Cirebon, kota bersejarah di pesisir utara Jawa Barat, tidak hanya dikenal dengan budaya dan tradisinya yang kaya, tetapi juga sebagai tempat berdirinya Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sebuah simbol keagungan agama dan pusat kehidupan spiritual masyarakat.
Masjid ini terletak hanya sekitar lima kilometer dari Pengadilan Negeri Kota Cirebon Kelas IB, menjadikannya tempat ibadah yang mudah dijangkau oleh siapa saja yang ingin merasakan kedamaian dan kedekatan dengan Tuhan.
Masjid ini dibangun pada 1480 M atas prakarsa Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan melibatkan arsitek Raden Sepat dari Majapahit serta sekitar 500 pekerja dari Demak.
Dalam tradisi lokal, pembangunan masjid ini konon hanya memakan waktu semalam, menggambarkan semangat kolektif yang kuat dalam menyebarkan ajaran Islam dengan damai dan menyatu dengan budaya lokal.
Nama “Sang Cipta Rasa” sendiri mengandung makna filosofis yang mendalam. Sang mengandung makna keagungan, menunjukkan bahwa bangunan ini adalah tempat ibadah yang suci dan penting. Cipta mengacu pada proses pembangunan, menandakan bahwa masjid ini adalah hasil karya manusia untuk ibadah. Rasa menggambarkan bahwa masjid ini digunakan oleh umat Islam untuk beribadah, memanjatkan doa, dan berzikir.

Arsitektur yang Khas dan Cerita di Baliknya
Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki arsitektur yang sangat khas dan menyimpan cerita sejarah yang mendalam. Menurut tradisi, pembangunan masjid ini melibatkan sekitar lima ratus orang yang datang dari berbagai daerah, termasuk Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri.
Sunan Gunung Jati sebagai penggagas pembangunan masjid ini, kemudian menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsitek utama. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga membawa serta Raden Sepat, seorang arsitek dari Majapahit yang ditangkap dalam perang antara Demak dan Majapahit, untuk membantu merancang masjid ini.
Keunikan arsitektur masjid ini terletak pada bentuk atapnya yang tidak menggunakan kubah seperti masjid pada umumnya. Atapnya justru berbentuk limasan tumpang tiga, yang menyerupai joglo, sebuah gaya arsitektur tradisional Jawa yang sangat kental dengan budaya lokal.
Dinding masjid terbuat dari bata merah yang dipasang tanpa semen, sebuah teknik bangunan tradisional yang masih lestari hingga kini. Selain itu, fondasi masjid menggunakan kayu jati dari daerah Jatitujuh, perbatasan antara Majalengka dan Indramayu, yang menambah kekuatan dan daya tahan bangunan ini.
Asal Usul Tradisi Azan Pitu
Selain arsitektur yang khas, Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga menyimpan cerita menarik yang berakar dari tradisi lokal, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan budaya Cirebon. Konon, masjid ini dahulu memiliki memolo atau kemuncak atap yang menjadi simbol keagungan dan kekuatan masjid tersebut.
Namun, pada saat itu terjadi musibah yang menghebohkan ketika tiga orang muazin meninggal dunia secara misterius. Saat itu, sebagian masyarakat Cirebon yang belum sepenuhnya memeluk agama Islam menolak pembangunan masjid. Megananda, utusan dari Mataram Kuno, berusaha menggagalkan pembangunan masjid dengan menggunakan kesaktiannya yang dikenal dengan nama 'menjangan wulung'. Setiap orang yang terkena sihir menjangan wulung akan mati dengan darah menyembur dari tubuhnya.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, Nyi Mas Pakung Wati yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati pun memerintahkan muazin untuk melaksanakan azan oleh beberapa orang. Jumlah muazin pun ditambah secara bertahap hingga mencapai enam orang. Namun, warga setempat masih saja terkena serangan sihir. Kemudian, jumlah muazin pun ditambah menjadi tujuh orang.
Ternyata, hingga selesai mengumandangkan azan, tidak terjadi serangan seperti sebelumnya, serangan sihir pun berhenti. Bersamaan dengan itu, terdengar dentuman besar dari arah atap masjid yang mengakibatkan memolo atau kemuncak tersebut berpindah ke Masjid Agung Banten, yang hingga kini dikenal dengan dua kubahnya.
Tradisi ini kemudian dikenal sebagai Adzan Pitu, yang hingga kini masih dilaksanakan setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Kata "pitu" dalam bahasa Jawa berarti tujuh.
Azan Pitu berarti panggilan untuk shalat yang dilakukan oleh tujuh orang muadzin secara bersamaan. Tradisi ini memiliki makna mendalam, mencerminkan nilai kebersamaan, kesatuan, dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah. Selain itu, angka tujuh memiliki simbolisme penting dalam Islam dan budaya Jawa, sering kali dikaitkan dengan kesucian dan kesempurnaan.
Bagian dari Kawasan Budaya Cirebon
Masjid ini juga merupakan bagian dari kawasan budaya Cirebon. Di sekitar masjid, berdiri empat keraton yang menjadi pusat budaya Islam di Cirebon, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kaprabonan.
Keempat keraton ini merupakan destinasi wisata unggulan yang sering masuk dalam agenda budaya, baik lokal maupun nasional. Masing-masing masih aktif menjalankan tradisi leluhur dan menyimpan banyak artefak peninggalan kerajaan Islam, seperti manuskrip kuno, kereta kencana, dan benda pusaka yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol warisan sejarah dan spiritual yang hidup. Setelah beribadah di masjid, banyak jemaah atau pun peziarah yang melanjutkan perjalanan menuju kompleks makam Sunan Gunung Jati, yang terletak di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, sekitar enam kilometer dari pusat kota. Makam ini menjadi destinasi penting bagi mereka yang ingin lebih mendalami jejak sejarah penyebaran Islam di Cirebon.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga warisan spiritual dan budaya, serta bagaimana nilai-nilai agama yang hidup dapat memperkuat keimanan kita. Sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan sejarah yang tak terpisahkan, masjid ini tetap menjadi tempat yang menyentuh hati banyak orang, baik dalam kesendirian berdoa maupun dalam kebersamaan memuji dan bersyukur atas anugerah dari Tuhan.