alami: ada dan melekat-lebur dalam kemanusiaan. Sehingga, dalam kerangka Kant yang beririsan dengan Fuller, manusia otonom memiliki hak dan sekaligus kewajiban.

Heteronomi diri tidaklah autentik (authentic) dan tujuan hidup manusia adalah untuk meraih otonomi mutlak tersebut, meskipun begitu sukar untuk diraih.

Meskipun demikian, Fuller tidak sepenuhnya sepakat dengan Kant. Bagi Fuller, otonomi ada di dalam sistem yang sifatnya procedural dan bukan sesuatu yang substantif dan melekat sejak lahir.

Sekalipun sama-sama konsensual, Kant tidak menganggap diri yang autentik sebagai sesuatu yang kontekstual. Kebalikannya, bagi Fuller, selalu ada konteks yang bisa menyertai jati autentik manusia. Atas dasar itu, manusia tidak dipaksa (coerced) untuk tunduk pada hukum.

Sifat koersif jika berlaku absolut tanpa ada ruang kerelaan manusia sebagai agensi yang kooperatif, martabatnya pun terdegradasi, menjadi spesies yang memiliki karakter moral pasif dan mekanis. Manusia jelas melampaui eksistensi teknis semacam itu, lepas dari rasionalitas mutlak yang disyaratkan Kant, atau potensi untuk bertindak rasional, seperti yang dikatakan Fuller.

Menjadi Manusia dengan Relasi Manusiawi yang Autentik

Fuller membagi sistem hukum yang absah dan efektif ke dalam delapan prinsip fundamental yang harus dipenuhi. Pertama, hukum mesti bersifat umum serta berlaku secara luas, dan bukan diarahkan kepada individu atau kelompok tertentu.

Kedua, hukum harus dapat diakses secara terbuka dan diketahui publik agar setiap individu menyadari aturan yang mengatur keputusan dan tindakan mereka.

Ketiga, hukum bersifat prospektif dan bukan retro-aktif. Selanjutnya, rumusan hukum perlu jelas dan dapat dipahami untuk menghindari ambiguitas dan salah penafsiran.

Kelima, tidak ada pertentangan antarperaturan hukum, sehingga tata kelola hukum berlaku koheren. Berikutnya, hukum harus dapat dipatuhi secara rasional, dan konsisten dalam kurun waktu tertentu sehingga tidak fluktuatif dan eratik (acak).

Terakhir, ada kesesuaian antara hukum tertulis dan penerapannya, sehingga tidak sekadar menjadi “dead letter law” (Fuller, 1964:33-38).

Keadilan, menurut Fuller, didapat dari upaya resiprokal antara warga negara sebagai subjek hukum dan negara sebagai penegak hukum. Fuller menolak disposisi positvisme hukum, yang sejalan dengan arus utama positivistik yang lahir sebagai dampak dari revolusi industri, memekanisasikan apapun, termasuk memisahkan manusia dari ranah moralnya.

Berseberangan dengan H.L.A. Hart, Fuller melihat potensi hukum sebagai sarana pemanusiaan manusia dan terbuka dengan dinamika dan geliat tata nilai dalam masyarakat, sebagai sebuah elemen yang berjalan seiring dengan perubahan jaman.

Pengkaji Fuller, Robert Summers, mengatakan:  “Fuller believed that the processes and forms of socio-legal ordering are not merely inert conduits directing human energies toward certain desirable end states, but part of the very patterns of our lives with highly important side effects” (Fuller yakin bahwa hukum tidak sekadar aturan formal, tetapi proses hukum itu sendiri memiliki dampak penting karena di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan masyarakat); Summers, 1984:77. 

Poin ini sangat penting bagi Fuller untuk menghindari sistem hukum menjadi semacam instrumen untuk kepentingan tertentu, sebagaimana yang terjadi pada masa totalitarian Jerman sebelum Perang Dunia Kedua.

Filsuf hukum lainnya, Gustav Radbruch memberi penekanan pada nilai sebagai elemen fundamental dalam hukum, karena kapasitasnya untuk mencegah instrumentasi hukum-apalagi untuk tujuan-tujuan yang dicapai tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan (Borrowski, 2021).

