Perkawinan merupakan ikatan sakral, antara seorang laki-laki dan Perempuan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sudut pandang agama Islam yang dianut penulis, perkawinan merupakan suatu anugrah dan bagian dari ibadah, sebagaimana diterangkan dalam beberapa ayat di kitab suci Al-Qu'ran. Bahkan jadi salah satu instrumen, untuk mengingat kebesaran sang maha kuasa.
Dalam konteks hukum nasional, tujuan perkawinan guna menciptakan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan abadi, berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa. Selain itu, perkawinan yang sah dimata hukum nasional, pelaksanaannya berlandaskan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Kedua hal tersebut, sebagaimana diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan.
Berdasarkan Pasal 45 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan, suami dan isteri dalam suatu perkawinan, memiliki kewajiban yang setara memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya, di mana paripurnanya kewajiban mendidik anak, setelah anak melangsungkan perkawinan dan berdikari. Bahkan kewajiban mendidik dimaksud, tetap berlaku meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus.
Selain itu, seorang anak, yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kekuasaan orang tua tidak dicabut, sebagaimana Pasal 47 Ayat 1 UU Perkawinan.
Terhadap perbuatan orang tua melakukan penelantaran anak yang termasuk dalam lingkup rumah tangganya, diancam dengan pidana penjara selama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta, sebagaimana ketentuan Pasal 49 juncto Pasal 9 Ayat 1 UU Penghapusan KDRT.
Sesuai Pasal 41 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus karena perceraian, pemeliharaan anak dilakukan oleh kedua orang tua dan adanya perselisihan penguasaan anak, di mana pengadilan memutuskannya. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, yang bertanggung jawab adalah ayahnya, kecuali adanya ketidaksanggupan ekonomi dari ayahnya, maka seorang ibu ikut memikul tanggung jawab dimaksud. Adapun pengadilan dapat mewajibkan mantan suami berikan biaya penghidupan kepada mantan istrinya.
Berdasarkan hasil penelitian American Journal of Perinatology, secara psikologis, anak lebih memiliki kedekatan emosional dengan ibunya, karena pengasuhan anak lebih banyak dilakukan ibu. Selain itu, bonding anak dan ibu, telah terbentuk sejak fase awal kehidupan seorang anak di muka bumi. Maka, secara otomatis di memori anak dan tertuang dalam aktivitasnya, preferensi kedekatannya dengan ibu.
Penelitian tersebut, tentunya bisa menjadi acuan dalam memutus pengasuhan anak, bagi pasangan suami istri yang memutuskan perkawinannya dengan perceraian. Demikian juga, apakah terdapat Yurisprudensi MA RI, yang berikan referensi hak pengasuhan anak, diberikan kepada ibu atau ayahnya? Sehingga, dapat jadi acuan bagi hakim, dalam mengadili perkara serupa.
Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 126 K/Pdt/2001, yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI Tahun 2006, berdasarkan buku Yurisprudensi MA RI Tahun 2006, yang diterbitkan 2007.
Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menjelaskan, bilamana terjadi perceraian, anak yang masih dibawah umur, pemeliharaan anak seyogianya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yakni ibunya.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 126 K/Pdt/2001 yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI Tahun 2006, diputus oleh Majelis Hakim Agung, Drs. Syamsuhadi Irsyad, S.H., M.H. (Hakim Ketua), dengan didampingi Drs. H. Andi Syamsu Adam, S.H., M.H. dan Drs. H. Habiburrahman, M.Hum (masing-masing Hakim Anggota), pada persidangan terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2003.
Kaidah hukum yurisprudensi tersebut, selaras dengan penelitian anak yang memiliki preferensi kedekatan bersama ibunya, dibandingkan ayahnya, sehingga bilamana terjadi perceraian, pengasuhan anak seyogianya diserahkan kepada ibunya. Namun, dalam kaidah hukum tersebut, adanya prasyarat hak pengasuhan kepada ibu, bilamana ibu bertindak sebagai orang terdekat dan akrab dengan anak.