Sebuah peribahasa ini tidak berdiri sendiri, melainkan banyak peribahasa lain yang mendukung kebenaran isi pesan dari masing-masing pitutur jawa, yang mungkin dapat dikategorikan sebagai saloka, pitutur atau paribasan.
Kesemuanya ini, mempunyai persamaan yaitu sebuah nasihat baik atau Pitutur luhur yang mana diterjemahkan merupakan nasihat atau ajaran mulia yang diturunkan oleh para leluhur. namun sekarang dengan adanya kemajuan teknologi, pergeseran budaya, akulturasi budaya lokal menyebabkan masyarakat sulit memahami dan menerapkan pitutur luhur itu sendiri.
Budaya Jawa memiliki konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi.
Di dalam buku Javaansche Zamenspraken II (Buku yang berisi mengenai komunikasi Jawa dengan skena Jawa) diterangkan bahwa orang sulit sekali membedakanan tara peribahasa dan saloka.
Menurut Kawitana yang disebut saloka ialah kalimat-tetap yang menyatakan maksudnya dengan samaran (perumpamamaan), sindiran yang memuat kritik-kritik social yang mana ditujukan untuk masyarakat pada zaman itu,
Lebih dalam lagi budaya jawa erat menjunjung tinggi harmoni, sopan santun, dan saling menghormati (unggah-ungguh), terutama kepada yang lebih tua melalui sikap seperti andhap asor (rendah hati), serta mengedepankan gotong royong, tepo seliro (tenggang rasa), dan menjaga keseimbangan hidup (rukun, eling, sabar) untuk mencapai ketentraman batin.
Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra
Dari sekian banyak peribahasa jawa salah satu dari sekian banyak kata-kata bijak orang Jawa yang tertuang dalam peribahasa.
Sebuah peribahasa tentang keadilan, ada sebuah ketertarikan tersendiri ketika membaca dan mencoba memahami saloka atau paribasan, yang terdengar dan semacam terngiang dalam jiwa, saloka tersebut berbunyi Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra dalam bidang hukum, keadilan, dan kebenaran. Secara harfiah Denta (gading), denti (gigi), kusuma (bunga), warsa (tahun atau hujan), sarira (badan), cakra (senjatanya kresna).
Dalam khazanah budaya Jawa falsafah jawa kuno diketemukan sebuah frasa, Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai gading atau gigi yang tumbuh tidak bisa dibenamkan lagi, bunga yang mekar tidak dapat dikuncupkan lagi, hujan yang turun tidak dapat dinaikkan lagi, darah yang keluar dari badan karena terkena senjata tajam tidak dapat disurutkan lagi.
Sebagai refleksi hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan dari perenungan dalam jiwa . Artinya, yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan, sebuah keniscayaan yang memang harus begitu adanya tidak bisa dibolak-balik,
Denta Denti Kusuma Warsa Sarira Cakra mungkin kalah jauh lebih popular dengan istilah latin "Fiat Justitia Ruat Caelum," yang berarti keadilan akan ditegakkan walau langit runtuh, namun melihat kedua frasa ini adalah sebuah kepastian yang memang tidak bisa ditawar, lagi untuk menentukan mewujudkan keadilan. sebuah prinsip fundamental dalam sistem hukum yang menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi, bahkan di tengah tekanan politik, sosial, atau bahaya besar sekalipun, menegaskan bahwa hukum dan kebenaran harus tetap menjadi yang utama.
Terkait dengan makna frase tersebut, kita untuk dapat meyakini bahwa keadilan tidak dapat diputarbalikkan. Dan, siapa saja yang berani memutarbalikkan keadilan, dia akan memperoleh sanksi yang setimpal dengan perbuatannya.
Cakra juga termuat jelas dalam lambang Mahkamah agung, mengutip dari websitenya, Dalam cerita wayang (pewayangan), cakra adalah senjata Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai senjata " Pamungkas " (terakhir).
Cakra digunakan untuk memberantas ketidak adilan. Pada lambang Mahkamah Agung, cakra tidak terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra pada lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni berupa bentuknya cakra.
Jadi dalam keadaan "diam" (statis), cakra yang terdapat pada Lambang Mahkamah Agung. Cakra pada lambang Mahkamah Agung terlukis sebagai cakra yang (sudah) dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari busurnya roda panah (cakra) berputar dan tiap ujung (ada delapan) yang terdapat pada roda panah (cakra) mengeluarkan api.
Pada lambang Mahkamah Agung cakra dilukis sedang berputar dan mengeluarkan lidah api, Cakra yang rodanya berputar dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari busurnya untuk menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan menegakkan kebenaran.
Tirta candra geni raditya
Tirta candra geni raditya tafsiran bebas nya adalah air, bulan, api, matahari, dalam berbagai literatur menerangkan makna yang berbunyi sebagai berikut; Sifat hakim hendaknya teliti dan terang sesuai dengan matahari dan bulan.
Perumpamaan bagi sifat-sifat hakim dalam pengadilan hendaknya: teliti dalam kebenaran seperti air (tirta). Miring atau tegaknya sebuah wadah dapat dilihat dari air di dalamnya.
Air yang mana mempunyai fleksibilitas yang maha tinggi, kemampuannya berubah wujud (padat, cair, gas), mengalir dari tempat tinggi ke rendah, menjadi pelarut universal (melarutkan banyak zat), memiliki tegangan permukaan tinggi, sifat kapilaritas (meresap), dan memiliki massa serta menempati ruang, yang sebagian besar disebabkan oleh ikatan hidrogen yang kuat di antara molekulnya. Air juga tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa dalam kondisi standar,
Begitu pula sebagai pengadil memang harus mempunyai sifat adaptif yang tinggi dengan berbagai macam lokasi tempat bertugas, karena harus berpindah dari satu kota ke kota lainnya, harus pula adaptif dengan berbagai deregulasi dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi, Hal ini menjadikan adaptasi adalah kepastian dalam kehidupan pengadil ketika pelaksanaan tugas dan fungsinya, gagal beradaptasi maka pasti akan tergerus oleh zaman, seperti halnya raksasa handphone asal Finlandia, Nokia, Konflik dan kegagalan komunikasi internal inilah yang menjadi akar penyebab Nokia gagal beradaptasi dan bertahan di pasar telekomunikasi global.
