“Tidak ada anak tiri, tidak ada anak haram — semua adalah keluarga besar Mahkamah Agung.”
Momentum Pembinaan dan Kebersamaan
Pembinaan terhadap Panitera tingkat banding dan tingkat pertama dari seluruh Indonesia yang digelar pada Jumat, 31 Oktober 2025 di Jakarta menjadi momentum penting bagi aparatur peradilan untuk memperkuat integritas, profesionalisme, dan rasa kebersamaan.
Dalam arahannya, Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, integritas harus dijaga, dan rasa syukur menjadi landasan moral dalam bekerja.
Beliau juga menekankan bahwa pimpinan Mahkamah Agung hadir bukan untuk menyengsarakan, melainkan untuk memperjuangkan kesejahteraan seluruh aparatur peradilan.
Dalam suasana penuh kehangatan, Ketua Mahkamah Agung juga mengingatkan agar setiap aparatur menyingkirkan ego jabatan, menjaga kebersamaan, serta menghadapi tantangan era digital dan kecerdasan buatan dengan semangat belajar dan tanggung jawab.
Pembinaan ini sekaligus menjadi ruang dialog dan introspeksi bersama, di mana pimpinan meneguhkan komitmen untuk terus memperjuangkan peningkatan kesejahteraan secara berjenjang dan proporsional.
Suara IPASPI dan Makna Insiden Kecil
Sementara itu, Ketua IPASPI dalam catatan reflektifnya menegaskan bahwa kegiatan pembinaan ini bukan untuk meredam suara tuntutan panitera, melainkan bentuk nyata perhatian dan kepedulian pimpinan Mahkamah Agung terhadap jajaran kepaniteraan.
Kegiatan serupa juga akan dilakukan bagi unsur sekretariat, agar seluruh aparatur peradilan dapat merasakan kesetaraan pembinaan dan penguatan kapasitas secara menyeluruh.
Di balik suasana resmi, ada momen kecil namun bermakna besar, seorang panitera sempat menanyakan langsung soal besaran kenaikan tunjangan di tengah pidato KMA.
Namun dengan kebijaksanaan dan kelapangan hati, Yang Mulia menanggapinya dengan tenang dan penuh kasih, mencerminkan sikap pemimpin yang bijak dan pemaaf.
“Pimpinan Mahkamah Agung selalu berupaya memperjuangkan kesejahteraan seluruh aparatur, bukan hanya hakim, tapi juga kepaniteraan, kesekretariatan, PPPK, hingga tenaga honor non-DIPA.”

Catatan Ringan: Harmoni di Tengah Pengabdian
Jumat malam selepas pembinaan, saya dan istri naik Whoosh pulang ke Bandung. Sudah lebih dari tiga bulan tak pulang, rasanya seperti kembali ke pelukan sendiri.
Sabtu pagi, kami naik motor mencari sarapan. Di dekat terminal Damri, ada bubur ayam dan sate ayam langganan yang masih setia.
Ada juga soto ayam dan kupat tahu, sederhana, tapi penuh makna.
Sambil menikmati sarapan, pikiran saya kembali pada suasana pembinaan semalam.
Saya tahu betul, KMA dan para pimpinan tidak tinggal diam. Mereka terus memikirkan dan memperjuangkan kesejahteraan semua “anak-anaknya”: hakim, kepaniteraan, kesekretariatan, PPPK, hingga tenaga honor non-DIPA.
Seperti yang disampaikan oleh KMA, kita harus bersabar dan terus berdoa, karena keberhasilan perjuangan peningkatan kesejahteraan bukan ditentukan oleh Mahkamah Agung semata, melainkan oleh pemerintah sesuai urutan prioritasnya.
Tidak ada anak tiri, tidak ada anak haram, semua adalah keluarga besar Mahkamah Agung.
Presiden Prabowo Subianto bahkan telah menyatakan secara resmi, bahwa kenaikan penghasilan hakim hingga sekitar 280 persen dimaksudkan agar hakim tidak mudah disogok, karena mereka menangani perkara bernilai ratusan triliun rupiah.
Dan setelah itu, Presiden juga menegaskan akan memperhatikan serta meningkatkan kesejahteraan aparatur Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan di bawahnya.
Menemukan Keseimbangan
Pernyataan tersebut memberi harapan baru bagi seluruh aparatur peradilan, bahwa perjuangan peningkatan kesejahteraan tengah berjalan secara bertahap dan sistematis.
Setiap peran punya arti, setiap suara punya makna.
Dan di situlah letak harmonisasi rasa, antara cinta, pengabdian, dan harapan.
Seperti hari ini, saya ingin menikmati bubur ayam dan sate ayam dulu.

Besok, kita coba soto ayam dan kupat tahunya.
“Di balik rutinitas dan tanggung jawab besar, selalu ada ruang untuk bersyukur, menikmati jeda, dan menemukan harmoni.”
Selamat me time.