Penekanan atas nilai-nilai kemanusiaan ini, sejalan dengan bagian Pembukaan di Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) yang menghormati keluhuran nilai-nilai kemanusiaan sebagai prasyarat dari tegaknya sebuah negara. Kehancuran negara totalitarian dalam sejarah mungkin disebabkan oleh tergerusnya aspek etik ini oleh kepentingan jangka pendek yang relasinya bersifat transaksional termasuk yang diklaim berbasis sains. Radbruch mengatakan: “The concept of science a is not identical with the concept of truth; the science of an age embraces not only its scientific achievements, but also its scientific errors” (Konsep ilmu pengetahuan tidak identik dengan konsep kebenaran; ilmu pengetahuan pada suatu zaman mencakup tidak hanya pencapaian ilmiahnya, tetapi juga kesalahan ilmiahnya); Radbruch, 1950:50.

Mencari Diri Autentik dalam Keadilan

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang Nomor 23/G/2015/PTUN-PDG, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Medan Nomor 73/B/2016/PT.TUN.MDN, telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) pada tingkat banding.

Putusan ini menunjukkan upaya Peradilan Tata Usaha Negara dalam mengedepankan nilai-nilai otentisitas sebagai fondasi keadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai contoh bagi penegakan keadilan di Indonesia. 

Singkatnya, Majelis Hakim PTUN Padang mengabulkan gugatan Sarlina Putri, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Camat Barangin, Kota Sawahlunto, terhadap dua Surat Keputusan (SK) Wali Kota Sawahlunto terkait penurunan pangkat dan jabatannya.

Dalam putusan yang dibacakan Majelis Hakim tersebut, SK Nomor: BKD.71 Tahun 2015 dan SK Nomor: BKD.49 Tahun 2015 dinyatakan cacat hukum, baik dari segi prosedur maupun substansi, karena ditemukan malaadministrasi dalam kasus pengelolaan dana haji khusus yang melibatkan sebuah agen perjalanan di Sawahlunto.

PTUN Padang memerintahkan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk mencabut SK tersebut dan mengembalikan nama baik Sarlina Putri. Di sini dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip yang digagas oleh Fuller tentang nilai sebagai bagian dari mengayomi sisi autentik manusia sebagai warga negara dan sebagai subjek hukum. 

Lebih jauh lagi, kasus ini menjadi preseden penting dalam memperjuangkan hak-hak aparatur sipil negara agar mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan peraturan yang berlaku. Putusan ini menegaskan bahwa setiap individu, termasuk pegawai negeri sipil, memiliki hak untuk membela diri apabila merasa diperlakukan secara tidak adil atau mengalami tindakan administratif yang bertentangan dengan hukum.

Dengan demikian, keberanian Sarlina Putri dalam menggugat keputusan yang merugikannya tidak hanya menjadi perjuangan pribadi, tetapi juga bagian dari upaya memperkuat sistem hukum yang lebih transparan dan akuntabel, termasuk terhadap kaum perempuan.

Kesejatian Tanpa Idolatri

Michel Foucault, seorang filsuf Prancis, menyatakan, kesejatian tidak ditentukan dari formasi diskursif seseorang, sekalipun itu adalah latar belakang formatifnya (Foucault, 1989:375).

Karakter seseorang, lanjut Foucault, lebih menentukan cara ia bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Diskursus dan elemen formatifnya adalah bagian pelengkap dari otentisitas diri.

Bahkan sains sekalipun, tidak memberikan justifikasi mutlak pada seseorang untuk tidak mengindahkan kaidah etis yang menjadi landasan relasi interpersonal yang wajar.

Pendirian Foucault tentang bahaya idolatri, bahwa kebenaran bisa begitu saja diterima karena otoritas (idolatri), juga berlaku kepada sains, institusi yang dianggap paling objektif.

Pemikiran Foucault ini dapat diekstrapolasi ke wilayah-wilayah otoritas dan objektivitas lainnya. Singkatnya, dalam pandangan Foucault, lembaga otoritatif, seperti pengadilan, mengandaikan kesejatian diri seorang hakim yang autentik pula. 

Dengan demikian, hukum dapat menjadi bagian untuk mendukung diri yang autentik yang menunjukkan kesejatiannya kapan pun, di mana pun, dan dalam konstruksi relasi interpersonal apa pun.

Hukum tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengaturan yang bersifat eksternal, tetapi juga sebagai instrumen yang memungkinkan individu untuk mengekspresikan nilai, keyakinan, dan identitas mereka secara autentik tanpa harus bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Dalam konteks ini, iuris sebagai bagian dari dimensi legal sendi kehidupan masyarakat dapat menjadi salah satu elemen eksemplaris, yang memberikan ruang bagi perkembangan diri yang sejalan dengan tanggung jawab sosial dan etis.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews