Hakim Sebagai Birokrat: Pergeseran Fungsi Hakim dalam Peradilan Modern Indonesia dan Kritik Terhadapnya

Reformasi harus diarahkan untuk memanusiakan birokrasi peradilan, menciptakan ruang bagi pertimbangan substantif di tengah tuntutan efisiensi formal.
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com

Pendahuluan

Bayangkan sebuah pengadilan yang dipenuhi tumpukan berkas setinggi gunung. Di balik meja, seorang hakim berusaha menyelesaikan puluhan perkara dalam satu hari, matanya bergerak cepat menyusuri dokumen demi dokumen, tangannya menandatangani putusan demi putusan. Pemandangan ini bukan fiksi, melainkan realitas peradilan modern Indonesia. 

Di sisi lain, posisi hakim dalam sistem peradilan modern Indonesia berada pada persimpangan yang kompleks antara idealisme keadilan dan realitas birokrasi. Di satu sisi, hakim dituntut untuk menjadi penegak keadilan yang independen, kompeten, dan berintegritas sesuai dengan amanat konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. 

Di sisi lain, dalam praktiknya, hakim juga terikat dalam struktur birokrasi peradilan yang mengharuskannya untuk melaksanakan berbagai tugas administratif, mengikuti prosedur baku, dan memenuhi target-target kuantitatif tertentu. Sebuah sistem yang semakin lama semakin menyerupai birokrasi Weberian-teratur, efisien, namun terjebak dalam "sangkar besi" rasionalitas formal yang kaku.

Dalam kajian sosiologi hukum, transformasi fungsi hakim dari "oracle of law" menjadi "birokrat pengadilan" telah lama dicatat sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari modernisasi sistem peradilan. Perkembangan transformasi hakim menjadi "birokrat" dalam konteks pelayanan publik menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah peran ganda ini mendukung atau justru menghambat pemenuhan fungsi utama hakim dalam menegakkan keadilan? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan mengingat tuntutan masyarakat terhadap pelayanan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sesuai dengan asas peradilan di Indonesia, sementara pada saat yang sama, kualitas putusan hakim tetap menjadi indikator utama keberhasilan sistem peradilan.

Kajian ini membahas mengenai dinamika peran hakim sebagai birokrat dalam sistem peradilan modern di Indonesia. menganalisis dualisme fungsi hakim: sebagai penegak keadilan dan sebagai bagian dari birokrasi pelayanan publik. Beban kerja administratif yang signifikan diidentifikasi sebagai faktor yang berpotensi mengorbankan kualitas putusan.

Hasil penelitian menunjukkan adanya ketegangan antara idealisme independensi yudisial dengan realitas birokratisasi fungsi hakim, yang dapat memengaruhi kualitas pelayanan publik dalam sistem peradilan. Rekomendasi perbaikan diarahkan pada perampingan tugas administratif, peningkatan sistem pendukung, dan reformulasi parameter kinerja hakim yang lebih menekankan aspek kualitatif dibandingkan kuantitatif.

Hakim sebagai Birokrat dalam Sistem Peradilan Modern Indonesia

Hakim, secara konseptual, didefinisikan sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili dan memutus perkara. Dalam konteks Indonesia, hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hakim memiliki fungsi utama untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan berpedoman pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Namun, dalam perkembangannya, hakim juga dituntut untuk melaksanakan berbagai fungsi lain yang bersifat administratif dan birokratis, seperti mengelola administrasi perkara, menyusun laporan kinerja, dan memenuhi berbagai standar pelayanan publik yang ditetapkan (Bagir Manan, 2005).

Dalam perkembangan sistem peradilan modern Indonesia, peran hakim juga berkembang sebagai birokrat yang termanifestasi dalam berbagai bentuk aktivitas administratif yang menjadi bagian dari tugas sehari-hari hakim. Beberapa manifestasi tersebut antara lain sebagai pengelolaan administrasi perkara.

Di mana, hakim tidak hanya bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara, tetapi juga terlibat dalam pengelolaan administrasi perkara, seperti penelaahan berkas perkara, penjadwalan sidang, koordinasi dengan panitera, dan pemantauan progress perkara. Dalam banyak kasus, hakim juga dituntut untuk memastikan ketepatan waktu dalam penanganan perkara sesuai dengan standar waktu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung.

