Hukum acara pidana merupakan instrumen fundamental dalam menjamin keseimbangan antara kepentingan negara dalam menegakkan hukum dengan perlindungan hak-hak individu, khususnya tersangka dan terdakwa.
KUHAP 1981 memperkenalkan mekanisme praperadilan sebagai bentuk pengawasan yudisial terhadap tindakan paksa aparat penegak hukum.
Namun, mekanisme ini hanya bersifat ex post control, yakni baru dapat diajukan setelah tindakan dilakukan. Dengan demikian, potensi pelanggaran hak konstitusional warga negara tidak dicegah sejak awal, melainkan hanya dapat diuji keabsahannya setelah hak tersebut dilanggar.
Dalam kerangka reformasi, RKUHAP pernah memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang berperan sebagai ex ante control.
Melalui mekanisme ini, tindakan paksa seperti penahanan, penggeledahan, atau penyitaan hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan hakim.
Konsep ini sejatinya mendekatkan Indonesia dengan praktik sistem hukum modern di beberapa negara civil law, seperti Belanda dan Jerman, di mana hakim pengawas berperan aktif dalam tahap penyidikan. Namun, pada RKUHAP terbaru, HPP justru dihapus.
Alasan dihapusnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP terbaru
1. Resistensi praktisi hukum
Banyak praktisi, terutama penyidik (Polri) dan penuntut umum (Kejaksaan), menilai keberadaan HPP terlalu mempersempit ruang gerak mereka.
Keharusan meminta izin/penetapan HPP dalam setiap tindakan misalnya penahanan, penggeledahan, penyitaan dianggap menghambat efektivitas penyidikan dan membuat birokrasi hukum semakin berbelit.
2. Kekhawatiran menumpuknya perkara
Jika setiap tindakan aparat harus melalui HPP, dikhawatirkan beban pengadilan negeri menjadi sangat tinggi.
Dalam praktik, jumlah penangkapan, penahanan, atau penyitaan di Indonesia perharinya bisa sangat banyak. Pengadilan akan kewalahan, jika semua harus diperiksa di tahap awal.
3. Pertimbangan efisiensi dan anggaran
Membentuk sistem HPP memerlukan anggaran besar, mulai dari penambahan hakim, infrastruktur sidang, hingga mekanisme administrasi baru.
Pemerintah menilai sistem ini belum realistis diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah dengan keterbatasan SDM dan sarana peradilan.
4. Praperadilan sudah diperluas oleh Putusan MK
Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusan penting (misalnya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014) telah memperluas objek praperadilan (bukan hanya penangkapan dan penahanan, tapi juga penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dll).
Dengan adanya perluasan ini, sebagian pembentuk undang-undang beranggapan praperadilan masih relevan dan bisa tetap dipertahankan, sehingga tidak perlu diganti total oleh HPP.
5. Penolakan terhadap Yudikalisasi Penyidikan
Konsep HPP dipandang oleh sebagian pihak sebagai bentuk yudikalisasi berlebihan atas kerja penyidik. Aparat khawatir, jika hakim terlalu dalam ikut campur sejak tahap penyidikan, maka prinsip independensi penyidik akan tergerus.
6. Tradisi Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sistem peradilan pidana Indonesia, selama ini menganut model kontrol ex post (setelah tindakan dilakukan) melalui mekanisme praperadilan.
Perubahan menjadi kontrol ex ante (sebelum tindakan dilakukan) dengan HPP dianggap terlalu radikal, sehingga pembentuk undang-undang memilih jalan moderat, untuk tetap mempertahankan praperadilan, dengan beberapa penyempurnaan.
Namun dengan dihapuskannya ketentuan mengenai Hakim Pemeriksaan Pendahuluan dalam RKUHAP, pertanyaannya apakah keberlangsungan praperadilan cukup menjamin perlindungan hak tersangka, serta pihak terkait atau justru menunjukkan langkah mundur dari upaya reformasi hukum acara pidana terhadap, prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.
Eksistensi Praperadilan Pascadihapusnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam RKUHAP terbaru
RKUHAP terbaru tetap mempertahankan praperadilan, tetapi dengan sejumah pembaharuan sebagai berikut:
1. Penguatan kewenangan praperadilan
- Objek praperadilan mencakup lebih banyak aspek meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, dan penghentian tuntutan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 149 ayat (1) RKUHAP. Hal ini merupakan kodifikasi dari perluasan yang sebelumnya dilakukan melalui Putusan MK. Sekaligus sebagai pembaharuan yuridis atas Pasal 77 KUHAP.
