“The normal way to establish authority is by showing that the subject is more likely to act in accordance with reason by following the authority’s directives than by acting independently.” — Joseph Raz (The Morality of Freedom).
Sebelum manusia bercocok tanam, struktur kekuasaan bersifat anarkis. Anarkisme adalah “rules without rulers” (aturan tanpa otoritas penegak aturan).
Manusia pemburu dan peramu hidup dalam kelompok “anarkis” – komunitas kecil yang berburu secara kelompok dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dalam suasana horisontal dan egalitarian ini, tidak ada spesifikasi peran. Setiap anggota kelompok harus sanggup melakukan apapun, dari memburu, menguliti hewan, membuat alat, mencari dedaunan, hingga memasak.
Sisi empatetik ini diikat kuat oleh volume dan dinamika anggota yang cenderung kecil. Peraturan menjadi tacit, maksudnya, diketahui tanpa harus dikatakan secara eksplisit. Setiap anggota mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Inilah “rules without rulers” yang menjadi hukum lisan dari masyarakat berburu dan meramu (Wilson, 2014).
Dalam komunitas pemburu dan peramu, semuanya milik bersama. Sisi komunal ini bisa sangat ramah dan manusiawi, tetapi juga bisa sangat keji.
Yuval Noah Harari (2011) mencatat bahwa dalam kelompok komunal manusia berburu dan meramu (hunter gatherers), perkara hidup atau mati sifatnya acak.
Kesepakatan antarindividu bisa berubah kapanpun dan dimanapun. Anggota kelompok yang terlemah dapat dikorbankan begitu saja, karena dianggap sebagai beban. Hak dan kewajiban juga sama acaknya (contingent), dan situasi ini hampir mirip dengan ketiadaan hukum (anomos).
Kondisi anomik mulai berubah saat manusia masuk ke masa bercocok tanam sekitar dua belas ribu tahun yang lalu. Pertanian membutuhkan hierarki dan kerja massal. Pola berburu dan meramu tidak lagi sesuai, sehingga perlahan tapi pasti, anarkisme digantikan dengan hierarkisme yang sifatnya vertikal.
Anarkisme, Negara, dan Hukum
Anarkisme ideologis baru naik kembali ke permukaan di abad ke-19. Di masa itu Revolusi Industri menghasilkan borjuasi (kaum pemilik modal) yang menggantikan raja-raja dan aristokrat.
Anarkhia, bahasa Yunani untuk oposisi melawan pemerintah, menjadi kata yang dipilih sebagai simbol perjuangan untuk melawan jurang kesenjangan antara pemilik modal dengan kaum pekerja. Kata ini kembali diangkat ketika era bercocok tanam digantikan dengan mesin-mesin industri.
Menurut Colin Ward, ada tujuh model gerakan anarkisme sejak kemunculannya hampir dua abad lalu: (1) anarkis-komunis, (2) anarkisme kolektif, (3) anarko-sindikalisme, (4) anarkisme individualis, (5) anarkisme pasifis, (6) anarkisme hijau, dan (7) anarka-feminisme (Ward, 2004).
Anarkisme lahir dari kerasnya situasi negara modern. Ruth Kinna mencatat bahwa bagi para penganut anarkisme “the characteristic feature of government in the state is violence” (karakteristik utama dari pemerintah di sebuah negara adalah kekerasan) (Kinna, 2005:46).
Gerakan anarkisme menjadi berbenturan dengan hukum karena hukum modern bekerja di atas fondasi yang ditolak oleh kaum anarkis: negara. Keberadaan negara menjadi penting karena hukum membutuhkan elemen koersif, dan satu-satunya pihak yang dapat menyediakan aspek penegakan ini adalah pemerintah.
Hukum positif tidak dapat bekerja tanpa ada kekuasaan. Hukum, dengan demikian, adalah antitesis dari anarkisme. Meskipun demikian, seperti tujuh kategori yang dikatakan oleh Ward, mungkin tidak semua paham anarkisme berseberangan dengan hukum.
