Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lalu, barang apa saja yang dapat dikenakan penyitaan? Pasal 39 ayat (1) KUHAP telah menyebutkan lima benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, b) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya, c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana, dan e) benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Selain itu, benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP.
Berkaitan dengan penyitaan barang tersebut, Mahkamah Agung telah menetapkan salah satu putusan perdata sebagai putusan penting (landmark decision) sebagaimana dalam Putusan Nomor 2580 K/Pdt/2013 antara Syarifuddin, S.H., M.H., sebagai penggugat dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tergugat.
Ringkasan Posisi Kasus
Dikutip dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2015, perkara perdata ini bermula ketika tergugat melakukan tindakan hukum kepada penggugat, berupa “tindakan penggerebekan”, penggeledahan tahap pertama dan pengambilan (mengamankan/menyita) sejumlah barang, harta benda dan sejumlah uang dalam berbagai mata uang dan dokumen-dokumen milik Penggugat di kediaman penggugat, pada Rabu (1/6/2011) sekitar pukul 22.00-22.30 WIB, yang dilakukan tergugat tanpa adanya surat perintah penggeledahan (sprin.dah) dan berita acara penggeledahan.
Selanjutnya, penggugat mendalilkan, harta benda dan dokumen-dokumen milik penggugat yang diambil (diamankan) oleh tergugat pada penggeledahan (1/6/2011) tersebut. Kemudian dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan (2/6/2011) yang dibuatkan dan diterbitkan tergugat.
Daftar barang yang disita sebanyak 25 item berupa handphone, microcassette corder, laptop, jas, berkas perkara, tas coklat berisi uang, dompet dan lain-lain.
Sedangkan tindakan penggeledahan tergugat tahap kedua atas barang dan harta benda milik penggugat, dilakukan dengan dibuat berita acaranya, sebagaimana dalam Berita Acara Penggeledahan (tahap kedua) pada 10 Juni 2011.
Dalam Berita Acara Penggeledahan tahap kedua tersebut, menurut penggugat, sangat jelas dan tegas disebutkan dasar-dasar pertimbangan yuridis yang mendasari tindakan penggeledahan, termasuk seperti adanya dasar Surat Perintah Penggeledahan Nomor Sprin.dah-15/101/06/2011/KPK, 08 Juni 2011, dan lain-lain.
Begitu pula terdapat adanya Berita Acara Penggeledahan tahap kedua yang menyebutkan secara jelas adanya sejumlah barang.
Penggugat dalam surat gugatannya mendalilkan, berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf d dan e KUHAP jo Pasal 33 ayat (5) KUHAP, secara jelas dan tegas menyatakan, setiap tindakan penggeledahan dan memasuki kediaman atau rumah seseorang yang dilakukan penyidik (i.c. tergugat), wajib membuat berita acara dan turunannya serta disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah (i.c. penggugat).
Penggugat turut mengeklaim bahwa barang yang telah disita oleh tergugat terdapat barang-barang lain milik penggugat yang tidak ada sangkut pautnya dengan tindak pidana yang disangkakan kepada penggugat yang didasarkan pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 40 KUHAP.
Dengan demikian, penggugat menganggap, tindakan penyitaan sejumlah barang, harta benda dan dokumen milik penggugat yang dilakukan oleh tergugat sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Penyitaan (2/6/2011), yang dibuat dan diterbitkan oleh tergugat, telah dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum berupa penyalahgunaan kewenangan (onrechtmatige overheidsdaad) maupun penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), yaitu terlebih dahulu disertai dengan tindak penggeledahan secara tidak sah, mengambil secara paksa (dwang), penipuan (bedrog) dan perampasan dengan menggunakan atas nama kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki tergugat (wederrechtelijk), berupa barang-barang, harta benda dan dokumen-dokumen milik penggugat tersebut.
Karenanya, penggugat menyatakan, tindakan penggeledahan membawa (mengamankan), termasuk di dalamnya tindakan penyitaan sejumlah harta benda dan dokumen milik penggugat yang dilakukan oleh tergugat pada merupakan tindakan yang tidak sah dan sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 469/Pdt.G/2011/PN.JKT.SEL, mempertimbangkan keadaan penangkapan dan/atau penggeledahan yang dilakukan para penyidik KPK pada 1 Juni 2011 malam di rumah. Kemudian terhadap penggugat adalah segera sesudah beberapa saat atau tidak lama setelah penggugat menerima tas warna merah berisi uang dari Puguh Wirawan.
Oleh karena itu, Majelis Hakim sependapat dengan tergugat, keadaan penggeledahan dan/atau penangkapan tersebut dilakukan dalam keadaan tertangkap tangan seperti ditentukan Pasal 1 angka 19 KUHAP yang tidak diperlukan lagi surat perintah untuk itu.
Sehingga, tambah Majelis Hakim, tindakan para Penyidik KPK in casu, telah sesuai dan didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kewenangan yang ada pada dirinya dan karenanya tergugat telah bertindak sesuai hukum.
