Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, diamanahkan sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Konstitusi, yang menyelenggarakan peradilan merdeka atau bebas dari intervensi pihak manapun, guna menegakan hukum dan keadilan, sebagaimana Konstitusi Indonesia (Pasal 24 Ayat 1 dan 2 UUD NRI 1945).
Aktor penyelenggara peradilan yang merdeka adalah seorang hakim, di mana dalam melaksanakan tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim wajib menjaga independensi peradilan dan melarang siapapun untuk mempengaruhi atau intervensi penyelenggaraan peradilan, sesuai ketentuan Pasal 3 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain diatur konstitusi Indonesia, khususnya setelah amandemen dan UU Kekuasaan Kehakiman, penyelenggaraan peradilan yang merdeka dan bebas intervensi telah menjadi kebijakan yang diterbitkan Mahkamah Agung RI sejak pertama kali berdiri. Soerjadi, S.H. yang diamanahkan menjadi Ketua Mahkamah Agung RI Ketiga, sejak Juni 1966 sampai dengan Agustus 1968, menerbitkan kebijakan yang melarang hakim untuk berpolitik praktis dan bagi hakim yang berencana terjun dalam politik sebagai legislator baik di tingkat pusat atau daerah, wajib mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai hakim secara berjenjang melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Banding dan Ketua Mahkamah Agung RI, dan selanjutnya permohonan pengunduran dirinya diajukan kepada Menteri Kehakiman.
Kebijakan yang ditandatangani Soerjadi tersebut, dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1967 tentang Hakim Yang Akan Duduk Dalam Suatu DPR atau Dewan Pemerintah di Pusat atau Daerah.
Pria kelahiran Pati, 13 Januari 1911, turut mendirikan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sebagai wadah tunggal profesi hakim seluruh Indonesia dan diangkat menjadi Ketua Umum Pertama IKAHI, pada 1953 sampai dengan 1954 berdasarkan Kongres Kesatu IKAHI, yang diselenggarakan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Soerjadi, menjadi Ketua Umum IKAHI didampingi oleh Soebijanto selaku Sekretaris dan Kadjoem, Bendahara IKAHI.
Sebelum diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung RI, menggantikan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dirinya pernah bertugas di beberapa pengadilan daerah dan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Semarang.
Saat menjabat Ketua Mahkamah Agung RI, sosoknya pernah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan penggunaan toga hakim dalam mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Kewajiban penggunaan toga hakim di ruang sidang untuk menjaga marwah dan kekhidmatan dalam persidangan, dimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1966 tentang Pemakaian Toga dalam Sidang.
Soerjadi, layak untuk dinobatkan sebagai tokoh independensi peradilan. Bahkan Sebastian Pompe, seorang peneliti Belanda yang banyak melakukan riset dan menaruh perhatian terhadap peradilan Indonesia, menjelaskan, Soerjadi adalah orang yang tegas menolak Mahkamah Agung RI disusupi oleh pihak-pihak di luar penyelenggara peradilan.
Ketua Mahkamah Agung RI Ketiga tersebut, wafat pada usia 86 tahun dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Soerjadi, dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Soeharto pada 1995. Penghargaan tersebut, untuk menjaga keutuhan, kelangsungan dan kejayaan Negara Republik Indonesia. Saat ini, namanya diabadikan Mahkamah Agung RI dan beberapa pengadilan menjadi ruang sidang.
Semoga hakim dan insan peradilan Indonesia, dapat meneladani sosok Soerjadi untuk terus menjaga independensi dan menolak tegas pengaruh pihak lain dalam pelaksanaan tugas mengadili dan memutus suatu perkara.