- Dengan demikian, pengaturan tersebut memberikan kepastian hukum atas kewenangan hakim. Objek praperadilan, kini memiliki kewenangan eksplisit dalam undang-undang, bukan hanya melalui tafsiran MK. Hal ini diharapkan mengurangi disparitas antar putusan hakim.
2. Percepatan proses pemeriksaan praperadilan
- RKUHAP terbaru menegaskan batas waktu penyelesaian praperadilan, agar lebih efektif dan tidak berlarut-larut. Jika sebelumnya terkait waktu pemeriksaan praperadilan dalam KUHAP Pasal 82 menyebutkan dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannnya, akan tetap di dalam RKUHAP Pasal 154 ayat (1) poin c mengatur pemeriksaan praperadilan dilaksanakan lebih cepat dengan menentukan pemeriksaan tersebut, dilakukan secara cepat dan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak permohonan diajukan, Hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
- Akan tetapi yang perlu menjadi catatan, mengenai pengaturan batas waktu pemeriksaan dalam RKUHAP, menimbulkan kegelisahan sekaligus pertanyaan dari aparat penegak hukum maupun pihak terkait, terutama bagi hakim yang memiliki kewenangan tunggal memimpin praperadilan. Timbul keraguan apakah dengan waktu yang relatif singkat tersebut, pemeriksaan praperadilan dengan objek yang semakin meluas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
3. Penguatan peran pengawasan yudisial serta jaminan perlindungan bagi korban dan pelapor.
- RKUHAP mempertegas kedudukan praperadilan sebagai check and balance terhadap kewenangan penyidik dan penuntut umum.
- Di samping itu, RKUHAP memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai kedudukan pihak ketiga yang berkepentingan, termasuk saksi korban dan pelapor, untuk mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri terkait pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Pengaturan ini menghadirkan kepastian hukum sekaligus jaminan perlindungan hak asasi yang lebih optimal bagi saksi korban maupun pelapor.
4. Kepastian hukum atas kedudukan praperadilan
- Dalam KUHAP Pasal 82 ayat (1) huruf d, sebelumnya diatur apabila suatu perkara telah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permohonan praperadilan tersebut dianggap gugur. Ketentuan ini, dinilai kurang memberikan kepastian hukum serta jaminan perlindungan hak asasi bagi pihak yang mengajukan permohonan praperadilan, guna melindungi haknya dari tindakan aparat yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
- RKUHAP, kemudian merevisi ketentuan tersebut melalui Pasal 154 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa selama pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf c belum selesai, maka pemeriksaan perkara pokok di pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, RKUHAP memberikan jaminan yang lebih kuat terhadap keberlangsungan praperadilan sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam menilai ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi akibat kelalaian maupun tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
Penutup
Dari keseluruhan uraian yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa penghapusan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP didasari oleh berbagai pertimbangan normatif maupun praktis, sehingga mekanisme praperadilan tetap dipertahankan dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.
Praperadilan diharapkan tidak hanya memberikan jaminan perlindungan hak asasi bagi tersangka, tetapi juga memberikan ruang keadilan bagi korban maupun pelapor.
Meski demikian, ketentuan praperadilan yang diatur dalam RKUHAP masih belum sepenuhnya bebas dari kelemahan.
Salah satu yang krusial, adalah jangka waktu pemeriksaan yang relatif singkat, padahal objek praperadilan kini semakin kompleks, sementara pemeriksaan tetap dilakukan oleh hakim tunggal.
Selain itu, RKUHAP juga perlu menegaskan prosedur acara praperadilan secara lebih rinci agar tidak menimbulkan disparitas dalam pelaksanaannya dan menjamin adanya keseragaman praktik peradilan di seluruh Indonesia.
Referensi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025. Institute for Criminal Justice Reform.
Yusra, R. (2025, April 5). Permintaan masukan dari masyarakat dan urgensi perubahan KUHAP. DetikNews. https://news.detik.com/kolom/d-7869425/permintaan-masukan-dari-masyarakat-dan-urgensi-perubahan-kuhap
UMY Law Journal. (2022). Politik hukum praperadilan sebagai lembaga perlindungan hak tersangka ditinjau dari Putusan MK 21/PUU-XII/2014. Jurnal Penelitian Hukum, 9(1), 115–133.
DJKN Kementerian Keuangan. (2020). Praperadilan: Upaya pengawasan penegak hukum melalui pengadilan. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-sumut/baca-artikel/17397/Praperadilan-Upaya-Pengawasan-Penegak-Hukum-Melalui-Pengadilan.html