Majelis Hakim pengadilan tingkat pertama kemudian berpendapat, saat akan melakukan penggeledahan dalam keadaan tertangkap tangan, para penyidik KPK sudah mengetahui yang harus dicari dan ditemukan melalui penggeledahan dan menangkap tangan terhadap penggugat tersebut adalah, sebuah tas kertas warna merah yang didalamnya berisi uang sejumlah Rp250juta yang baru saja diterima oleh penggugat dari Puguh Wirawan.
Hal tersebut kemudian menjadi persoalan hukum, menurut Majelis Hakim, yaitu tindakan tergugat melalui penyidik-penyidiknya pada malam penggeledahan (1/6/2011), yang mengambil barang-barang dari rumah penggugat di dalam kekuasaannya yang kemudian disita sebagaimana tertera dan tertuang dalam Berita Acara Penyitaan (2/6/2011) sebagaimana bukti surat P-1, T-4 dan T-5.
Majelis Hakim kemudian turut memperhatikan bukti surat P-12 berupa Surat Dakwaan Penuntut Umum KPK perkara Penggugat dalam perkara tindak pidana korupsi nomor 54/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST tidak menyebut barang-barang bukti selain sebuah tas warna merah berisi uang Rp 250 Juta.
“Demikian pula bukti surat berupa P-16 putusan pengadilan Tipikor atas nama Terdakwa Syarifuddin Penggugat, barang bukti yang dirampas untuk negara hanyalah tas berwarna merah berisi uang Rp250 juta tersebut, sedangkan barang-barang bukti lainnya dikembalikan kepada pihak atau dari mana barang tersebut disita, namun demikian perkara pidana dimaksud belum berkekuatan hukum tetap karena ada pihak yang berupaya hukum.” urai Majelis Hakim melalui putusan tertanggal 19 April 2012.
Judex facti menyoroti dari fakta yang menyatakan dan mengungkapkan, barang bukti yang berkaitan dan berhubungan dengan perkara Penggugat yang menerima pemberian uang dari Puguh Wirawan tersebut adalah tas kertas berwarna merah berisi tiga amplop coklat yang bertuliskan Bank BCA yang berisi uang sejumlah Rp250 juta.
“Sedangkan barang-barang lainnya yang disita dari tangan Penggugat berupa 25 item sebagaimana ternyata dari bukti surat P-1, T-4 dan T-5, tidak memenuhi Pasal 39 KUHAP, maka aspek hukumnya barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dapat dikenakan penyitaan.” tegas Matheus Samiadji, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua, Suwanto, S.H., dan Suko Harsono, S.H., M.H. sebagai para Hakim Anggota.
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menambahkan, dengan selesainya penyidikan oleh Penyidik KPK dalam perkara korupsi yang disangkakan kepada penggugat in casu, semestinya 25 item barang-barang yang ikut disita tersebut segera dikembalikan kepada tersita, satu dan lain hal. Ini karena 25 item barang-barang yang disita tersebut tidak diperlukan lagi dalam perkara dimaksud.
Lebih lanjut, Majelis Hakim menegaskan dalam pertimbangannya, meskipun Pasal 28 UU Tipikor menentukan untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka, hal ini tidak dapat dimaknai bahwa “Penyidik KPK dapat dengan bebas menyita seluruh harta benda Tersangka dan keluarganya” seperti in casu, serta tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi penyidik untuk tetap menguasai barang yang disitanya, karena telah nyata-nyata 25 item barang dimaksud tidak ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi dan tidak lagi diperlukan dengan telah selesainya penyidikan.
Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai, tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini disebabkan, tergugat telah bertindak yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yaitu Pasal 39 dan Pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP, bertentangan dengan kewajiban hukum dari tergugat sendiri dan sekaligus melanggar hak subjektif dari penggugat, akibat dari kesewenang-wenangan yang menjadikan tergugat melakukan abused of power.
Judex Facti lebih lanjut menguraikan, penyitaan barang-barang penggugat yang mestinya tidak bisa diletakkan penyitaan tersebut memberikan kesan kepada masyarakat/publik. Seakan-akan, barang-barang termasuk sejumlah uang dimaksud didapat penggugat karena kejahatan/korupsi. Begitu juga, tambahnya, akibat dari itu membuat beban moral dan psikis bukan hanya bagi penggugat. Tetapi juga bagi isteri dan anak-anaknya dan hal itu jelas tidak bisa dikonstruksi selain harus dinilai sebagai kerugian immateriil bagi penggugat.
Majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama tersebut menilai, terdapat hubungan kausal yang adequat antara tindakan tergugat melalui penyidiknya dengan kerugian yang timbul dan dialami oleh penggugat.
Majelis Hakim menilai, kerugian yang dialami oleh penggugat tersebut disebabkan oleh tindakan tergugat melakukan penyitaan yang mestinya tidak asal menyita tersebut.
PN Jakarta Selatan kemudian mengabulkan sebagian gugatan Penggugat tersebut dengan amar putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menolak tuntutan provisi dari penggugat;
Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi dari tergugat;
Dalam Pokok Perkara
- Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat;
- Menghukum tergugat untuk membayar kerugian immateriil yang diderita oleh penggugat yang dinilai dengan uang sebesar 100 juta rupiah;
- Menghukum tergugat untuk menyerahkan kembali barang-barang penggugat yang telah disitanya, berupa:
1….