Selanjutnya peran hakim sebagai birokrat juga tergambar pada tugasnya dalam penyusunan laporan kinerja, dimana hakim diwajibkan untuk menyusun laporan kinerja secara berkala, baik laporan bulanan, triwulanan, maupun tahunan. Laporan tersebut mencakup jumlah perkara yang ditangani, jumlah putusan yang dihasilkan, sisa perkara, dan berbagai indikator kinerja lainnya. Penyusunan laporan ini membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit, yang berpotensi mengurangi fokus hakim pada substansi perkara yang ditanganinya.

Dalam paradigma peradilan modern, standarisasi prosedur juga menjadi hal yang penting untuk menjamin konsistensi dan kualitas pelayanan. Hakim dituntut untuk mematuhi berbagai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan, mulai dari prosedur penerimaan perkara, pemeriksaan, hingga putusan. Kepatuhan terhadap SOP ini, meskipun penting untuk menjamin akuntabilitas, seringkali juga membatasi ruang kreativitas dan diskresi hakim dalam menangani keunikan setiap perkara.

Terakhir, yang menjadi perkembangan beberapa tahun terakhir ini adalah hakim juga dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai program reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah dan institusi Mahkamah Agung. Seperti program akreditasi pengadilan, program zona integritas, dan program-program peningkatan pelayanan publik lainnya. Partisipasi ini seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan administratif seperti penyusunan dokumen, rapat koordinasi, dan evaluasi kinerja yang menghabiskan banyak waktu dan energi.

Paradigma Peradilan Modern di Indonesia: Beban Kerja Administratif vs Fungsi Utama Hakim

Paradigma peradilan modern di Indonesia ditandai dengan beberapa karakteristik utama, antara lain: transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan pemanfaatan teknologi informasi (Satjipto Rahardjo,2010). Mahkamah Agung, sebagai puncak peradilan di Indonesia, telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mendukung modernisasi peradilan, seperti penerapan sistem e-court, e-litigation, dan sistem informasi penelusuran perkara (SIPP).

Paradigma tersebut pada dasarnya menuntut adanya perubahan dalam cara kerja aparatur peradilan, termasuk hakim, untuk lebih berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas. Namun, pada saat yang sama, paradigma ini juga membawa konsekuensi berupa peningkatan beban kerja administratif bagi hakim, yang berpotensi memengaruhi kualitas pelaksanaan fungsi utamanya sebagai penegak keadilan (Sebastian Pompe, 2005).

Peningkatan beban kerja administratif bagi hakim menimbulkan ketegangan dengan pelaksanaan fungsi utamanya sebagai penegak keadilan. Beberapa aspek ketegangan tersebut antara lain:

- Keterbatasan Waktu dan Energi

Hakim, sebagai manusia, memiliki keterbatasan waktu dan energi. Semakin banyak waktu dan energi yang dihabiskan untuk tugas-tugas administratif, semakin sedikit pula yang tersisa untuk melakukan penelaahan mendalam terhadap perkara, mengikuti perkembangan hukum terbaru, atau merumuskan putusan yang komprehensif dan berkualitas. (Jimmly Asshiddiqie, 2015). 

- Tekanan untuk Mencapai Target Kuantitatif

Dalam paradigma birokrasi modern, efisiensi seringkali diukur dengan indikator-indikator kuantitatif. Hakim dituntut untuk memenuhi target jumlah perkara yang harus diselesaikan dalam periode tertentu. Tekanan ini berpotensi mendorong hakim untuk lebih memprioritaskan kecepatan daripada kedalaman analisis dalam memutus perkara (Adrian Bedner, 2016).

- Standardisasi vs. Keunikan Perkara

Standardisasi prosedur dan format putusan yang merupakan ciri dari birokrasi modern seringkali bertentangan dengan keunikan setiap perkara yang membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda. Hakim dituntut untuk mengikuti format baku dalam menyusun putusan, yang terkadang membatasi ruang kreativitas dan kedalaman analisis yang diperlukan untuk perkara-perkara yang kompleks (B.A Sidharta,2011).