Tertib teratur (manis warna mukanya) seperti bulan (candra). Seperti salah satu etis hakim yakni Menjunjung Tinggi Harga Diri: Menjaga kehormatan dan martabat profesi hakim.
Mengenai relasi candra (bulan) dengan tugas profesi pengadil yaitu Bulan tidak memiliki cahaya sendiri, ia memantulkan cahaya matahari. Ini melambangkan bahwa setiap makhluk, meski terlihat kuat, tetap membutuhkan orang lain atau sumber lain untuk bersinar, seperti manusia yang tak bisa hidup sendiri.
Kebutuhan akan orang lain, menjadi hal mutlak karena sebagaimana makhluk social yang akan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain dalam kehidupannya, kemudian saat matahari terbenam, bulan menerangi malam.
Bulan terus berubah dari sabit hingga purnama, menunjukkan bahwa hidup selalu dinamis dan rintangan (seperti gerhana) akan berlalu, mengingatkan untuk tetap bergerak dan berharap.
Suasana malam hari di bawah bulan melambangkan ketenangan, kedamaian, dan keindahan yang dicari banyak orang. Bulan cenderung bersinar sendiri, melambangkan individu yang mandiri, suka menyendiri, namun tetap memberikan cahaya bagi lainnya, Bersikap Mandiri, independent, bebas dari campur tangan atau pengaruh pihak lain.
Dalam keadilan teguh keras seperti api (geni), bilamana salah tetap dikenakan hukuman, seperti api yang membakar apa pun yang tertangkap olehya, tidak pandang bulu. Pemeriksaan terang terbuka, bisa disaksikan para pihak, tidak ada yang ditutup-tutupi, apa yang dihadirkan pihak satu diketahui oleh pihak lawannya, hingga bersih tak ada hal yang tertinggal seperti bersih dan jelasnya penglihatan matahari (raditya).
Refleksi yang mengenai Tirta candra geni raditya yang mana jelas tercantum dalam kode etik hakim yakni Berperilaku Adil: Menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan haknya, dan memperlakukan semua orang sama di depan hukum, yang mana menempatkan sesuatu pada porsinya, menyatakan benar itu benar dan salah itu salah, tanpa keberpihakan, seperti halnya matahari (raditya) yang selalu terang bersinar sepanjang tahun, entah dimana iklim yang menaungi, dimana Dunia ini memiliki empat iklim, yaitu iklim tropis, subtropis, sedang, dan kutub.
Perbedaan iklim di berbagai belahan dunia ini, namun matahari akan selalu ditungggu diharapkan kehangatan dan sinar yang mampu menerangi, membuat segala sesuatu menjadi terang, begitu pula halnya hakim dalam persidangan dituntut untuk menjadikan segala sesuatu lebih terang lebih jelas, mampu menuntun para pihak pencari keadilan memberikan jalan terang, sehingga lebih jelas mampu membuka mata batin para pihak, sehingga apapun yang diputuskan memberikan jalan yang lebih terang dalam prespektif mereka, entah menerima atau tidak menerima tapi mampu membuka prespektif baru mengenai perkara yang sedang mereka jalani.
Batara Yamadipati dan Batara Guru
Setidaknya ada dua tokoh hakim yang ada, dalam dunia pewayangan yang dikenal Batara Yamadipati (Dewa Yama) dan Batara Guru/Sang Hyang Tunggal.
Batara Yamadipati (Dewa Yama): dikenal sebagai hakim yang mengadili dosa dan pahala setiap jiwa, memimpin perjalanan ke neraka (neraka) atau surga (kayangan), menjadikannya hakim tertinggi di alam baka.
Batara Guru/Sang Hyang Tunggal: Sebagai raja para dewa, ia sering menjadi penentu keputusan akhir atau pemberi titah, mewakili otoritas tertinggi dalam tatanan kosmos pewayangan.
Dalam duniai fiksi memang penggambaran sosok hakim yang menjadikan sebagai pengadil setelah dunia selesai, namun relevansi mengenai kedua tokoh hakim dalam pewayangan ini sedikit banyak menjadikan refleksi bagi para pengadil yang mana menjadikan hukum sebab akibat dari suatu hal ketika semuanya akan ada konsekswensi dari setiap laku yang pernah diperbuat ketika menjalani perannya dalam pewayangan, sehingga ini menjadi dalil apapun akan menjadi cermin kepada kita dan sistem bagaimana semesta bekerja.
Referensi
L. Mardiwarsito, Peribahasa dan Saloka Bahasa Jawa, 2001, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan.
Th. Sri Rahayu Prihatmi, Anhari Basuki, Trias Yusuf, Slamet Ds. PERIBAHASA JAWA SEBAGAI CERMIN WATAK, SIFAT, DAN PERILAKU MANUSIA JAWA, 2003, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta 1322
Iqbal Nurul Azhar, FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA (Aksioma Budaya Yang Mulai Ditinggalkan), Dipresentasikan pada Sidang Komisi E Kongres Bahasa Jawa V, 28-30 Nopember 2011 di Hotel Mariot Surabaya
https://www.mahkamahagung.go.id/id/lambang-mahkamah-agung
https://www.kompas.com/skola/read/2024/06/15/120000469/ukara-sesanti-bahasa-jawa