Sabtu siang, saya dan keluarga berangkat ke luar kota untuk mengunjungi orang tua saya, kakeknya anak-anak.
Tentu saja, cucu tercinta ikut serta, mereka selalu menjadi sumber semangat di setiap perjalanan.
Kali ini saya memilih menyetir sendiri selama kurang lebih satu setengah jam, dengan kecepatan sedang, sekitar 70–80 km/jam.
Ketika ditawarkan untuk digantikan menyetir, saya menolak sambil tersenyum,
“Biar nggak cepat pikun,” jawaban ringan yang sering saya lontarkan, tapi sebenarnya bermakna bahwa selama kita mau aktif, tubuh dan pikiran akan tetap terasah.
Perjalanan kali ini terasa istimewa. Di dalam mobil, kami banyak berbincang dan bersenda gurau, sesuatu yang semakin jarang terjadi karena kesibukan masing-masing.
Saya sibuk dengan tugas di kantor, anak-anak tinggal berjauhan, dan cucu ikut orang tuanya yang bertugas di luar pulau jawa.
Momen kebersamaan sederhana seperti ini terasa sangat berharga.
Namun yang membuat perjalanan ini berbeda adalah ketika si bungsu, yang biasanya cuek terhadap pekerjaan saya, tiba-tiba banyak bertanya.
Dalam perjalanan pulang, ia bertanya dengan nada penasaran,
“Papah, pernah nggak menjatuhkan putusan yang kemudian disesali karena overthinking?”
Saya tersenyum kecil. Lalu menjawab dengan tenang,
“Sebagai hakim, Papah tidak pernah menyesali putusan yang telah dijatuhkan, karena Papah sangat yakin atas kebenaran putusan tersebut, berdasarkan fakta dan hukum yang terungkap di persidangan.”
Saya jelaskan kepadanya bahwa seorang hakim harus memutus bukan dengan perasaan, tetapi dengan keyakinan yang lahir dari proses pembuktian.
Ia kemudian bertanya lagi,
“Kalau hukuman mati, gimana pandangan Papah?”
Saya menarik napas sebentar. Pertanyaan itu berat, tapi penting.
“Papah pernah dua kali menjatuhkan hukuman mati. Dua-duanya untuk kasus pembunuhan berencana yang sangat sadis.”
Saya ceritakan kepadanya dengan nada datar tapi hati-hati.
Kasus pertama, seorang suami membunuh istrinya yang sedang mengandung. Ironisnya, pelaku baru saja keluar dari penjara setelah menjalani hukuman karena kasus pembunuhan juga, dan sebelumnya pernah lolos dari proses hukum untuk kasus serupa.
Cara membunuhnya pun tragis, menggorok leher korban.
Kasus kedua, seorang makelar tanah membunuh pembeli tanah beserta keluarganya, enam orang sekaligus, hanya karena korban hendak membatalkan transaksi tanah yang ternyata bukan milik pelaku.
Caranya bahkan lebih kejam: korban-korban dipukul dengan kayu lalu ditenggelamkan, dengan alasan “agar roh mereka tenang dan mati syahid.”
Saya masih ingat jelas saat putusan hukuman mati dijatuhkan, para pelaku hanya tersenyum sinis, tanpa sedikit pun menunjukkan penyesalan.
Sebagai hakim, momen itu tidak pernah mudah. Tapi saya tahu, hukum harus berdiri tegak, sekaligus memberi ruang bagi nurani untuk menimbang makna keadilan.
Lalu si bungsu kembali bertanya,
“Kalau putusan First Travel itu, Pah, kenapa selalu ramai dibahas di kampus?”
Saya tersenyum lagi.
“Ya, itu juga putusan Papah. Saat itu, barang bukti papah putuskan dirampas untuk negara. Tapi kemudian putusan itu dibatalkan dalam peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, dan barang buktinya dikembalikan kepada penuntut umum untuk dibagikan kepada para korban.”
Saya sampaikan bahwa tidak ada putusan hakim yang sempurna. Tapi setiap putusan punya niat baik untuk mencari keadilan, sesuai dengan ruang dan waktu di mana putusan itu diambil.
Perdebatan hukum, saya bilang padanya, adalah bagian dari cara bangsa ini belajar untuk terus memperbaiki diri.
Obrolan di dalam mobil itu berjalan lama. Kadang kami hening, kadang tertawa, kadang merenung bersama.
Dan di tengah perjalanan itu, saya sadar, anak-anak kini bukan lagi sekadar pendengar, tapi generasi penerus yang kritis dan peduli.
Hari itu saya belajar lagi tentang makna kepemimpinan, keadilan, dan keluarga.
Bahwa di balik setiap jabatan dan putusan besar, ada ruang kecil di hati yang selalu perlu disentuh oleh cinta dan kehidupan.
“Hukum mengajarkan logika, tapi keluarga mengajarkan nurani. Dan di antara keduanya, seorang hakim belajar menjadi manusia seutuhnya.”