Pers merdeka dan berdaulat adalah tiang negara yang demokratis. Indikator negara demokratis yang menghormati dan melindungi hak-hak dasar warga negara, salah satu bentuknya tidak ada pembatasan atau pengekangan insan pers.
Bahkan, kebebasan mendapatkan dan menyampaikan informasi faktual, melalui saluran media massa tanpa pembatasan negara adalah implementasi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Saat ini, Indonesia telah memasuki fase kehidupan bernegara yang memberikan kebebasan pers untuk menghimpun dan menyampaikan berita. Bahkan perlindungan terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers, telah dilegitimasi melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik),
Undang-Undang Pers tersebut, merubah dan menghilangkan ketentuan hukum untuk media massa yang dibentuk Orde Baru. Melalui peraturan perundang-undangan, Orde Baru banyak membatasi ruang gerak pers untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya di masyarakat. Ada sensor dan pembredelan terhadap insan pers yang kritis, terutama saat memberitakan penyimpangan yang dilakukan pejabat Orde Baru atau perlawanan masyarakat terhadap kebijakan orde baru.
Peristiwa pembungkaman media massa zaman Orde Baru yang menyita perhatian masyarakat dan dunia internasional adalah pembredelan Majalah Tempo pada 21 Juni 1994, yang dalam liputannya mengkritik tajam kebijakan Pemerintah Orde Baru membeli armada laut eks-Jerman Timur. Kebijakan Orde Baru tersebut, menurut pemberitaan Majalah Tempo sarat indikasi korupsi dan penyelewengan.
Setelah dinyatakan ditutup aktivitasnya oleh Orde Baru, Majalah Tempo mengajukan gugatan terhadap pemerintah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam persidangan tersebut. Majelis Hakim dipimpin oleh Benjamin Mangkoedilaga, S.H., yang saat itu juga bertindak sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gugatan Majalah Tempo kepada pemerintah Orde Baru dimenangkan dan menyatakan pencabutan SIUPP Majalah Tempo melalui SK Menteri Penerangan Harmoko Nomor 123/1994 dinyatakan batal. Putusan tersebut, dikenal berani pada eranya, karena berbeda sikap dengan kebijakan pemerintah Orde Baru, yang tidak ramah terhadap kebebasan pers dan demokratisasi di masyarakat.
Selanjutnya dalam artikel ini, penulis akan mengenalkan profil singkat Hakim Benjamin Mangkoediilaga yang dikenal luas sebagai hakim pemberani dan tegas, karena membela kepentingan keterbukaan informasi dan menjaga asa kehidupan demokratis.
Potret Kehidupan Benjamin Mangkoedilaga, Begawan Hukum Indonesia
Benjamin Mangkoedilaga, pria kelahiran Garut pada 30 September 1937, sebelum mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menempuh pendidikan di salah satu sekolah berprestasi di Jakarta, SMA Kolese Kanisius.
Selesai memperoleh gelar sarjana hukum, Benjamin dipercaya menjadi asisten dosen pada almamaternya. Kemudian pindah haluan, menjadi seorang hakim yang diawali di Pengadilan Negeri Rangkas Bitung, Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Profesionalitas dan kecerdasannya, membawa karir Benjamin Mangkoedilaga melesat. Sosoknya pernah dipercaya menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung pada 1982-1987 dan Ketua Pengadilan Negeri Cianjur pada 1987-1991.
Setelah dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), pria yang kecilnya bercita-cita sebagai tentara, dipercaya memimpin PTUN Surabaya dan PTUN Jakarta, sebagai ketua pengadilan.
Setelah mengadili dan memutus perkara gugatan pembredelan Majalah Tempo, yang menjadi oase bagi kemerdekaan dan kedaulatan pers di Indonesia, Benjamin dipromosikan sebagai Hakim Tinggi PTTUN Medan dan selanjutnya menjadi Hakim Tinggi PTTUN Jakarta.
Sosoknya yang teguh mengimplementasikan keadilan dan demokrasi, selanjutnya dianugrahi Suardi Tasrif, S.H. Award dari Alinasi Jurnalis Independen (AJI) pada 1997.
Sosok tegas dan pro terhadap perlindungan hak asasi manusia tersebut, diamanahkan negara sebagai Komisioner Komnas HAM pada periode 1999 sampai dengan 2000. Karirnya terus menanjak, hingga dipercaya serta dilantik sebagai Hakim Agung RI.
Pascapurnabakti sebagai hakim, dirinya dipercaya sebagai arbiter di Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan anggota Dewan Pers.
Pada 21 Mei 2015, Indonesia telah kehilangan salah satu putera terbaiknya, yang mewakafkan diri untuk kepentingan penegakan hukum nasional, kehidupan bernegara yang demokratis dan berdaulatnya insan pers Indonesia.
Semoga legacy Benjamin Mangkoedilaga, diteruskan oleh para hakim Indonesia.