Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024 yang terbit pada akhir 2024, menyepakati banyak hal dalam bidang ilmu hukum yang didiskusikan langsung oleh para Yang Mulia Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Salah satunya terkait dengan isu fiktif negatif dalam pembahasan di kamar Tata Usaha Negara.
Isi SEMA yang dimaksud ini tercantum dalam halaman 10 yang berbunyi:
“Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 Rumusan Kamar Tata Usaha Negara angka 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Sikap diam Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak memasukan atau mengabulkan Permohonan Penggugat dalam daftar Minerba One Data Indonesia (MODI), tidak dapat dipandang sebagai tindakan faktual yang bersifat omisi melainkan merupakan tindakan menolak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.”
Terbitnya rumusan kamar ini, sempat memicu perdebatan di kalangan pegiat hukum administrasi negara. Hal ini berkaitan dengan norma fiktif negatif dalam Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya sempat tergantikan oleh ketentuan fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Meskipun prosedur permohonan fiktif positif dalam Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan tersebut telah dicabut melalui Undang-Undang Cipta Kerja, sebagian kalangan masih berpendapat bahwa fiktif positif tetap berlaku sampai adanya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Presiden.
Lepas daripada itu, suatu perdebatan lain muncul di sudut-sudut gedung pengadilan. Pertanyaan lanjutan dari terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2024 ini adalah cakupan jenis sengketanya. Dalam rumusan SEMA Nomor 2 Tahun 2024, dijelaskan secara jelas nomenklatur sikap diam dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara dalam sengketa “Mineral One Data Indonesia (MODI)”. Apakah rumusan ini hanya terbatas pada sengketa MODI atau bisa diperluas terhadap ranah sengketa yang lain?
Beberapa pihak berpendapat, rumusan kamar ini hanya terbatas pada sengketa MODI karena nomenklaturnya jelas hanya terbatas pada MODI, namun pihak lainnya berpendapat rumusan ini hanyalah bagian kecil yang disoroti oleh Para Yang Mulia Hakim Agung sebagai contoh penerapan kembali ketentuan Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Untuk menengahi perdebatan yang ada, kita perlu mengupasnya dalam tataran praktik. Sebuah Penetapan dismissal oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara Nomor: 159/G/2025/PTUN.JKT menunjukkan bahwa arah rumusan SEMA Nomor 2 Tahun 2024 terkait MODI ini harus dimaknai utuh dalam berbagai jenis sengketa lainnya yang menimbulkan akibat hukum.
Objek sengketa dalam perkara Nomor: 159/G/2025/PTUN.JKT adalah tindakan diam Tergugat yang tidak menanggapi surat dari Penggugat perihal Surat Penyampaian Permohonan Pemblokiran Akte Perubahan Perseroan yang dikirim secara elektronik.
Di dalam penetapannya, Ketua PTUN Jakarta berpendapat bahwa objek sengketa tersebut merupakan jenis gugatan fiktif negatif yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh karenanya, gugatan yang diajukan oleh penggugat tersebut masih bersifat prematur atau belum waktunya-maksudnya belum memenuhi jangka waktu empat bulan, sehingga PTUN Jakarta belum berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tersebut.
Isi dari penetapan dismissal Ketua PTUN Jakarta dalam perkara Nomor: 159/G/2025/PTUN.JKT ini setidaknya menjadi gambaran dalam tataran praktik di Jakarta mengenai aktifnya Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang tidak hanya terbatas pada sengketa Mineral One Data Indonesia atau MODI saja, namun juga terhadap seluruh sikap diam Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum.