Saat ini dunia sedang mengalami apa yang disebut dengan Triple-Planetary Crisis yaitu perubahan iklim, polusi, dan berkurangnya keanekaragaman hayati. Krisis ini perlu ditangani secara serius khususnya dari aspek hukum.
Dalam seminar internasional dengan tema Judiciaries and Climate Justice: Global Perspectives on Resolving Environmental Disputes dipaparkan adanya 3 permasalahan dari aspek hukum lingkungan.
Dalam bahan paparannya, Mas Achmad Santosa menguraikan permasalahan dari aspek hukum lingkungan. Pertama hukum lingkungan saat ini belum mengakui sifat interdependensi antara human being dan other living beings, sehingga pendekatannya masih berorientasi pada antroposentrisme dan eksploitatif yang menempatkan manusia sebagai center of concerns dan alam diperlakukan sebagai objek.
Permasalahan kedua yaitu aspek lingkungan hidup masih menginduk pada pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Adapun permasalahan ketiga adalah hukum lingkungan sifatnya terfragmentasi dan terisolasi (isolated) dari rezim-rezim hukum lainnya, terutama rezim hukum ekonomi.
“Saat ini, paradigma hukum kita belum menempatkan supremasi ekologi, keterbatasan daya dukung ekosistem, keadilan ekologis, interdependensi human being dan other living beings, dan pembangunan berkelanjutan beraliran kuat (strong sustainability) sebagai fondasi utama di tengah-tengah planetary crisis,” tambah Mas Achmad Santosa.
Berdasarkan data Yale Environmental Performance Index 2024, Indonesia menduduki peringkat 163 dari 180 negara.
Dari data indeks ini, diketahui bahwa Indonesia mengalami kelemahan serius dalam 3 (tiga) indikator, yaitu: kesehatan lingkungan, vitalitas ekosistem, dan penanganan perubahan iklim.
Diperlukan adanya langkah-langkah konkrit untuk mengatasi permasalahan ini, dan mencapai apa yang disebut dengan keadilan iklim (climate justice). Setidaknya ada 4 langkah yang bisa dilakukan
Scaling-down Piranti Safe and Just Planetary Boundaries
Piranti yang diusulkan oleh Earth Commission tahun 2023 menunjukan bahwa batas aman (safe boundaries) untuk menjaga stabilitas bumi tidak cukup. Perlu ada batas yang adil (just boundaries), untuk meminimalkan dampak buruk terhadap manusia dan alam.
Pendekatan ini berpijak pada 3 dimensi, yaitu: (1) keadilan intra-generasi, dengan tetap memperhatikan kerentanan berbasis gender, usia, ras, dan kelas sosial; (2) keadilan antar-generasi, yaitu memastikan bahwa generasi sekarang tidak mewariskan kerusakan iklim yang membahayakan generasi mendatang; dan (3) keadilan antar-spesies dan stabilitas sistem bumi, dengan tujuan melindungi manusia spesies lain dan ekosistem dengan menolak pandangan bahwa manusia superior.
Penerapan 4 prinsip dari tipologi keadilan iklim
Eloi Laurent menjelaskan terdapat 4 prinsip dari tipologi keadilan iklim. Pertama, keadilan kognitif yaitu pengakuan hak dari kelompok rentan (perempuan dan anak), masyarakat adat, penyandang difabilitas, dan kelompok miskin.
Kedua, keadilan prosedural yaitu partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan terkait upaya mitigasi perubahan iklim.
Ketiga, keadilan distributif yaitu pembagian beban/manfaat karena tidak meratanya tingkat climate exposure dan dampak perubahan iklim. Negara dengan emisi tinggi dan kelompok kaya harus menanggung porsi yang lebih besar dari upaya mitigasi.
Dan keempat, keadilan restoratif yaitu pemulihan bagi mereka yang telah dirugikan oleh dampak krisis iklim.
Penguatan gerakan climate litigation
Pengadilan mempunyai peran yang penting dalam mendorong climate litigation. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pengadilan, seperti judicial review, advisory opinion, putusan pemulihan lingkungan, dan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Dalam judicial review misalnya, Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya serta Larangan Penambangan Mineral pada Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menegaskan lagi prinsip strong sustainability dalam paradigma pembangunan ekonomi di Indonesia.
Penguatan masyarakat sipil
Masyarakat sipil harus selalu dilibatkan dalam mendorong keadilan iklim (climate justice). Gerakan masyarakat sipil yang dinamis, kritis, dan berdaya adalah syarat mutlak bagi keadilan iklim.
Oleh sebab itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil yang melakukan partisipasi publik harus diberikan melalui instrument hukum, seperti Anti-SLAPP yang bertujuan untuk melindungi aktivis lingkungan, peneliti, dan media dari kriminalisasi.