MARINews,– Diceritakan seorang Hakim yang bernama Salamah bin Dinar (Abu Hazim) yang diangkat menjadi Qadhi atau hakim di masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.
Selain sebagai Hakim, Salamah bin Dinar dikenal juga sebagai seorang ahli ibadah, ulama terkemuka, dan ahli zuhud di wilayah Madinah kala itu. Beliau merupakan figur teladan dalam kezuhudan
Disebutkan dalam kisahnya waktu itu, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi pernah mengutus seorang utusan kepada Abu Hazim agar ia mau menemui sang khalifah.
Lalu setelah ketemu utusan tersebut, Abu Hazim berkata, “kalau dia memiliki suatu keperluan, selayaknya dialah yang datang. Sedangkan aku, aku tidak memiliki keperluan padanya. Sehingga aku tak merasa perlu datang menghadapnya.”
Kemudian pada kesempatan lain, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi datang berkunjung ke Kota Madinah.
Dirinya bertanya tentang Abu Hazim Salamah bin Dinar. Ternyata dari sekumpulan orang yang hadir tersebut, tidak ada Salamah bin Dinar.
Lalu Khalifah mengutus orang untuk menjemputnya. Akhirnya keduanya bertemu, lalu. Sulaiman bin Abdul Malik berkata, “hai Abu Hazim, apakah engkau memiliki harta ?” Abu Hazim menjawab, “aku memiliki dua harta” dan Khalifah bertanya lagi “barakallahu fik. Apa itu?”. Kemudian Salamah bin Dinar menjawab, “ridha dengan pembagian Allah untukku. dan aku tidak berharap dengan apa yang dimiliki orang lain.”
Kemudian Sulaiman bin Abdul Malik menawarkan, “sebutlah padaku apa yang kau butuhkan.” Salamah bin Dinar berkata, “kebutuhanku telah kuajukan kepada Dzat yang tidak ada yang mampu menghalangi karunia yang Tuhan berikan kepada orang yang Dia kehendaki.
Apa yang Tuhan beri kusyukuri dab apa yang tidak dia beri, aku bersabar. Aku memandang sesuatu dengan dua keadaan. Sesuatu yang ditetapkan untukku dan sesuatu yang ditetapkan untuk orang selainku. Tentang apa yang ditetapkan untukku, seandainya semua makhluk berusaha keras untuk menghalanginya dariku, mereka tidak akan mampu.
Demikian juga, tentang sesuatu yang ditetapkan untuk selainku, maka tidak mungkin aku mendahului orang yang telah ditetapkan untuk mendapatkannya. Baik yang lalu maupun yang akan datang. Sebagaimana orang lain terhalangi untuk mendapatkan jatah yang telah ditetapkan untukku. Demikian pula, aku terhalangi untuk mendapakan jatah rezeki yang telah ditetapkan untuk orang lain.”
Lalu Khalifah Sulaiman yang berkebalikan menyatakan kebutuhannya kepada Abu Hazim Salamah bin Dinar. Ia berkata, “hai Abu Hazim, doakan kebaikan untukku.” Abu Hazim menjawab, “tidak akan bermanfaat untukmu kalau aku mendoakanmu di hadapanmu.
Sementara ada orang-orang yang terzalimi karena kebijakanmu mendoakan keburukan untukmu meskipun mereka tidak di hadapanmu. Doa mana yang lebih berhak untuk diijabah?” mendengar pernyataan tersebut Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik langsung menangis. Kemudian Abu Hazim pergi melanjutkan aktivitasnya.
Pada kesempatan lain Sulaiman bin Abdul Malik juga pernah bertanya, “hai Abu Hazim, mengapa kita ini takut mati”?. Lalu Abu Hazim menjawab, “karena kalian memakmurkan dunia kalian dan merobohkan akhirat. Sehingga kalian benci untuk berpindah dari suatu tempat yang makmur menuju puing-puing yang runtuh.”
Pada riwayat lain Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (Perawi Hadis dan Ahli Tafsir kalangan Tabi’in) mengatakan, “aku tidak pernah melihat seseorang yang hikmah itu begitu dekat dengan lisannya, melebihi Abu Hazim Salamah bin Dinar ”benar sekali apa yang beliau sampaikan.
Ucapan-ucapan Salamah bin Dinar rahimahullah banyak sekali yang tercatat. Kalimat-kalimatnya penuh hikmah. Membuat pikiran dan jiwa tertegun merenungi betapa dalam makna yang dia sampaikan.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang merupakan anak sahabat Salamah bin Dinar pernah menemuinya dan berkata, “hai paman, aku melihat suatu hal yang membuatku bersedih.” Lalu Salamah in DInar berkata, “apa itu, keponakanku.”
“Kudapati diriku ini mencintai dunia”, kata Abdurrahman. Lalu Abu Hazim berkata, “keponakanku, apa yang kau sampaikan itu, aku sendiri tidak mencela diriku jika mengalaminya. Hal ini, Allah yang menganugerahkan kepada kita kecintaan dengan dunia tersebut. Namun kita cela diri kita, seandainya sudah melewati batas ini, yakni kecintaan kita pada dunia membuat kita menerabas apa yang Allah haramkan dan menghalangi kita dari apa yang Allah cintai.
Selama belum sampai demikian, maka kecintaan terhadap dunia itu tidak memudharatkan kita.”
Pada riwayat lain Salamah bin Dinar juga pernah mengatakan, “ada dua hal, yang jika dilakukan keduanya engkau akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.” Ada yang bertanya, “apa kedua hal itu, hai Abu Hazim”? Ia menjawab, “tahan (bersabar dan perjuangkanlah) sesuatu yang tidak disukai, seandainya diridhai oleh Allah. Tahan (cegah) dirimu dari melakukan sesuatu yang kau sukai, tapi dibenci oleh Allah.”
Dari kisah Salamah bin Dinar tersebut ada hikmah yang bisa diambil sebagai seorang Hakim yang pertama, agar menjauhkan diri dari kecintaan dunia (hubbud dunya) yang berlebihan (zuhud). Sehingga menjadi awal yang baik, ketika ada pihak-pihak berperkara yang mencoba untuk menyuap hakim tersebut, maka Hakim tersebut menolak dengan tegas.
Maksud Zuhud disini yang diajarkan oleh Salamah bin Dinar tidak harus meninggalkan dunia seutuhnya dan pergi menjauh dari dunia secara total. Melainkan lebih kepada hal cinta dunia yang berlebihan melewati batas.
Kedua dari kisah Salamah bin Dinar ini, dapat diambil hikmahnya sebagai seorang Hakim adalah selalu konsisten menjaga integritas apapun yang terjadi dalam kehidupan pribadi hakim tersebut baik itu senang maupun susah.
Ketika senang, maka Hakim tidak terlalu berlebihan dan melewati batas dan saat sedih tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan atau melewati batas.
Ketiga dari kisah ini hikhanya menjadi dasar bagi Hakim untuk meningkatkan derajat ketakwaan di hadapan yang maha kuasa sekaligus menjadikan dirinya tidak hanya menjadi hakim yang berpredikat alim tapi juga menjadi hakim yang berilmu dan professional artinya selalu menaikkan derajatnya baik segi keilmuan, ketakwaan, maupun etika yang bersumber dari keyakinan dalam beragama.