- Kewajiban Administratif vs. Pengembangan Profesional

Beban kerja administratif yang tinggi seringkali mengurangi kesempatan hakim untuk mengembangkan diri secara profesional, seperti mengikuti pendidikan lanjutan, melakukan penelitian hukum, atau berpartisipasi dalam diskusi-diskusi akademis yang dapat memperkaya wawasan dan kompetensinya sebagai hakim.

Dualisme peran hakim sebagai penegak keadilan dan sebagai birokrat sebenarnya memiliki dampak dilematis yang signifikan terhadap kualitas pelayanan publik dalam konteks peradilan. Beberapa dampak dilematis tersebut tergambar dari muncul nya dilema efisiensi vs. kualitas putusan, dimana tekanan untuk menyelesaikan perkara dengan cepat seringkali berbenturan dengan kebutuhan untuk melakukan analisis yang mendalam dan komprehensif. Akibatnya, putusan yang dihasilkan mungkin lebih efisien dari segi waktu, tetapi kurang berkualitas dari segi substansi dan penalaran hukum.

Selain itu, birokrasi yang terlalu kaku dan prosedural dapat menghambat akses masyarakat terhadap keadilan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang prosedur hukum atau tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum. Di sisi lain, standardisasi prosedur juga dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan kepastian tentang tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses peradilan.

Birokratisasi yang berlebihan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Masyarakat mungkin melihat pengadilan lebih sebagai institusi birokrasi yang kaku dan tidak responsif, daripada sebagai tempat untuk mencari keadilan yang substantif. Sebaliknya, peningkatan efisiensi dan transparansi melalui reformasi birokrasi juga dapat meningkatkan kepercayaan publik jika diimplementasikan dengan tepat.

Terakhir tantangan yang muncul yakni reduksi terhadap inovasi dan adaptasi terhadap Dinamika Sosial, dimana kekakuan birokrasi seringkali menghambat inovasi dan adaptasi terhadap dinamika sosial yang terus berubah. Hakim yang terlalu terikat pada prosedur dan target administratif mungkin kurang memiliki ruang untuk mengembangkan interpretasi hukum yang progresif dan responsif terhadap perkembangan masyarakat (Romli Atmasasmita, 2010).

Kritik dari Perspektif Kualitas Putusan dan Pelayanan Publik

Kritik terhadap birokratisasi peran hakim muncul tidak hanya karena dampaknya terhadap kualitas putusan yang dihasilkan tetapi juga dapat muncul dari perspektif pelayanan publik. Beberapa kritik tersebut antara lain:

Kritik dari aspek kualitas putusan memunculkan apa yang disebut dengan superfisialitas analisis dimana Tekanan untuk memenuhi target kuantitatif dapat mendorong hakim untuk melakukan analisis yang superfisial terhadap permasalahan hukum yang ditanganinya. Akibatnya, putusan yang dihasilkan mungkin kurang mempertimbangkan kompleksitas permasalahan dan kurang didukung oleh argumentasi hukum yang kokoh. 

Selain itu, untuk memenuhi tuntutan efisiensi, hakim seringkali menggunakan template atau format baku dalam menyusun putusan. Praktik ini, meskipun efisien dari segi waktu, dapat mengurangi kedalaman analisis dan personalitas putusan yang seharusnya mencerminkan pertimbangan unik untuk setiap perkara.

Beban kerja administratif yang tinggi juga berkontribusi karena mengurangi waktu yang tersedia bagi hakim untuk melakukan riset hukum yang mendalam atau berdeliberasi dengan sesama hakim. Hal ini berpotensi mengurangi kualitas argumentasi hukum dan koherensi doktrinal dalam putusan-putusan yang dihasilkan.

Adapun dari aspek pelayanan publik dampak dari birokratisasi peran hakim memunculkan apa yang disebut dengan dehumanisasi proses peradilan (Ramdhan Kasim, 2020), di mana terdapat fokus yang berlebihan pada prosedur dan target administratif dapat menyebabkan dehumanisasi proses peradilan. Para pencari keadilan mungkin merasa bahwa mereka diperlakukan lebih sebagai "kasus" daripada sebagai individu dengan permasalahan dan kebutuhan yang unik. 

Selain itu, birokrasi yang kompleks dan prosedural dapat mempersulit akses masyarakat terhadap keadilan, terutama bagi kelompok-kelompok marginal yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang sistem peradilan atau tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum.