Dst hingga nomor 25.
Dengan ketentuan menunggu sampai perkara pidana Nomor 54/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST memiliki kekuatan hukum tetap;
- Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp416.000,- (empat ratus enam belas ribu rupiah)
- Menolak gugatan penggugat untuk selebihnya
Pengadilan Tingkat Banding Tak Sependapat dengan Putusan PN
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta membatalkan Putusan Nomor 469/Pdt.G/2011/PN.JKT.SEL tersebut. Judex facti (tingkat banding) mengadili sendiri dengan pertimbangan bahwa barang-barang bukti yang dipersoalkan oleh pembanding/terbanding. Semula penggugat dalam perkara a quo adalah barang-barang bukti yang disita oleh terbanding/pembanding. Semula tergugat atau KPK dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pembanding/ terbanding semula penggugat.
Majelis Hakim tingkat banding berpendapat, barang-barang bukti yang dipersoalkan oleh pembanding/terbanding semula penggugat dalam perkara a quo adalah, masuk dalam domain perkara pidana atau telah masuk dalam ranah hukum pidana.
“Oleh karena itu, sesuai hukum acara dan demi menjaga status barang bukti yang telah disita sesuai ketentuan hukum yang berlaku, maka hakim dalam perkara perdata ini tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memutus perkara ini kecuali mengajukan perlawanan pidananya.” bunyi salah satu pertimbangan Putusan Nomor 366/PDT/2012/PT.DKI tanggal 21 Januari 2013.
PT Jakarta kemudian menyatakan, gugatan pembanding/terbanding semula penggugat tidak dapat diterima Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) dan menghukum pembanding/terbanding semula penggugat untuk membayar biaya perkara.
Putusan Kasasi Mengadili Sendiri
Tak puas terhadap putusan tingkat banding tersebut, penggugat kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Judex juris dalam Putusan Nomor 2580 K/Pdt/2013 kemudian membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 366/PDT/2012/PT.DKI, tanggal 21 Januari 2013, yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 469/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel, tanggal 19 April 2012.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhoff, S.H., M.A., dengan para Hakim Anggota yaitu, Syamsul Ma’arif, S.H., L.LM., Ph.D., dan Dr. H. Hamdan, S.H., M.H., tersebut menilai, Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum.
Majelis Hakim Kasasi berpendapat, tindakan penyitaan terhadap barang-barang yang semula diduga hasil tindak pidana adalah benar merupakan ranah perkara pidana, akan tetapi terhadap barang-barang milik terpidana yang disita oleh penyidik, dan kemudian sesuai dengan putusan majelis perkara pidana ternyata barang-barang yang disita tersebut bukan hasil tindak pidana, maka status barang-barang tersebut adalah barang milik pribadi, sehingga masuk dalam ranah hukum perdata.
“Bahwa sesuai dengan fakta persidangan, pemohon kasasi/penggugat dapat membuktikan bahwa barang-barang yang disita oleh termohon kasasi/tergugat dalam perkara a quo sebanyak 25 jenis, adalah milik pribadi pemohon kasasi/penggugat yang tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon kasasi/penggugat, dan karena itu demi hukum harus dikembalikan kepada pemohon kasasi/penggugat.” ungkap Majelis Hakim sebagaimana dikutip dari pertimbangan putusan halaman 63-64.
Lebih lanjut, judex juris menjelaskan melalui putusannya, jika PT Jakarta tidak cermat dalam menilai fakta di persidangan in casu bukti P-12 (red: Surat Dakwaan Penuntut Umum KPK Nomor: DAK -31/24/X/2011) dan P-16 (red: Salinan Putusan Nomor 54/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST, tertanggal 14 Februari 2012 a.n. Terdakwa H. Syarifuddin, S.H., M.H.) yang menunjukkan, 25 item barang yang dituntut oleh pemohon kasasi/penggugat bukan termasuk barang bukti yang digunakan serta disita dalam perkara pidana yang melibatkan pemohon kasasi/penggugat.
“Sehingga, tindakan termohon kasasi/tergugat menahan barang-barang tersebut adalah tanpa alas hukum yang benar dan merugikan hak subjektif pemohon kasasi/penggugat.” tegas Majelis Hakim dalam pertimbangannya.
Berdasarkan uraian pertimbangan putusan-putusan di atas, maka terdapat dua kaidah hukum yang dapat dipetik dari landmark decision Putusan Nomor 2580 K/Pdt/2013 tersebut.
Pertama, barang-barang yang disita dalam perkara pidana yang bukan hasil tindak pidana, maka status barang-barang tersebut adalah barang milik pribadi, sehingga masuk dalam ranah hukum perdata.
Kedua, barang yang bukan hasil kejahatan, dan bukan termasuk barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana, yang disita dalam perkara pidana oleh penyidik adalah perbuatan tanpa alas hukum/perbuatan melawan hukum dan merugikan hak subjektif pemohon kasasi/penggugat.