Tidak sedikit peradaban umat manusia, berikan pencerahan untuk kehidupan saat ini, termasuk periode kelam yang dapat dipelajari dan diambil hikmahnya, agar tidak berulang di masa depan.
Salah satu problematika dalam sejarah masa lampau, yakni dipinggirkannya hak untuk mendapatkan penghidupan layak. Individu yang dipekerjakan oleh manusia lainnya atau korporasi era kolonial, tidak diperhatikan kelayakan upahnya, tidak mendapatkan waktu istirahat/libur, dan dilanggar hak asasi manusianya dalam bentuk lain.
Bahkan pekerja, era kekaisaran dan kolonialisme, disebut sebagai budak. Awal abad 19, Liga Bangsa-Bangsa secara internasional, menyusun aturan hukum yang melarang perbudakan melalui Konvensi Penekanan Perdagangan Budak, tahun 1926 dan diperbarui oleh Konvensi Anti Kerja Paksa Nomor 29 Tahun 1930, yang diselenggarakan ILO (international labour organization).
Dalam konteks nasional, Indonesia menegaskan hak untuk dapat pekerjaan dan penghidupan layak, bagian dari hak konstitusional dan kodrat manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 27 Ayat 2 UUD NRI 1945. Selain itu, hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba, yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, dipertegas melalui ketentuan Pasal 4, serta Pasal 20 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami fase perbudakan di era kolonial. Pada abad 17, perbudakan era kolonial, bukan hanya ditujukan untuk mencari pekerja dengan upah murah, tetapi jadi lambang kedudukan ekonomi dan sosial bagi para pemilik budak. Bahkan jual beli budak, dilegalkan pemerintah kolonial sebagai penerimaan negara. Namun sebelum Indonesia merdeka, pemerintah kolonial Hindia Belanda menghapuskan catatan kelam tersebut.
Era penjajahan Inggris yang singkat, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, sebagai kepala pemerintahan berusaha menghapuskan perbudakan di nusantara, dengan mengimplementasikan Slave Trade Act 1807. Terbitnya UU tersebut, guna menghapuskan jual beli budak, di wilayah jajahan Inggris.
Salah satu upaya Raffles menghapuskan perbudakan dengan melarang pengiriman budak ke Pulau Jawa, yang merupakan sentra pemerintahan dan bisnis nusantara. Namun menurut catatan sejarawan dalam buku Raffles and The British Invasion of Java, pemimpin Hindia itu, inkonsisten sikapnya, karena memiliki delapan budak yang kerja pada kediamannya, di Buitenzorg (Bogor).
Beralihnya kolonialisme dan kembali di bawah Kerajaan Belanda, membuat persoalan perbudakan menjadi masalah yang diperhatikan. Tepatnya pada 1854, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Regeringsreglement (RR) yang menetapkan peniadaan perbudakan. Ketentuan Pasal 115 Regeringsreglement, mengatur praktek perbudakan wajib ditiadakan paling lama, yaitu pada 1 Januari 1860.
Meskipun telah melangkah progresif, hapuskan perbudakan. Pemerintah Hindia Belanda, kembali menerbitkan aturan hukum yang bertentangan dengan hak kodrati para pekerja, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan. Hukuman pidana denda atau kerja paksa, diterapkan bagi para pekerja yang meninggalkan pekerjaannya.
Aturan tersebut, disebut dengan punale sanksi. Bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya, dapat dikenakan pidana denda, dari enam belas sampai dua puluh lima rupiah atau kerja paksa selama tujuh sampai dua belas hari. Ketentuan punale sanksi, diatur Algemene Polite Strafreglement, dicatat Staatsblad 1872 Nomor 3.
Demikianlah, sejarah hukum perbudakan di Hindia Belanda. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya para penikmat sejarah nasional.