Kekakuan birokrasi juga seringkali menghambat responsivitas lembaga peradilan terhadap kebutuhan dan ekspektasi masyarakat yang terus berubah. Hakim yang terlalu terikat pada prosedur dan target administratif mungkin kurang memiliki fleksibilitas untuk mengembangkan pendekatan yang responsif terhadap permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.

Selain dari kedua aspek tersebut Pergeseran fungsi hakim menjadi birokrat juga telah mengundang berbagai kritik substantif, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori:

1. Kritik Filosofis: Reduksi Keadilan menjadi Prosedur

Kritik paling mendasar terhadap birokratisasi hakim berangkat dari pemikiran bahwa keadilan tidak dapat direduksi menjadi prosedur formal. Satjipto Rahardjo, dengan konsep "hukum progresif"-nya, mengkritik kecenderungan hakim Indonesia untuk bersembunyi di balik prosedur dan teks undang-undang, mengabaikan tujuan keadilan substantif (Satjipto Rahardjo, 2007)

Dalam perspektif Weberian, ini merupakan manifestasi dari "paradoks rasionalitas"-semakin rasional dan efisien suatu sistem, semakin ia kehilangan tujuan substantifnya. Hakim-birokrat yang terjebak dalam rasionalitas formal cenderung menghasilkan putusan yang "benar secara formal" namun "gagal secara substantif".

2. Kritik Sosiologis: Asing dari Realitas Sosial

Birokratisasi cenderung menciptakan jarak antara hakim dengan realitas sosial yang mereka putuskan. Franz von Benda-Beckmann, dalam penelitiannya tentang peradilan di Indonesia, mencatat bahwa semakin birokratis seorang hakim, semakin ia mengandalkan kategorisasi legal-formal dan mengabaikan konteks sosial yang kompleks. (Benda-Beckmann, Franz von. 2002).

Menurut Weber, birokrasi memang dirancang untuk menciptakan jarak emosional demi impersonalitas. Namun dalam konteks peradilan, impersonalitas berlebihan dapat membuat hakim kehilangan empati dan pemahaman terhadap dampak sosial dari putusannya.

Contoh nyata adalah penanganan kasus-kasus kepemilikan tanah adat. Studi Sulistyowati Irianto menunjukkan bahwa pendekatan birokratis hakim sering gagal memahami kompleksitas hukum adat, menghasilkan putusan yang menciptakan konflik baru di masyarakat. (Sulistyowati Irianto. 2012).

3. Kritik Struktural: Ketimpangan Akses terhadap Birokrasi

Dalam kerangka Weberian, birokrasi seharusnya bersifat netral dan universal. Namun praktiknya, sistem peradilan yang birokratis justru menciptakan ketimpangan akses. Mereka yang memiliki sumber daya ekonomi dan pengetahuan tentang cara kerja birokrasi memiliki keuntungan signifikan.

Penelitian Adriaan Bedner di pengadilan tata usaha negara Indonesia menunjukkan bahwa birokratisasi prosedur peradilan justru menguntungkan lembaga negara dan korporasi yang memiliki sumber daya hukum lebih besar, sedangkan individu dan kelompok marjinal sering kesulitan menavigasi kompleksitas prosedural. (Adrian Bedner, A. & H. Wiratraman, 2019)

4. Kritik Psikologis: Dampak pada Identitas Profesional Hakim

Birokratisasi juga berdampak pada psikologi dan identitas profesional hakim. Studi yang dilakukan oleh Antonius Sudirman terhadap hakim pengadilan negeri di Indonesia menunjukkan bahwa tekanan untuk memenuhi target kuantitatif cenderung menciptakan kelelahan dan sinisme, serta mengikis idealisme yang pada awalnya membawa mereka ke profesi kehakiman. (P Hikmawati, 2016)

Weber sendiri mengakui bahwa "sangkar besi" birokrasi dapat mengikis otonomi dan kreativitas individu. Dalam konteks kehakiman, ini berarti erosi keberanian untuk berpikir mandiri dan mengambil keputusan yang mungkin tidak populer namun lebih adil.

