Dana Abadi Peradilan, Langkah Strategis Menuju Peradilan yang Benar-Benar Merdeka

Hal ini penting untuk benar-benar memastikan bahwa kekuasaan yudikatif merupakan lembaga yang independen tanpa bisa diintervensi oleh poros kekuasaan negara yang lain.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Berbicara mengenai independensi peradilan selalu harus ditarik dalam suatu konsep pemisahan kekuasaan antar tiga lembaga kekuasaan-sebagaimana gagasan trias politica oleh Montesquieu, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ketiga lembaga tersebut, dalam pandangan Montesquieu merupakan pilar-pilar yang sejajar dan memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, serta antar satu pilar tidak boleh mengintervensi terhadap pilar lainnya.

Konsep trias politica ini, selanjutnya diadopsi oleh banyak negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tentu, pengadopsian ini tidak bisa diterapkan secara utuh, namun disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.

Di Indonesia sendiri, trias politica ini disesuaikan dengan penambahan beberapa lembaga lain di luar trias politica, seperti tugas auditif atau eksaminatif pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY) tidak bisa kita identifikasi sebagai bagian dari trias politica dalam konsep yang digagas oleh Montesquieu. Karakteristik unik semacam ini merupakan bagian dari dinamika internal dalam suatu negara.

Mahkamah Agung merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD NRI). Keberadaan Mahkamah Agung ini merupakan suatu perwujudan dari kehadiran trias politica di Indonesia, di mana kekuasaan eksekutif dan legislatif harus juga dikontrol dengan adanya kekuasaan yudikatif.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Mahkamah Agung setingkat dengan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan DPR sebagai parlemen di bawah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesejajaran ini semestinya memberikan power (baca: kekuatan) yang saling mengawasi antara satu dengan yang lainnya.

Tujuan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam doktrin trias politica, memang untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hlm. 152). Pemisahan ini tentu memiliki tujuan yang lebih dalam, yakni lahirnya independensi yang kuat antar kekuasaan sehingga dapat menjadi benteng kontrol atas penyalahgunaan.

Sebuah jurnal yang berjudul “Menggagas Endowment Fund Bidang Hukum dan Keadilan: Upaya Mewujudkan Kesejahteraan dan Martabat Hakim” yang ditulis oleh Adeng Septi Irawan dan diterbitkan dalam Judex Laguens, Jurnal Hukum dan Peradilan PP IKAHI, Desember 2024, memberikan gambaran mengenai wacana kemandirian lembaga peradilan.

Hal yang pertama disoroti oleh Adeng Septi Irawan adalah kesejahteraan hakim yang masih berpaku pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Perubahan PP Nomor 94 Tahun 2012 ini, akan menjadi kunci dari dimulainya era kemandirian finansial pada Mahkamah Agung.

Salah satu solusi terdekat yang dijabarkan oleh Adeng Septi Irawan adalah dengan merevisi PP Nomor 94 Tahun 2012 dan pengesahan RUU Jabatan Hakim, selain juga memberikan gagasan pembentukan peraturan khusus mengenai dana abadi (endowment fund) bidang hukum dan keadilan, di mana dana tersebut akan digunakan untuk penegakan hukum dan keadilan baik yang bersifat birokrasi maupun Sumber Daya Manusia (SDM).

Melihat perkembangan yang terjadi hingga tulisan ini dibuat, pemerintah telah merevisi PP tersebut dengan PP Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 94 Tahun 2012. Perubahan signifikan yang menunjukkan arah menuju independensi keuangan kekuasaan kehakiman ditunjukkan pada ketentuan Pasal 11F PP tersebut, di mana evaluasi atas hak keuangan dan fasilitas hakim dilakukan secara berkala oleh Mahkamah Agung serta penyesuaian hak keuangan hakim diusulkan oleh Mahkamah Agung.

Ini berarti, Mahkamah Agung memiliki kontrol atas hak keuangan hakim jika nantinya hak keuangan yang diterima sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan yang dihadapi oleh para hakim.

Pada akhir 2024, gaji hakim mengalami kenaikan atas respons terhadap tuntutan para hakim yang merasa negara belum hadir memperhatikan kesejahteraan para hakim, padahal beban kerja hakim setiap tahunnya terus mengalami kenaikan. Kenaikan gaji ini merupakan jawaban atas semua pertanyaan selama ini, hakim harus diposisikan sebagai garda paling sentral dalam penegakan hukum dan keadilan. Naiknya gaji hakim ini memperkokoh independensi yudisial dalam penanganan perkara.

Selain itu, RUU Jabatan Hakim yang sempat mandek selama beberapa tahun, akhirnya mulai kembali serius dibahas oleh legislatif. Hal ini terlihat dengan beberapa kali agenda sosialisasi dan diskusi yang dilakukan serta melibatkan banyak satuan kerja pengadilan yang terlibat didalamnya. Perdebatan apakah hakim merupakan murni pejabat negara dan melepaskan status PNS nya atau tetap berdiri di dua kaki-status pejabat negara dan PNS nya tetap melekat-telah didiskusikan secara serius oleh para pemangku kepentingan.

Dalam bidang teknis lain, misalnya penggunaan plat kendaraan khusus bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, menunjukkan semakin kuatnya independensi kekuasaan kehakiman. Hal ini tentu mengarah pada nilai positif bagi independensi lembaga yudikatif di Indonesia.

Seluruh upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung menuju pada muara yang sama, yaitu terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman. Puncak dari seluruh perjuangan yang telah dilakukan ini seharusnya mengarah pada bentuk mewujudkan dana abadi peradilan (Judicial Endowment Fund). Hal ini penting untuk benar-benar memastikan bahwa kekuasaan yudikatif merupakan lembaga yang independen tanpa bisa diintervensi oleh poros kekuasaan negara yang lain.

Semoga seluruh jejak perjuangan yang telah dan akan dilakukan ini, bermuara pada satu tujuan yang sama, yaitu mewujudkan sebenar-benarnya kemandirian badan peradilan sehingga pada puncaknya dapat mewujudkan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya sebagai badan peradilan Indonesia yang agung. 
 

Penulis: Idik Saeful Bahri
Editor: Tim MariNews