Landmark Decision: Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Tidak Diperbolehkan Duduk di Kursi Pemerintahan

Hakim tidak boleh duduk di atas kursi pemerintahan. Artinya meskipun hakim tidak setuju terhadap kebijaksanaan pemerintah, hakim hanya boieh menguji Keputusan Tata Usaha Negara dari aspek hukumnya saja.
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com

Pengadila Tata Usaha Negara yang menjadi objek gugatan atau pangkal sengketa tata administrasi negara maupun organ usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengandung unsur bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.

Meskipun ada penambahan alat-uji terhadap KTUN yang digugat, namun prinsip hakim boleh menguji KTUN itu, hanya dari aspek hukum (rechtmatigheid), harus tetap dipertahankan. Hakim PTUN tidak boieh menguji aspek kebijaksaan pemerintah (geen ordeel over de doelmatigheid).

Hakim tidak boleh duduk di atas kursi pemerintahan. Artinya meskipun hakim tidak setuju terhadap kebijaksanaan pemerintah, hakim hanya boieh menguji Keptusan Tata Usaha Negara dari aspek hukumnya saja (ordeel over derechtmatigheid). Ini merupakan konsekuensi dari ajaran pemisahan atau pembagian kekuasaan negara (machtenscheiding ofmachtensverdeling), yang menempatkan organ-organ pemerintahan dan kenegaraan berjaian sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pembahasan di atas sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 PK/TUN/2021 memberikan kaidah hukum yakni Surat Keputusan pejabat TUN berdasarkan pelaksanaan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN dikarenakan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak diperbolehkan duduk di kursi pemerintahan guna menilai sikap konsistensi tersebut yang termuat dalam Laporan Tahunan 2021 sebagai landmark decision.

Bertindak sebagai pengadil dalam perkara Nomor 3 PK/TUN/2021 tersebut, Prof. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. dan H. Is Sudaryono, S.H., M.H., yang merupakan perkara tata usaha negara antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sebagai pemohon dengan peninjauan kembali dengan PT. Pabrik Kertas Indonesia (PT. Pakerin), sebagai termohon peninjauan kembali, dengan klasifikasi Pemberian hak pengusahaan hutan tanaman industri pulp atas areal hutan.

Kronologis Kasus

Objek sengketa dalam sengket a quo adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.234/Melhk/Setjen/ HPL.1/5/2018, tanggal 17 Mei 2018, tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.861/MENHUTll/2013, tanggal 3 Desember 2013 tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.422/MENHUT II/2012, tanggal 6 Agustus 2012, tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor: 266/KPTS- II/1998, tanggal 27 Februari 1998, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman lndustri Pulp Atas Areal Hutan Seluas ±43.380 (empat puluh tiga ribu tiga ratus delapan puluh) Hektar, di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan kepada PT. Pakerin.

Mohon dicatat, yang menjadi pertimbangan tergugat dalam menerbitkan objek sengketa (Keputusan Nomor: SK.234/Melhk/Setjen/ HPL.1/5/2018, tanggal 17 Mei 2018) adalah berdasarkan Putusan-Putusan Perkara Tata Usaha Negara (TUN) sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. 111.K/ TUN/2014, tanggal 28 Mei 2014. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 127/B/2013/ PT.TUN-JKT, tanggal 29 Juli 2013. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 204/G/2012/PTUN- JKT, tanggal 20 Maret 2013.

Objek sengketa perkara TUN tersebut adalah Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.422/MENHUT-II/2012, tanggal 6 Agustus 2012, yang mana keputusan (objek sengketa perkara TUN) tersebut, telah dibatalkan oleh tergugat sendiri dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. SK.861/MENHUT-II/2013, tanggal 3 Desember 2013 (Asas Spontane Vernietiging). Artinya, tidak ada paralelitas dan koneksitas anatara putusan-putusan lembaga peradilan dengan obyek sengketa in casu SK 234/MelhkSetjen/HPL.1/5/2018, tanggal 17 Mei 2018.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dalam menerbitkan objek sengketa dianggap bertentangan dan melanggar asas kepastian hukum, asas kecermatan dan asas pengharapan yang wajar.

Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (tergugat), sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung tersebut (vide dalam Putusan Kasasi Nomor 111K/TUN/2014, tanggal 28 Mei 2014, juncto Putusan Peninjauan Kembali Nomor 89 PK/ TUN/2015, tanggal 18 November 2015 tersebut), tergugat menerbitkan Keputusan Nomor: SK.234 /Melhk /Setjen/HPL.1/5/2018, tanggal 17 Mei 2018 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.861/MENHUT- II/2013, tanggal 3 Desember 2013, tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.422/MENHUT-II/2012, tanggal 6 Agustus 2012, tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor: 266/KPTS- II/1998, tanggal 27 Februari 1998, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman industri Pulp Atas Areal Hutan Seluas ± 43.380 (empat puluh tiga ribu tiga ratus delapan puluh) hektare, di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan kepada PT. Pakerin (keputusan objek sengketa dalam perkara a quo).

Pertimbangan dalam putusan tersebut menilai, tergugat telah berupaya mematuhi seluruh proses hukum yang terkait dengan perintah Badan Peradilan Tata Usaha Negara, mulai dari:

- Melaksanakan perintah penundaan Putusan Banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 127/B/2013/PT.TUN.JKT, tanggal 29 Juli 2013, berupa penerbitan Keputusan Nomor. SK.861/ MENHUT-II/2013, tanggal 3 Desember 2013, tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.422/Menhut-II/2012, tanggal 6 Agustus 2012.

- Menerbitkan keputusan objek sengketa dalam perkara a quo, sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung tersebut (vide dalam Putusan Kasasi Nomor 111K/TUN/2014, tanggal 28 Mei 2014, juncto Putusan Peninjauan Kembali Nomor 89 PK/TUN/2015, tanggal 18 November 2015 tersebut), berupa Keputusan Nomor: SK.234/ Melhk/Setjen/HPL.1/5/2018, tanggal 17 Mei 2018 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.861/MENHUT-11/2013, tanggal 3 Desember 2013, tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.422/MENHUT- II/2012, tanggal 6 Agustus 2012, tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor: 266/KPTS-II/1998, tanggal 27 Februari 1998, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman lndustri Pulp Atas Areal Hutan Seluas ± 43.380 (empat puluh tiga ribu tiga ratus delapan puluh) Hektar, di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan kepada PT. Pakerin.

Sikap Pejabat Tata Usaha Negara yang konsisten melaksanakan perintah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap, merupakan sikap yang harus dihormati oleh Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak diperbolehkan duduk di kursi pemerintahan, guna menilai sikap konsistensi tersebut, mengingat sikap tersebut lahir dari perintahbadan peradilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung.

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, terbukti penerbitan objek sengketa oleh tergugat, merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dengan adanya putusan peninjauan kembali ini, menjadi yurisprudensi yang dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang sama dengan kaidah hukumnya, serta menjadi pemahaman bagi praktisi hukum, akademisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya.
 

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews