Wewenang hakim dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Meskipun tidak secara harafiah, namun kewenangan tersebut dapat dilihat dari uraian Pasal 174 KUHAP yang menyatakan pada pokoknya, Hakim Ketua sidang karena jabatannya dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
Sejak diundangkannya Undang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU 18/2013), melalaui Pasal 36 huruf d, hakim diberkan wewenang untuk menetapakan seseorang menjadi tersangka.
Dengan demikian, kewenangan hakim dalam penetapan tersangka tidak hanya terbatas pada subjek berupa saksi yang diduga melakukan tindak pidana sumpah palsu sebagaimana diatur di dalam Pasal 174 KUHAP, namun dapat juga dilaksanakan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam UU 18/2013.
Menurut hemat penulis, kewenangan hakim dalam penetapan tersangka sejatinya merupakan langkah konkrit atas upaya menegakkan hukum dan keadilan dalam arti menyeluruh, karena sejatinya, hakim merupakan pejabat negara yang melakukan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meneggakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Artinya, penegakan hukum dan keadilan dalam konteks mengadili perkara pidana tidak terbatas pada perkara pokok yang sedang diadili aja, melainkan juga terhadap dugaan tindak pidana lain yang terungkap dari hasil pemeriksaan perkara pokok tesebut. Agar memaksimalkan tanggung jawab yang mulia tersebut, perlu diadakan rekonstruksi pengaturan tentang kewenangan hakim dalam penetapan tersangka.
Urgensi rekonstruksi pengaturan tersebut dapat ditinjau dari beberapa contoh ilustrasi kasus yang sering diadili oleh hakim. Misalnya, dalam menangani perkara tindak pidana penambangan tanpa izin, sering kali berdasarkan hasil pembuktian terungkap bahwa mineral yang ditambang secara ilegal tersebut pernah dijual kepada orang lain yang tidak pernah dihadirkan di persidangan.
Padahal, perbuatan menampung mineral yang bersumber dari penambangan tanpa izin termasuk dalam salah satu jenis tindak pidana di bidang pertambangan. Oleh karena itu, agar berkeadilan menurut hemat penulis, pelaksanaan kewenangan hakim dalam penetapan tersangka perlu diperluas ruang lingkupnya terhadap seluruh jenis tindak pidana.
Selanjutnya, menurut hemat penulis, agar berkepastian, perlu diatur pula tentang mekanisme pelaksanaan penetapan tersangka agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda di kalangan penuntut umum yang merupakan pelaksana penetapan hakim. Kemudian, perlu diatur pula terkait larangan upaya hukum terhadap penetapan tersangka oleh hakim, karena karakternya yang berbeda dengn penetapan tersangka oleh penyidik.
Sehingga, kewenangan hakim dalam penetapan tersangka tidak tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan, penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan paling sedikit dua alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon tersangkanya.
Selain itu, menurut hemat penulis, perlu diatur juga tentang hal-hal pokok yang wajib termuat di dalam penetapan tersangka tersebut, agar kedepannya ada keseragaman dan kejelasan. Karena sejatinya, setiap produk hukum yang dikeluarkan atas dasar kewenagnan yang sah sebagaimana diatur KUHAP, selalu diikuti dengan pengaturan tentang hal-hal pokok yang wajib termuat di dalamnya.
Sebagai contoh, Pasal 197 KUHAP yang mengatur tentang hal-hal pokok yang wajib termuat di dalam putusan pemidanaan.
RUU KUHAP versi 15 April 2025 yang saat ini masih dalam tahap proses pembahasan juga belum mengatur tentang wewenang hakim dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Oleh sebab itu, penulis berpendapat, perlu ditambahkan ketentutan tentang kewenangan hakim dalam penetapan tersangka yang memuat ruang lingkup serta mekanisme pelaksanaan kewenangan tersebut, serta muatan dari penetapan tersangka tersebut.
Penulis: Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjungpandan Septri Andri Mangara Tua, Endi Nursatria, dan Frans Lukas Sianipar.