Setiap 1 Oktober, masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967. Sebuah peringatan nasional untuk mengenang wafatnya enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat, akibat kekejaman yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa G30SPKI.
Pasca-G30S/PKI beberapa pejabat militer dan sipil yang menjadi dalang atau terlibat dalam Gerakan tersebut, dihadapkan ke persidangan dan tidak sedikit dijatuhkan hukuman mati, antara lain Letkol Untung Syamsuri, mantan Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden), Brigjen Soepardjo, Panglima Komando Tempur II dalam operasi militer Indonesia-Malaysia, Brigjen TNI Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara ke-8 yang disokong PKI, dr. Soebandrio, Wakil Perdana Menteri RI, Kolonel Abdul Latief, Komandan Garnisun Kodam Jaya, Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim, Sudisman, anggota DPR RI/Sekjen PKI dan pejabat lainnya.
Penjatuhan hukuman mati terhadap para aktor dan pelaku utama G30SPKI tersebut, didasarkan persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dilaksanakan dengan meminjam kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapepenas RI). Pembentukan Mahmilub ditujukan sebagai peradilan khusus di lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara dengan cepat,
Undang-Undang RI Nomor 16/PNPS/1963 merupakan dasar pembentukan Mahmilub, di mana kewenangannya mengadili tingkat pertama dan terakhir terhadap perkara khusus yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional setelah ditetapkan Presiden RI, sesuai Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 16/PNPS/1963.
Kedudukan hukum Mahmilub berada di ibu kota negara dan wilayah hukumnya meliputi seluruh Indonesia dan majelis hakim yang mengadili perkara di Mahmilub merupakan perwira militer yang ditunjuk Menteri/panglima angkatan, sebagaimana Pasal 2 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 16/PNPS/1963.
Bahwa perihal pembuktian dalam persidangan Mahmilub, mengikuti hukum pembuktian yang berlaku di Mahkamah Agung RI dan selain itu, Mahmilub juga mengakui keterangan saksi tertulis yang dibuat diatas sumpah serta selanjutnya dibacakan di persidangan, yang mana memiliki nilai sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah pada persidangan, sebagaimana diatur Pasal 5 Angka 4 dan 5 Undang-Undang RI Nomor 16/PNPS/1963.
Sedangkan pelaksanaan hukuman mati, pelaksanaannya setelah presiden menetapkan grasi terhadap terpidana mati yang diadili Mahmilub, sebagaimana ketentuan Pasal 5 Angka 4 dan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 16/PNPS/1963
Sebelum mengadili para dalang G30SPKI, Mahmilub pertama kali mengadili dan memvonis mati Dr. Christian Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur yang memberontak dan mendeklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Pidana mati terhadap peraih gelar meester in de rechten dari Fakultas Hukum Universitas Leiden tersebut, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum yang diucapkan majelis hakim Mahmilub pada 25 April 1964.
Adapun untuk mengadili para dalang G30SPKI, Presiden RI membentuk Mahmilub melalui Keputusan Presiden RI Nomor 370 Tahun 1965. Mayoritas pejabat militer dan sipil yang diadili Mahmilub, dihukum pidana mati karena terlibat dalam pemberontakan G30SPKI, kecuali Letkol Udara Heru Atmodjo yang divonis pidana penjara seumur hidup.
Namun, ada beberapa pejabat tidak sampai dieksekusi mati oleh regu tembak, karena grasinya dikabulkan presiden dan vonis matinya dibatalkan, seperti Brigjen TNI Ulung Sitepu yang grasinya dikabulkan Presiden Soeharto. Selain itu, terdapat dr. Soebandrio, yang batal dieksekusi mati karena ada permohonan langsung dari Ratu Inggris Elizabeth II. Hal ini dikarenakan, sebelumnya dr. Soebandrio pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris dan memiliki kedekatan dengan Ratu Inggris tersebut, ketika menjabat sebagai Dubes RI.