Paul Mclaughlin melihat dua sisi anarki untuk memberikan sisi yang sedikit lebih berimbang. Bagi Mclaughlin, memang dari sisi negatif anarkisme dapat dilihat sebagai “the rejection of rule, of government, of the state, of authority, of society, or of domination” (Penolakan terhadap aturan, pemerintahan, negara, otoritas, masyarakat, atau dominas).
Namun dari sisi positif, lanjut Mclaughlin, anarkisme bekerja sebagai “theory of voluntary association, of decentralization, of federalism, of freedom, and so on” (Teori tentang asosiasi tanpa paksaan, desentralisasi, federalisme, kebebasan, dan seterusnya) (Mclaughlin, 2007:25). Mclaughlin melanjutkan bahwa titik sentral dari cara berpikir anarkisme adalah Niccolo Machiaveli, karena filsuf Italia ini memisahkan yang etis dan politis, yang menjadi dasar kerangka aksi dari anarkisme.
Ironisnya, anarkisme adalah buah dari pemikiran modernisme yang menitikberatkan pada dua nilai utama: kebebasan dan kesetaraan (Araujo, 2016). Kedua titik ini adalah fondasi dari ideologi perlawanan tersebut, dan kedua titik ini pulalah yang merupakan pilar dalam penyelenggaraan hukum. Dengan kata lain, hukum dan anarkisme berdiri beririsan di titik-titik tertentu, meski keduanya adalah dua kutub yang bertolak belakang.
Dilema Anarkisme dalam Negara Modern
Anarkisme bukanlah asap yang muncul tanpa api. Jeff Shantz, pengkaji ideologi ini, mengatakan bahwa anarkisme menjadi relevan di masa neoliberalisme ekonomi.
Shantz mencatat: “The neoliberal state is more readily recognizable as a mechanism of oppression of the many for the few— and institution of class rule” (Negara neoliberal lebih mudah dikenali sebagai mekanisme penindasan terhadap banyak orang demi kepentingan segelintir pihak—serta sebagai institusi kekuasaan kelas).
Negara yang dilawan oleh ideologi ini, lanjut Shantz, adalah “instrument of injustice and inequality for many” (Instrumen ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi banyak orang) (Shantz, 2020:7).
Bagi kaum anarkis, negara yang disfungsional justru menyangkal marwahnya sebagai penjamin kesejahteraan warganya. Negara seperti ini justru tidak bertatanan (disordered), sehingga anarkisme menurut mereka adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan tatanan (order).
Salah satu tokoh awal gerakan anarkisme Prancis, Pierre-Joseph Proudhon, bersikeras bahwa pemerintahan yang bersandarkan kebijakan opresif harus ditolak.
Dalam catatan Peter Marshall di bukunya Demanding the Impossible, A History of Anarchism, bagi Proudhon, “only society without artificial government could restore the natural order and social harmony” (Hanya masyarakat tanpa pemerintahan semu yang dapat memulihkan tatanan alamiah dan harmoni sosial) (Marshall, 2008).
Ini menjadi pertanyaan bagi kita, karena anggapan umum selalu berpijak pada kata “anarki” sebagai sinonim dari kata “kekerasan”, namun dalam anarkisme yang berasal Eropa, gerakan ini justru ditujukan untuk melawan tirani.
Tujuan ini ditegaskan oleh pengkaji ideologi anarkisme lainnya, H. Gustav Klaus dan Stephen Knight, yang mengatakan: “anarchism stands not only for liberty, the absence of rulers and the emancipation of individuals, but also for equality and human solidarity. From very early on, it has written on its banner the ending not only of the domination of man by man, or man by the state, but also of that of woman by man” (Anarkisme tidak hanya berpihak pada kebebasan, ketiadaan penguasa, dan emansipasi individu, tetapi juga pada kesetaraan dan solidaritas kemanusiaan. Sejak awal, ia telah menuliskan di panjinya tujuan untuk mengakhiri bukan hanya dominasi manusia atas manusia, atau manusia oleh negara, tetapi juga dominasi perempuan oleh laki-laki) (Klaus & Knight, 2005:2).
