Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan sekadar rutinitas seremonial, melainkan momentum untuk merefleksikan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila hadir sebagai ideologi pemersatu yang kokoh, yang terbukti mampu menghadapi berbagai rongrongan ideologi lain yang berusaha menggoyahkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di sisi lain, dalam kerangka kehidupan bernegara, tegaknya Pancasila sebagai dasar negara sangat berkaitan erat dengan keberadaan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjaga marwah hukum dan keadilan.
Salah satu pilar utamanya adalah kekuasaan kehakiman yang independen. Independensi ini merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila, khususnya sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Makna Hari Kesaktian Pancasila
Hari Kesaktian Pancasila lahir dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia menghadapi tragedi G30S/PKI tahun 1965. Pancasila terbukti mampu mengatasi rongrongan ideologi lain dan tetap menjadi dasar negara.
Kesaktian Pancasila tidak dipahami secara magis, melainkan melalui kekuatan filosofis, moral, dan historis yang terkandung di dalamnya.
Sebagai dasar negara, Pancasila termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menyatakan:
“…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Independensi Kekuasaan Kehakiman
Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman memiliki posisi sentral untuk menjamin tegaknya keadilan. Konstitusi menegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Selanjutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Makna merdeka dalam pasal tersebut mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya bebas dari segala bentuk campur tangan, baik dari eksekutif, legislatif, maupun pihak-pihak eksternal lainnya.
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan prinsip negara hukum (rechtstaat) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Penguatan lebih lanjut mengenai independensi kehakiman ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya:
- Pasal 3 ayat (1): “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
- Pasal 3 ayat (2): “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
- Pasal 5 ayat (1): “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Kutipan pasal-pasal ini menegaskan bahwa independensi hakim bukan sekadar prinsip teoritis, melainkan kewajiban hukum yang harus dijaga demi tegaknya peradilan yang bersih dan berwibawa.
Relevansi Pancasila dengan Independensi Kekuasaan Kehakiman
Independensi kekuasaan kehakiman sejatinya merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila:
- Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) menuntun hakim untuk menjunjung sumpah jabatan dan rasa tanggung jawab moral kepada Tuhan.
- Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) menegaskan pentingnya perlakuan adil terhadap para pihak yang berperkara.
- Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) mengingatkan bahwa putusan hakim harus memperhatikan kepentingan bangsa, bukan hanya kepentingan individu.
- Sila Keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan) menjiwai proses pengambilan keputusan hakim yang bijaksana dan sesuai rasa keadilan masyarakat.
- Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) menjadi tujuan akhir dari setiap putusan pengadilan, yakni mewujudkan keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.
Dengan demikian, Hari Kesaktian Pancasila memberi pesan bahwa keteguhan bangsa dalam menjaga ideologi negara harus berjalan seiring dengan keteguhan lembaga peradilan dalam menjaga independensi kehakiman.
Keduanya saling melengkapi: Pancasila sebagai dasar nilai, dan peradilan independen sebagai instrumen nyata dalam menjaga tegaknya keadilan.
Penutup
Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar momentum mengenang masa lalu, melainkan refleksi untuk masa depan. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan peradilan.
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan bentuk nyata pengamalan Pancasila dalam bidang hukum, karena hanya melalui peradilan yang bebas dan merdeka keadilan dapat ditegakkan secara murni dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.