Penyeimbangan Peran Ganda Hakim dalam Pelayanan Publik

A. Strategi Penyeimbangan pada Tataran Kebijakan

Untuk menyeimbangkan peran ganda hakim sebagai penegak keadilan dan sebagai birokrat, diperlukan strategi-strategi yang efektif pada tataran kebijakan. Beberapa strategi tersebut antara lain dengan melakukan reformulasi Indikator Kinerja, dimana Indikator kinerja hakim perlu direformulasi untuk memberikan bobot yang lebih seimbang antara aspek kuantitatif (seperti jumlah perkara yang diselesaikan) dan aspek kualitatif (seperti kualitas penalaran hukum, tingkat keberterimaan putusan, atau tingkat pembatalan putusan pada tingkat banding) (Romli Atmasasmita, 2010). Dengan demikian, hakim tidak hanya didorong untuk bekerja cepat, tetapi juga untuk menghasilkan putusan yang berkualitas.

Strategi lain yang bisa dilakukan yakni dengan melakukan diferensiasi beban kerja berdasarkan kompleksitas perkara. Perkara-perkara yang lebih kompleks seharusnya diberi bobot yang lebih tinggi dalam perhitungan beban kerja, sehingga hakim memiliki waktu yang cukup untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap perkara-perkara tersebut (Wijayanta, T. & Firmansyah, H, 2018).

Untuk mengurangi beban administratif hakim, perlu adanya penguatan dukungan staf, seperti penambahan jumlah panitera dan asisten peneliti hukum yang dapat membantu hakim dalam mengelola administrasi perkara dan melakukan riset hukum. Dengan demikian, hakim dapat lebih fokus pada tugas utamanya dalam memeriksa dan memutus perkara.

Selain itu, penerapan sistem manajemen perkara yang efektif, seperti diferensiasi jalur perkara (track system) dan pengelompokan perkara berdasarkan kompleksitas, dapat membantu mengoptimalkan alokasi waktu dan sumber daya hakim. Perkara-perkara yang sederhana dapat diproses melalui jalur cepat, sementara perkara-perkara yang kompleks diberikan waktu dan perhatian yang lebih banyak.

B. Strategi Penyeimbangan pada Tataran Praktis

Selain pada tataran kebijakan, diperlukan juga strategi-strategi penyeimbangan pada tataran praktis untuk membantu hakim mengelola peran gandanya secara efektif. Beberapa strategi tersebut antara lain, misalnya hakim perlu mengembangkan keterampilan manajemen waktu yang efektif untuk mengalokasikan waktu secara proporsional antara tugas-tugas yudisial dan administratif. Teknik-teknik seperti time blocking, prioritisasi tugas, dan delegasi dapat membantu hakim mengelola beban kerjanya secara lebih efektif

Pemanfaatan teknologi informasi, seperti sistem manajemen perkara elektronik, template putusan digital, atau alat bantu riset hukum, dapat membantu hakim melaksanakan tugas-tugas administratif dengan lebih efisien, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melakukan analisis substantif terhadap perkara.

Selain itu, hakim perlu terus mengembangkan kompetensi profesionalnya, baik dalam aspek substantif hukum maupun dalam aspek manajemen dan administrasi. Program-program pengembangan profesional berkelanjutan dapat membantu hakim meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya dalam menjalankan peran ganda.

Kolaborasi dan berbagi pengetahuan antar hakim dapat membantu meningkatkan efisiensi dan kualitas kerja. Praktik-praktik baik dalam mengelola beban kerja, teknik-teknik analisis hukum yang efektif, atau strategi-strategi penulisan putusan yang efisien dapat dibagikan melalui forum-forum kolaborasi antar hakim.

Rekomendasi Perbaikan Sistem Peradilan 

A. Reformasi Struktural

Untuk memperbaiki keseimbangan antara peran hakim sebagai penegak keadilan dan sebagai birokrat, diperlukan beberapa reformasi struktural dalam sistem peradilan Indonesia. Beberapa rekomendasi reformasi struktural seperti perampingan struktur birokrasi. Di mana, struktur birokrasi dalam lembaga peradilan perlu dirampingkan untuk mengurangi lapisan-lapisan birokrasi yang tidak perlu dan memperjelas alur koordinasi antar unit kerja. Dengan demikian, proses-proses administratif dapat berjalan lebih efisien dan hakim dapat lebih fokus pada tugas utamanya. 

Perlu adanya pemisahan yang lebih tegas antara fungsi yudisial dan fungsi administratif dalam lembaga peradilan. Fungsi-fungsi administratif yang tidak memerlukan keterlibatan langsung hakim dapat didelegasikan kepada staf administratif yang terlatih, sehingga hakim dapat lebih fokus pada fungsi yudisialnya.

Selanjutnya, sistem pendukung bagi hakim, seperti staf riset hukum, sistem informasi hukum, dan teknologi manajemen perkara, perlu diperkuat untuk membantu hakim melaksanakan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien. Investasi dalam sistem pendukung ini dapat memberikan return on investment yang signifikan dalam bentuk peningkatan kualitas putusan dan efisiensi proses peradilan.

Sistem penganggaran berbasis kinerja untuk lembaga peradilan juga perlu direformulasi untuk memberikan insentif yang lebih seimbang antara efisiensi administratif dan kualitas putusan. Alokasi sumber daya perlu memperhitungkan tidak hanya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga kualitas penyelesaian perkara tersebut

B. Pengembangan Kapasitas

Selain reformasi struktural, diperlukan juga program-program pengembangan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan hakim dalam mengelola peran gandanya secara efektif.

Beberapa rekomendasi pengembangan kapasitas dimana Hakim perlu dibekali dengan keterampilan manajemen peradilan yang efektif, seperti manajemen waktu, manajemen kasus, dan manajemen sidang. Pelatihan-pelatihan ini dapat membantu hakim melaksanakan tugas-tugas administratifnya dengan lebih efisien, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melakukan analisis substantif terhadap perkara.

Selain itu kompetensi substantif hakim dalam berbagai bidang hukum perlu terus diperkuat melalui program-program pendidikan berkelanjutan, diskusi hukum, dan akses terhadap sumber-sumber informasi hukum terkini. Penguatan kompetensi ini dapat membantu hakim melakukan analisis hukum yang lebih efisien dan berkualitas.

Selain itu hakim juga perlu mengembangkan berbagai soft skills yang penting untuk perannya, seperti keterampilan komunikasi, manajemen konflik, dan pengambilan keputusan. Soft skills ini dapat membantu hakim menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan peran gandanya.

Program mentoring dan coaching oleh hakim senior atau ahli manajemen peradilan dapat membantu hakim, terutama hakim junior, mengembangkan strategi-strategi efektif dalam mengelola beban kerja dan menyeimbangkan tuntutan administratif dengan kualitas putusan.

C. Perbaikan Sistem Pelayanan Publik

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam konteks peradilan, diperlukan beberapa perbaikan dalam sistem pelayanan yang ada. Beberapa rekomendasi perbaikan sistem pelayanan dapat dilakukan dengan simplifikasi prosedur. Di mana, prosedur peradilan perlu disederhanakan untuk mengurangi beban administratif bagi hakim dan mempermudah akses masyarakat terhadap keadilan.

Penghapusan prosedur-prosedur yang tidak perlu dan penyederhanaan format-format dokumen dapat membantu meningkatkan efisiensi proses peradilan tanpa mengorbankan kualitas.

Transparansi dalam proses peradilan perlu ditingkatkan melalui publikasi jadwal sidang, putusan, dan informasi-informasi lain yang relevan bagi masyarakat. Transparansi ini tidak hanya membantu meningkatkan akuntabilitas peradilan, tetapi juga mengurangi beban administratif hakim dalam mengelola komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan.

Untuk itu, sistem informasi publik tentang proses peradilan perlu diperkuat melalui pengembangan website, aplikasi mobile, atau media lain yang mudah diakses oleh masyarakat. Informasi yang jelas dan mudah diakses dapat mengurangi kebingungan masyarakat dan mengurangi beban hakim dalam menjelaskan prosedur-prosedur peradilan.