Lepas dari visi dan tujuan gerakan anarkisme, filsuf hukum Joseph Raz mengangkat dilemma yang muncul dalam gerakan anarkisme. Bagi Raz, kaum anarkis keliru dalam memahami fungsi negara.
Raz mengingatkan bahwa negara berhak memiliki alasan tertentu (exclusionary reasons) untuk mengikat warga negaranya dalam kondisi tertentu pula. Otoritas justru punya kewajiban “berpikir dengan kepala yang lebih dingin”, dan tidak terjebak pada kegelisahan personal. Ini sejalan dengan Tesis Justifikasi Wajar (Normal Justification Thesis/NJT) dari Raz (Mclaughlin, 2007:39). Sebagai ilustrasi, pengelolaan hutan untuk kepentingan ekonomi memiliki tahapan dan strategi yang berbeda dengan pengelolaan hutan dalam perspektif individual atau masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut.
Bila anarkisme menolak otoritas, maka kaum anarkis kehilangan kesempatan untuk melihat jauh ke depan secara strategis, terutama yang berkaitan dengan aspek ekonomi atau politik.
Catatan Kritis Anarkisme
Dalam sebuah kasus di Italia (Decreto di fermo di indiziato di delitto emesso il 5/03/1998 dalla Procura di Torino nei confronti di Rosas María Soledad, Massari Edoardo), tiga orang aktivis anarkis Rosas María Soledad, Massari Edoardo, dan Pelissero Silvano menolak pembangunan kereta cepat di Val di Susa, Italia Utara. Ketiganya dianggap melakukan ekoterorisme karena menghalangi pembangunan infrastruktur transportasi tersebut.
Soledad, Edoardo, dan Silvano menyangkal keterlibatan mereka dalam sabotase, dan juga tidak memiliki afiliasi dengan kelompok para-militer Lupi Grigi seperti yang dituduhkan. Penahanan ketiganya dilakukan tanpa ada bukti yang cukup, dan bahkan berakhir tragis.
Edoardo bunuh diri di tahanan, Soledad dan Silvano dikenakan tuduhan yang tetap tidak dapat dibuktikan. Soledad kemudian bunuh diri sebelum nama baiknya dipulihkan. Kasus ini mengingatkan kita pada ciri anarkisme, sekalipun dimulai dengan tujuan altruistik, namun karena secara alami menolak otoritas, gerakan anarkisme dalam skala apapun begitu mudah menarik unsur kekerasan.
Catatan lainnya dan sekaligus menyimpulkan karakter anarkisme, sejarawan Arif Dirlik dalam Anarchism in the Chinese Revolution (1991) menegaskan bahwa memang anarkisme memainkan peranan dalam revolusi yang berlangsung di Tiongkok, terutama dalam rentang tahun 1905 dan 1930.
Namun demikian, setelah hierarki monarkis diruntuhkan, Tiongkok justru masuk dalam hierarkisme negara modern hingga sekarang.
Hal ini menegaskan ironi historis bahwa anarkisme sering kali berperan dalam menghancurkan struktur kekuasaan lama, tetapi gagal menghindari terbentuknya kekuasaan baru yang lebih sentralistik.
Gagasan-gagasan egalitarian dan anti-otoritarian yang dibawa kaum anarkis kerap terpinggirkan setelah kekuasaan baru berhasil dikonsolidasikan. Dalam konteks ini, anarkisme bukan hanya dilema teoritis, tetapi juga tragedi politis yang berulang, di mana semangat pembebasan yang menggerakkan revolusi justru tereduksi dalam birokrasi dan dominasi yang lahir dari kekuasaan pascarevolusioner.