Hakim PTUN Mataram Wakili Mahkamah Agung dalam International Annual Conference on Fatwa MUI Studies ke-9

Konferensi internasional tahunan ini, menjadi wadah ilmiah yang mempertemukan ulama, akademisi, praktisi hukum, dan peneliti untuk mengkaji peran fatwa MUI dalam membangun kemaslahatan umat dan bangsa di tengah tantangan ideologis serta sosial-kebangsaan.
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram Muhammad Adiguna Bimasakti, S.H., M.H., mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu pemakalah dalam International Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9. Foto mui.or.id
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram Muhammad Adiguna Bimasakti, S.H., M.H., mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu pemakalah dalam International Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9. Foto mui.or.id

MARINews, Jakarta-Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram Muhammad Adiguna Bimasakti, S.H., M.H., turut mewakili Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu pemakalah dalam International Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26-27 Juli 2025 di Hotel Sari Pacific, Jakarta.

Konferensi internasional tahunan ini, menjadi wadah ilmiah yang mempertemukan ulama, akademisi, praktisi hukum, dan peneliti untuk mengkaji peran fatwa MUI dalam membangun kemaslahatan umat dan bangsa di tengah tantangan ideologis serta sosial-kebangsaan.

Dalam forum tersebut, Hakim Adiguna Bimasakti-yang akrab disapa Bima-memaparkan makalah berjudul: “Pencegahan Penyebaran Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama Islam Berdasarkan

Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Sebagai Kewajiban Negara.”

Dalam presentasinya, Bima menekankan, meskipun fatwa MUI secara formal bukan merupakan hukum tertulis, namun fatwa memiliki kekuatan normatif yang kuat dan mampu memengaruhi arah kebijakan serta kesadaran hukum masyarakat.

Ia menyebut, Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 tidak hanya merupakan produk keagamaan, tetapi juga respons sosial terhadap potensi ancaman ideologis yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ajaran Islam.

Menurutnya, negara memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk melindungi masyarakat dari penyebaran paham yang dinyatakan menyimpang oleh otoritas keagamaan resmi seperti MUI, merujuk pada Undang-Undang No. 1/PNPS/1965.

Dalam paparannya, Bima juga menyarankan agar negara melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas penyebaran paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama di ruang publik, termasuk mempertimbangkan langkah administratif hingga pidana, sejauh tetap menjaga prinsip proporsionalitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 1/PNPS/1965.

Konferensi ACFS ke-9 tahun ini mengangkat tema: “Peran Fatwa Dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa”, dan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting nasional, di antaranya:

- Ketua Umum MUI, K.H. Anwar Iskandar

- Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Dr. KH. Asrorun Ni'am Sholeh, M.A.

- Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H.

- Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung RI, Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H., yang hadir sebagai perwakilan Ketua Mahkamah Agung RI

- Selain itu, hadir pula para akademisi, perwakilan lembaga pemerintahan, dan peneliti dari berbagai kampus serta institusi hukum di Indonesia.