Integritas dan Profesionalitas Hakim dalam Perspektif Moralitas Islam

Profesionalitas dan integritas berbasis ajaran moralitas agama, hendaknya menjadi landasan bagi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menjadi pegangan ketika digoyang oleh godaan suap.
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com

Hakim merupakan ujung tombak penegakan hukum dan keadilan. Hakim memiliki peran yang sangat vital dalam menegakkan hukum dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, tanpa memandang status atau derajat masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang datang ke pengadilan dapat dipastikan membutuhkan keadilan, dan hakim lah yang menjadi harapan bagi masyarakat.

Dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan, diperlukan hakim yang memiliki integritas dan sikap profesional, agar tidak ada keputusan yang sifatnya transaksional. Artinya, pemeriksaan dan putusan pengadilan adalah murni atas pertimbangan hukum dan keadilan itu sendiri. Integritas dan profesionalitas erat kaitannya dengan moralitas yang dipegang oleh setiap hakim.

Salah satu sumber moralitas adalah bersumber dari ajaran agama. Seseorang yang memahami dan memegang teguh ajaran agamanya dapat dipastikan akan memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu, ajaran agama terutama yang berkaitan dengan ajaran moralitas memiliki kedudukan penting sebagai pegangan hakim untuk memiliki integritas dan profesionalitas.

Dalam Islam, terdapat banyak dasar-dasar ajaran moralitas, termasuk bagi hakim. Ada hadis Nabi Muhammad di bidang peradilan, yang menjadi landasan, pegangan dan pengingat moralitas terutama agar seorang hakim memiliki integritas dan sikap profesional. Nabi Muhammad bersabda:

“Ada tiga golongan hakim, dua di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran lalu ia berhukum dengan kebenaran tersebut maka dia masuk ke dalam surga. Seorang yang mengetahui kebenaran tetapi ia enggan berhukum dengan kebenaran tersebut dan zalim dalam memutuskan hukum maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan seorang yang tidak mengetahui kebenaran dan menghukum orang-orang atas dasar kejahilan maka masuklah ia ke dalam neraka”. (disadur dari Bulughul Maram, BAB Peradilan)

Bagi setiap orang yang beragama Islam, akan meyakini bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Setelahnya, akan ada kehidupan kekal abadi pascakematian. Kehidupan pascakematian (akhirat) tersebut, akan sangat bergantung dari apa yang dilakukannya saat masih hidup di dunia. Jika mematuhi ajaran Islam, termasuk moralitas Islam, maka dijanjikan surga yang berisi kenikmatan abadi. Namun, jika melanggar dan abai terhadap ajaran Islam, termasuk moralitas Islam, maka ganjarannya adalah neraka yang berisi kesengsaran abadi.

Dari hadis Nabi Muhammad tersebut sebelumnya, terdapat landasan, pegangan dan pengingat bagi setiap hakim agar di kehidupan pascakematian (after life/akhirat) dapat masuk ke dalam surga. Ajaran moralitas yang dimaksud adalah agar mengetahui kebenaran dan menegakkannya.

Mengetahui kebenaran merupakan sikap profesional seorang hakim. Profesionalitas bermakna sikap mental, perilaku, dan cara pandang yang mencerminkan dedikasi, kompetensi, dan komitmen terhadap pekerjaan. Hakim yang profesional tentu akan memiliki dedikasi, kompetensi dan komitmen terhadap pekerjaannya, yaitu menegakkan hukum dan keadilan, segaris dengan maksud menegakkan kebenaran.

Ketika seorang hakim memiliki sikap profesional, tentu ia akan selalu mengupgrade pengetahuan, kemampuan, dan kompetensinya dengan penuh dedikasi dan komitmen. Sebaliknya, jika seorang hakim abai terhadap peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kompetensinya, maka ia sudah mengabaikan sikap dan mental sebagai seorang profesional.
Menegakkan kebenaran adalah kata lain dari integritas. Integritas berarti kejujuran.

Integritas menunjukkan adanya konsistensi antara tindakan, keputusan, dengan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Hakim yang berintegritas akan memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran yang diyakininya, terlepas dari adanya godaan ataupun tekanan dari pihak lain. Hakim yang berintegritas tidak akan goyah dan menyimpangi kebenaran hanya karena faktor-faktor di luar pertimbangan hukum. Sebaliknya, jika seorang hakim tidak memiliki integritas, maka putusannya rentan mendapatkan pengaruh akibat godaan ataupun tekanan sehingga menyimpangi kebenaran.

Integritas menunjukkan bahwa putusan hakim adalah murni hasil dari pertimbangan hukum, bukan pesanan pihak manapun. Betapa pentingnya integritas dapat tergambar dari sikap Nabi Muhammad yang melaknat pemberi suap dan penerima suap (disadur dari Bulughul Maram, BAB Peradilan). Oleh sebab itu, bagi setiap hakim, sudah sepatutnya akan menolak godaan berupa suap ataupun gratifikasi dalam bentuk pemberian lainnya.

Dengan mengingat hadis Nabi Muhammad mengenai tiga jenis hakim, terdapat suatu rumus sebagai berikut:

Hakim yang kompeten dan berintegritas = mendapat ganjaran berupa surga,

Hakim yang kompeten namun tidak berintegritas = dibalas dengan siksaan neraka.

Hakim yang tidak kompeten dan tidak berintegritas = dibalas dengan siksaan neraka.

Oleh sebab itu, merupakan suatu kewajiban bagi hakim untuk senantiasa bersikap profesional, terutama dengan selalu meningkatan pengetahuan, kemampuan, dan kompetensinya dengan penuh dedikasi dan komitmen, agar memenuhi variabel sebagai hakim yang mengetahui kebenaran. Serta memiliki integritas yang tidak tergoyahkan agar memenuhi variabel penting lainnya sebagai hakim yang memutuskan hukum berdasarkan kebenaran.

Profesionalitas dan integritas berbasis ajaran moralitas agama tersebut, hendaknya menjadi landasan bagi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menjadi pegangan ketika digoyang oleh godaan suap. Dan menjadi pengingat bagi hakim bahwa untuk mendapatkan kenikmatan abadi di surga kelak, diperlukan profesionalitas dan integritas sebagai tiket masuknya.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews