Kebutuhan akan peraturan yang rigid, ketat dan komprehensif mengenai permaafan hakim dalam KUHAP yang berlaku pada 2026, merupakan isu penting yang harus mendapatkan perhatian serius.
Meskipun berbeda konteks dari "permasalahan hakim," risiko penyalahgunaan atau ketidakjelasan dalam pemberian maaf oleh hakim yang ada di dalam KUHP dapat menimbulkan masalah signifikan dalam sistem peradilan pidana. Maka aturan pelaksana mengenai pemberian permaafan hakim menjadi sangat penting untuk diatur secara rigid di dalam KUHAP, Mari kita bahas urgensinya sebagai berikut:
1. Menghindari Impunitas dan Mengutamakan Keadilan:
- Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan: Tanpa aturan yang jelas dan batasan tegas, pemberian maaf oleh hakim bisa menjadi celah bagi praktik korupsi atau kolusi. Hakim yang memiliki relasi tertentu dengan terdakwa atau pihak kepentingan lainnya dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk memberikan maaf secara subjektif.
- Merusak Rasa Keadilan Korban dan Masyarakat: Jika pelaku kejahatan berat mendapatkan permaafan hakim tanpa alasan yang jelas, ini dapat mencederai rasa keadilan bagi korban dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.
- Merusak Tujuan Pemidanaan: Tujuan pemidanaan, seperti memberi efek jera, rehabilitasi, dan perlindungan masyarakat, bisa gagal jika hakim dengan mudah memberikan maaf tanpa mempertimbangkan beratnya tindakan, dampak pada korban, dan kepentingan umum.
2. Menjamin Kepastian Hukum dan Konsistensi Penerapan:
- Standar yang Subjektif: Tanpa pedoman yang jelas, kriteria untuk memberikan maaf bisa sangat subjektif dan bervariasi antarhakim atau pengadilan, menciptakan ketidakpastian hukum, dan kemungkinan diskriminasi.
- Ketidakjelasan Prosedur: Bagaimana proses permohonan dan pemberian maaf oleh hakim seharusnya? Apakah ada mekanisme pengawasan terhadap pemberian maaf ini? Tanpa aturan yang pasti, proses tersebut bisa menjadi tidak transparan dan tidak akuntabel.
- Kemungkinan Banding yang Tidak Efektif: Jika alasan di balik pemberian maaf tidak jelas dan tidak berdasarkan aturan yang jelas, pihak yang merasa dirugikan akan kesulitan untuk melakukan upaya hukum banding atau kasasi yang efektif.
3. Memelihara Integritas dan Martabat Profesi Hakim:
- Menghindari Persepsi Negatif: Pemberian maaf yang tidak didasari alasan yang jelas atau terindikasi adanya kepentingan tertentu dapat merusak citra dan integritas profesi hakim, sehingga mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
- Mendorong Akuntabilitas: Aturan yang jelas tentang pemberian maaf akan menciptakan mekanisme akuntabilitas bagi hakim dalam menjalankan kewenangannya, membuat hakim lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam memberikan maaf jika ada dasar hukum dan prosedur yang jelas.
Perlu dicatat bahwa konsep "permaafan hakim" dalam hukum pidana Indonesia mungkin belum diatur secara eksplisit seperti grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan presiden.
Namun, dalam praktiknya, ke depan melalui KUHP yang baru, hakim memiliki diskresi untuk menjatuhkan keputusan, termasuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Jika diskresi ini tidak diatur dengan baik, potensi penyalahgunaan dan ketidakadilan tetap ada.
Oleh karena itu, penetapan regulasi yang ketat dan menyeluruh terkait batasan, alasan, prosedur, dan mekanisme kontrol terhadap permaafan hakim dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan hukuman (yang dalam konteks ini kita sebut sebagai "permaafan hakim" dalam arti luas) dalam KUHAP sangatlah penting karena hakim dapat menerapkan secara objektif.
Regulasi ini akan berkontribusi pada terciptanya sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, akuntabel, dan dapat diandalkan oleh masyarakat, serta menghindari subjektifitas hakim dalam menjatuhkan putusan.
Melalui Pemikiran Prof Sutjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Penegakan Hukum Progresif (2002), dapat dipahami, hanya sistem baik yang akan menghasilkan hukum yang baik.
Teori Lawrence Friedman, yang dikenal sebagai "The Legal System," melihat, sistem hukum sebagai kesatuan yang terdiri dari tiga elemen utama yang saling berhubungan dan memengaruhi:
1. Substance (substansi hukum): Ini mencakup aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak, termasuk undang-undang, peraturan, keputusan hakim, dan norma sosial yang diakui dalam hukum.
2. Structure (struktur hukum): Ini mengacu pada institusi dan organisasi yang terlibat dalam pembuatan, penerapan, dan penegakan hukum, seperti pengadilan, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan.
3. Culture (budaya hukum): Ini mencakup nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukumnya. Budaya hukum berpengaruh pada bagaimana hukum disusun, ditafsirkan, dan diikuti.
Sekarang, mari kita kaitkan ketiga elemen ini dengan kebutuhan pengaturan yang ketat mengenai asas permaafan hakim dalam KUHAP:
1. Substance (substansi hukum): Kebutuhan akan Aturan yang Jelas dan Ketat
- Mengatasi Ketidakjelasan: Friedman menekankan pentingnya substansi hukum yang tegas dan menyeluruh. Saat ini, KUHAP mungkin belum memiliki aturan yang jelas tentang batasan, alasan, dan prosedur pemberian permaafan oleh hakim. Pengaturan yang ketat dapat mengisi kekurangan ini dan memberikan kepastian hukum.
- Mencegah Interpretasi Subjektif: Substansi hukum yang tidak jelas memberi peluang bagi interpretasi yang bervariasi oleh hakim, berpotensi menghasilkan putusan yang tidak konsisten dan tidak adil. Aturan ketat akan meminimalkan interpretasi yang luas dan memastikan penerapan yang lebih konsisten.
- Refleksi Nilai Keadilan: Substansi hukum yang baik harus mencerminkan nilai-nilai keadilan masyarakat. Jika proses pemberian permaafan hakim tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, yang dapat merusak legitimasi hukum.
2. Structure (struktur hukum): Kebutuhan akan Mekanisme Pengawasan dan Akuntabilitas
- Pengawasan dan Pembenahan: Friedman menyoroti perlunya struktur hukum yang efektif untuk mengawasi dan memperbaiki penyimpangan penerapan hukum. Pengaturan ketat tentang permaafan dapat menciptakan mekanisme pengawasan yang lebih jelas, seperti kewajiban hakim untuk memberikan alasan yang transparan dalam putusan, atau mekanisme banding khusus.
- Meningkatkan Akuntabilitas Hakim: Struktur hukum yang baik harus mendukung akuntabilitas para penegak hukum, termasuk hakim. Aturan yang jelas mengenai permaafan akan memperkuat tanggung jawab hakim terhadap keputusan mereka dan memungkinkan mereka dimintai pertanggungjawaban atas penyalahgunaan wewenang.
- Memperkuat Institusi Peradilan: Pengaturan yang ketat dan konsisten dapat meningkatkan integritas dan kredibilitas lembaga peradilan secara keseluruhan. Masyarakat akan lebih percaya pada sistem hukum jika melihat adanya aturan yang jelas dan diterapkan secara konsisten.
3. Culture (budaya hukum): Membangun Kesadaran dan Kepatuhan
- Mempengaruhi Persepsi Masyarakat: Budaya hukum yang baik dicirikan oleh kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Jika masyarakat melihat potensi ketidakadilan dalam pemberian permaafan karena kurangnya aturan, ini dapat menurunkan kepercayaan dan kepatuhan terhadap hukum secara umum.
- Mendorong Perilaku yang Sesuai Hukum: Pengaturan yang jelas dan ketat dapat membentuk perilaku hakim untuk lebih hati-hati dan objektif dalam mempertimbangkan faktor-faktor meringankan hukuman. Ini juga dapat mendorong pihak-pihak untuk bertindak sesuai dengan hukum.
- Menciptakan Konsensus Nilai: Dengan pengaturan yang ketat dan proses legislasi yang partisipatif, diharapkan akan terbentuk konsensus dalam masyarakat mengenai batasan dan alasan yang sah untuk pemberian permaafan hakim.
Kesimpulan Berdasarkan Teori Friedman: Dari sudut pandang teori Lawrence Friedman, urgensi pengaturan yang ketat dan menyeluruh mengenai asas permaafan hakim dalam KUHAP menjadi semakin jelas. Ini tidak hanya memperbaiki substansi hukum, tetapi juga memperkuat struktur hukum dengan mekanisme kontrol dan akuntabilitas, serta menciptakan budaya hukum yang lebih adil dan terpercaya.
Tanpa pengaturan yang jelas, ketiga elemen sistem hukum ini dapat terganggu, mengancam efektivitas dan legitimasi sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Tujuan dari permaafan hakim adalah untuk memberikan opsi keputusan dari sekedar memberikan penghukuman secara retributif namun penting untuk menghindari celah yang dapat mengarah pada akses keadilan yang transaksional dan membahayakan tujuan permaafan hakim serta prinsip keadilan yang ada.
Jangan sampai terdapat jurang antara tujuan dari adanya permaafan Hakim ini dengan praktiknya di lapangan yang dikotori oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga menjadi sangat jauh dari apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang ada dan diterapkan (das sein), oleh karena itu aturan mengenai permaafan hakim dalam KUHP harus diatur secara jelas, rinci. dan rigid di dalam KUHAP, agar dapat diuji dalam lembaga legislatif dan tercapai nya aspirasi masyarakat dan difahami oleh seluruh aparat penegak hukum.