Bagir Manan: Sang Reformis Sejati

Bagir Manan selalu meninggalkan jejak yang positif ketika mengemban suatu amanah.
Mantan Ketua MA Bagir Manan. Foto dokumentasi wikipedia.
Mantan Ketua MA Bagir Manan. Foto dokumentasi wikipedia.

Setelah Reformasi 1998, institusi kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang fundamental. Selain lahirnya institusi baru yaitu, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, terjadi perubahan yang fundamental secara struktural di Mahkamah Agung yaitu, dengan diberlakukannya sistem satu atap. 

Pada prinsipnya, tujuan dari sistem satu atap yaitu ingin memperkuat kemandirian badan peradilan. Dalam hal ini, urusan organisasi, administrasi, dan finansial diatur sendiri oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tidak lagi menjadi kewenangan masing-masing departemen yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Oleh sebab itu, ketika membicarakan mengenai sistem satu atap tidak bisa dilepaskan dari sosok Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu yaitu, Bagir Manan.

Sekilas Biografi

Lahir di Desa Kalibalangan Lampung pada 6 Oktober 1941, awalnya Bagir Manan hanya bercita-cita ingin menjadi juru tulis di kecamatan. Namun, perjalanan hidup membawanya melebihi apa yang dipikirkannya pada waktu itu. Semuanya diawali ketika memulai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada 1960. Bakatnya di bidang akademik dan organisasi membuat karirnya cemerlang setelah menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada 1965.

Setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bagir Manan sempat dipercaya untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung hingga periode awal 1970-an.

Setelah itu, Bagir Manan melanjutkan studi di Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, Amerika Serikat dan meraih gelar Master of Comparative Law. Di 1990, Bagir Manan berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut Asas Desentralisasi berdasarkan UUD 1945” dengan ketua tim promotor Prof. Sri Soemantri. Setelah lulus S3, Bagir Manan kemudian diangkat menjadi Direktur Perundang-undangan dan kemudian menjadi Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan. 

Pada Maret 2000, Bagir Manan diangkat menjadi anggota Komisi Ombudsman Nasional yang merupakan lembaga yang baru dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama Prof. Yusril Ihza Mahendra yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan mengajukan Bagir Manan menjadi salah satu calon Hakim Agung dari jalur nonkarir bersama dengan Prof. Muladi, Prof. Laica Marzuki, dan Prof. Valerine Kierkhoff.

Selanjutnya, pada 5 Mei 2001 merupakan hari yang bersejarah bagi Bagir Manan karena pada tanggal tersebut diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Mahkamah Agung.     

Perjalanan Reformasi Dimulai

Bisa dikatakan Bagir Manan merupakan seorang reformis sejati. Amanah sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia digunakan untuk menyusun strategi dan pembenahan di dunia peradilan Indonesia. Salah satu cara yang digunakan oleh Bagir Manan dalam melakukan reformasi adalah dengan melibatkan organisasi sipil (civil society organization) untuk membantunya membuat cetak biru pembaruan peradilan yang di dalamnya memuat nilai dan langkah-langkah untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan modern. 

Selain itu, kontribusi sebagai Ketua Mahkamah Agung juga dapat dilihat ketika Pemerintah Indonesia ingin menyelesaikan konflik di Aceh yang berujung pada perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu yang menjadi isu penting dalam meja perundingan adalah keberadaan partai lokal di Provinsi Aceh dan otonomi khusus buat Provinsi Aceh.

Ketika dimintai pendapatnya oleh Prof. Hamid Awaluddin yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM sekaligus menjadi ketua juru runding, Bagir Manan berpandangan, tidak terdapat larangan di dalam konstitusi terkait dengan keberadaan partai lokal dan otonomi khusus untuk Provinsi Aceh diperbolehkan. 

Selain terkait dengan isu partai lokal dan otonomi khusus di Provinsi Aceh, Bagir Manan juga berperan dalam pemberian amnesti bagi para pengikut GAM. Salah satu pandangannya terkait dengan pemberian amnesti adalah, amnesti merupakan instrumen konstitusi untuk menutup luka lama dan berguna untuk menutup lembaran masa lalu yang buram untuk menyongsong masa depan.

Setelah menjalani amanah sebagai Ketua Mahkamah Agung, dia kembali ke tempat pertapaannya yaitu Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran untuk mengabdikan ilmu dan membimbing para dosen di Departemen Hukum Tata Negara.

Di 2011, Bagir Manan pensiun sebagai pengajar namun tidak disangka pada 2011 dicalonkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menjadi anggota Dewan Pers. 
tidak hanya menjadi anggota tetapi juga menjadi Ketua Dewan Pers dua periode yaitu periode 2011-2013 dan 2013-2016.

Ketika menjabat sebagai Ketua Dewan Pers berbagai program strategis dieksekusi dengan baik, seperti penguatan kebebasan pers melalui konsistensi penegakkan kode etik serta kerja sama dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah baik dalam maupun luar negeri. 

Hikmah dari Sang Reformis

Tidak dapat dipungkiri banyak hikmah yang bisa diambil dari penggalan cerita Bagir Manan Ketua Mahkamah Agung pascareformasi. Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang dapat dipetik. Pertama, Bagir Manan seorang pembelajar yang tak kenal lelah. Hal ini dapat dilihat, selalu berupaya untuk meningkatkan kapasitas ilmunya baik di dalam maupun luar negeri yang menjadikan beliau sebagai seorang akademisi dan praktisi yang komplet.

Kedua, Bagir Manan selalu meninggalkan jejak yang positif ketika mengemban suatu amanah. Hal ini dapat dilihat selalu melakukan reformasi di tempat ditugaskan.  

Referensi

1. https://jurnal.unpad.ac.id/pjih/issue/view/566

2. https://id.wikipedia.org/wiki/Bagir_Manan

3. https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/14.pdf