Penggunaan Strobo/Sirine, Simbol Kekuasaan dan Privillege di Jalan

Penggunaan sirine dan strobo harus memiliki urgensi dan prioritas, artinya tidak semua kendaraan bisa dipasang dengan aksesoris tersebut.
Ilustrasi strobo. Foto : Strobo
Ilustrasi strobo. Foto : Strobo

Bunyi suara sirine yang kerap kita jumpai di jalan raya, sudah menjadi pemandangan sehari-hari. 

Penggunaan sirine, sering dilakukan oleh mobil dan kendaraan pejabat, serta dibantu pengawalan aparat untuk meminta prioritas akses dijalan raya, karena memerlukan kecepatan dan kelancaran di jalan.

Strobo dan sirine tidak lagi sekadar tanda darurat, kini jadi simbol kuasa di jalan raya. 

Penggunaan Strobo dan sirine sangat menganggu bagi pengendara. Kondisi dimaksud, sangat meresahkan pengguna jalan, tidak jarang pengendara kerap terganggu dengan suara sirine yang membuat pengendara kaget, panik dan hilang konsentrasi menyebabkan suasana jalan tambah semrawut.

Selain itu, banyak pengguna kendaraan menjadi jengkel dan kesal setiap kali mendengar suara sirine tersebut. 

Risiko bagi pengendara sangat besar, suara tersebut memaksa pengendara lain yang berada di jalan tiba-tiba menepi, seolah jika mobil dan kendaraan yang dipakai dan dikawal aparat menggunakan strobo dan sirine itu memiliki jalur khusus yang tidak boleh diganggu, tidak perlu antre, tidak merasakan macet, memiliki kepentingan mendesak, sehingga perlu segera sampai tujuan.

Sikap dan arogansi Pejabat terlihat juga, bilamana pengendara tidak memberikan jalan dan strobo beserta klakson dibunyikan terus menerus, seolah menjadi simbol alat kuasa bagi Pejabat yang dikawal aparat, untuk dipatuhi dan ditaati. 

Jika Pengendara tidak diberikan ruang, maka berakibat arogansi patwal yang marah dan membentak dengan bahasa kasar, yang merupakan tindakan sewenang-wenangnya kepada pengendara tersebut. Akibatnya masyarakat sering dibuat resah atau takut.

Gerakan stop strobo dan sirine yang viral dalam berbagai berita, serta media sosial membuat Kakorlantas Polri membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator. Hal ini, senada dengan yang disampaikan Panglima TNI.

Saat ini, seolah sirine kehilangan makna universalnya sebagai simbol keselamatan publik, seperti seharusnya digunakan oleh ambulance dan pemadam kebakaran. 

Masyarakat memaknai sirine, adalah sebuah privilege yang menciptakan kesenjangan. Sedangkan sisi lain, pengguna jalan dipaksa berhenti, menyingkir, dan memberikan jalan.

Penggunaan sirine dan strobo harus memiliki urgensi dan prioritas, artinya tidak semua kendaraan bisa dipasang dengan aksesoris tersebut. 

Apabila kita menelisik tentang UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat menjumpai pihak yang berhak menggunakan sirine tersebut (vide Pasal 134).

Adapun dalam ketentuan Pasal dimaksud, kendaraan yang berhak menggunakan sirine antara lain

  1. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; 
  2. Ambulance yang mengangkut orang sakit; 
  3. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; 
  4. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; 
  5. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing, serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; 
  6. Iring-iringan pengantar jenazah; dan 
  7. Konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kemudian, Pasal 135 UU LLAJ menjelaskan kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.

Saat ini, mayoritas masyarakat menolak memberikan jalan kepada pejabat yang gunakan sirine dan patwal, karena bukan urgensi atau prioritas, karena jalanan merupakan hak umum dan milik negara yang dibiayai pajak oleh masyarakat, sehingga masyarakat berhak mendapatkan akses yang sama terhadap jalan. 

Penggunaan sirine dapat dibunyikan seperlunya dan permintaan prioritas jalan dapat dilakukan, bilamana telah memenuhi standar ketentuan undang-undang.

Demikian juga, keamanan, ketertiban lalu lintas dan keselamatan pengguna jalan raya, lebih penting dibanding kenyamanan sesaat pejabat. 

Penulis: Sadana
Editor: Tim MariNews