Mekanisme umpan balik dari masyarakat terhadap pelayanan peradilan perlu dikembangkan untuk mengidentifikasi area-area yang perlu diperbaiki. Umpan balik ini dapat menjadi masukan berharga bagi hakim dan lembaga peradilan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

D. Reformulasi Parameter Kinerja Hakim

Untuk mendukung keseimbangan antara efisiensi administratif dan kualitas putusan, diperlukan reformulasi parameter kinerja hakim yang lebih komprehensif. Beberapa rekomendasi reformulasi parameter kinerja dapat dilakukan seperti dengan mengembangkan indikator kualitatif, di mana selain indikator kuantitatif seperti jumlah perkara yang diselesaikan, perlu dikembangkan juga indikator-indikator kualitatif untuk mengukur kinerja hakim, seperti kualitas penalaran hukum, ketepatan dalam menerapkan preseden, atau tingkat kepuasan para pihak terhadap proses peradilan

Parameter kinerja hakim perlu dideferensiasi berdasarkan kompleksitas perkara yang ditangani. Perkara-perkara yang lebih kompleks seharusnya diberi bobot yang lebih tinggi dalam evaluasi kinerja, sehingga hakim tidak terdorong untuk menghindari perkara-perkara yang kompleks demi mencapai target kuantitatif.

Evaluasi kinerja hakim perlu dilakukan secara berkala dan komprehensif, melibatkan berbagai dimensi kinerja dan mempertimbangkan konteks spesifik di mana hakim bekerja. Evaluasi ini tidak hanya berfungsi sebagai alat penilaian, tetapi juga sebagai sarana untuk mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas.

Terakhir rekomendasi lain yang bisa dilakukan yakni dengan pengembangan sistem insentif yang seimbang, dimana Sistem insentif bagi hakim, baik yang bersifat finansial maupun non-finansial, perlu dikembangkan untuk memberikan penghargaan yang seimbang terhadap efisiensi administratif dan kualitas putusan. Insentif ini dapat memotivasi hakim untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam kedua aspek tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa peran hakim sebagai birokrat dalam sistem peradilan modern Indonesia menimbulkan berbagai tantangan dan peluang dalam konteks pelayanan publik. Beberapa kesimpulan utama dari penelitian ini antara lain:

Peran hakim sebagai birokrat termanifestasi dalam berbagai bentuk aktivitas administratif, seperti pengelolaan administrasi perkara, penyusunan laporan kinerja, kepatuhan terhadap standar operasional prosedur, dan partisipasi dalam program reformasi birokrasi.

Dualisme peran hakim sebagai penegak keadilan dan sebagai birokrat menimbulkan ketegangan dalam hal alokasi waktu dan energi, tekanan untuk mencapai target kuantitatif, standardisasi versus keunikan perkara, dan kewajiban administratif versus pengembangan profesional.

Birokratisasi peran hakim memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas pelayanan publik dalam konteks peradilan, terutama dalam hal keseimbangan antara efisiensi dan kualitas putusan, akses terhadap keadilan, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, serta inovasi dan adaptasi terhadap dinamika sosial.

Kritik terhadap birokratisasi peran hakim dapat dilihat dari berbagai perspektif, termasuk perspektif kemandirian yudisial, kualitas putusan, dan pelayanan publik.

Untuk menyeimbangkan peran ganda hakim, diperlukan strategi-strategi pada tataran kebijakan dan praktis, serta pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam proses reformasi peradilan.

Rekomendasi perbaikan sistem peradilan mencakup reformasi struktural, pengembangan kapasitas, perbaikan sistem pelayanan publik, dan reformulasi parameter kinerja hakim.
Birokratisasi fungsi hakim di Indonesia merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dalam peradilan modern.

Namun, dalam kerangka pemikiran Weber misalnya, kita perlu menyadari bahwa rasionalitas formal—meski efisien—berisiko menjauhkan sistem peradilan dari nilai-nilai keadilan substantif yang menjadi tujuan utamanya.

Hakim Indonesia saat ini berada dalam posisi dilematis: dituntut menjadi birokrat yang efisien sekaligus cendekiawan hukum yang mendalam. Tanpa reformasi komprehensif dalam sistem peradilan, ketegangan ini berpotensi menghasilkan "raga birokrat dengan jiwa yang hampa"—hakim yang menjalankan fungsi mekanistis tanpa substansi keadilan.

Reformasi peradilan ke depan tidak seharusnya bertujuan menghapus aspek birokratis dari fungsi hakim—ini tidak mungkin dan tidak selalu diinginkan. Sebaliknya, reformasi harus diarahkan untuk memanusiakan birokrasi peradilan, menciptakan ruang bagi pertimbangan substantif di tengah tuntutan efisiensi formal.