Bayangkan seorang hakim yang sedang mendengarkan kesaksian dalam kasus pencurian. Terdakwa adalah seorang pemuda berambut gondrong dengan tato di lengan. Dalam hitungan detik pertama, tanpa disadari, otak hakim sudah mulai membentuk narasi: "Ini pasti pelaku."
Ketika jaksa menyajikan bukti yang menunjukkan keterlibatan terdakwa, hakim mengangguk dalam hati, bukti ini masuk akal. Namun ketika pengacara pembela menyajikan alibi yang kuat, ada sesuatu dalam pikiran hakim yang resisten, seolah-olah informasi itu tidak cocok dengan gambaran yang sudah terbentuk.
Inilah realitas yang mungkin tidak nyaman untuk diakui bahkan di ruang sidang yang sakral, di balik toga hitam dan palu kayu, keputusan hakim tidak selalu lahir dari proses rasional yang sempurna. Terkadang, tanpa disadari, putusan sudah mulai terbentuk jauh sebelum semua bukti dipertimbangkan.
Ketika Otak Bermain Curang
Sistem peradilan Indonesia, seperti halnya sistem peradilan di seluruh dunia, dibangun di atas fondasi yang mulia objektivitas dan ketidakberpihakan. Namun realitas menunjukkan bahwa hakim, sebagai manusia, membawa serta seluruh keterbatasan kognitif yang melekat pada otak manusia. Dan mungkin inilah saatnya kita, sebagai bangsa yang menghargai keadilan, mulai membuka diri terhadap temuan psikologi dan neurosains untuk memahami dan mengatasi permasalahan ini.
Bias kognitif, dalam istilah sederhana, adalah kecenderungan sistematis dalam berpikir yang menyebabkan kita mengambil keputusan dengan cara yang menyimpang dari rasionalitas atau objektivitas. Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi 2002, dalam karya monumentalnya Thinking, Fast and Slow, menggambarkan bagaimana otak kita memiliki dua sistem: Sistem 1 yang cepat dan intuitif, serta Sistem 2 yang lambat dan analitis. Masalahnya, Sistem 1 seringkali mengambil alih tanpa kita sadari, bahkan dalam situasi yang seharusnya menuntut pemikiran analitis mendalam.
Dalam konteks peradilan, penelitian empiris menunjukkan, bias kognitif dapat secara tidak sadar mendistorsi inferensi dan interpretasi yang dibuat oleh hakim-baik pada tahap sidang, putusan, atau penjatuhan sanksi. Beberapa bias yang paling relevan meliputi confirmation bias (kecenderungan mencari informasi yang mengkonfirmasi keyakinan awal), anchoring bias (bergantung berlebihan pada informasi pertama yang diterima), dan availability heuristic (menilai probabilitas berdasarkan kemudahan mengingat contoh serupa).
Apa yang mengkhawatirkan adalah bahwa bias-bias ini bekerja di level bawah sadar, membuat hakim yang paling berpengalaman sekalipun rentan terhadap kesalahan sistematis.
Mitos Hakim Sebagai Mesin Rasional
Studi revolusioner oleh Guthrie, Rachlinski, dan Wistrich menunjukkan fakta yang mengejutkan, hakim biasanya mengandalkan jalan pintas mental, atau heuristik, untuk membuat keputusan kompleks. Namun hal ini terkadang mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat, bahkan pada ilusi kognitif. Temuan ini, menggugurkan mitos bahwa hakim adalah pengambil keputusan yang sepenuhnya rasional dan objektif.
Lebih mengejutkan lagi, bias kognitif ternyata tidak hilang bahkan ketika perkara diputus dalam majelis hakim yang terdiri dari beberapa orang. Fenomena groupthink dan cascade bias menunjukkan, kelompok justru dapat memperkuat bias individual daripada mengeliminasinya. Cass Sunstein dalam Why Societies Need Dissent mengungkap, anggota majelis cenderung mengikuti pendapat mayoritas awal atau anggota yang paling vokal, tanpa evaluasi kritis yang memadai. Bahkan lebih problematis, keputusan kelompok dapat menciptakan ilusi konsensus yang menutupi ketidakpastian individual.
Di Indonesia, fenomena ini dapat diamati dalam berbagai putusan kontroversial. Di mana, faktor-faktor eksternal seperti tekanan media, opini publik, atau karakteristik personal terdakwa tampak memengaruhi pertimbangan hakim. Meskipun sulit diukur secara langsung, pola-pola inkonsistensi dalam putusan serupa mengindikasikan adanya bias kognitif yang bekerja.
Neurosains Membuka Tabir Misteri Pengambilan Keputusan
Perkembangan neurosains modern memberikan wawasan mendalam tentang mekanisme pengambilan keputusan manusia. Teknologi neuroimaging menunjukkan bahwa keputusan "rasional" sebenarnya melibatkan interaksi kompleks antara korteks prefrontal (area berpikir analitis) dan sistem limbik (area emosi dan intuisi). Hal ini menjelaskan mengapa bias kognitif bersifat universal dan persisten.
Anda bisa membayangkan seorang yang sedang mendengarkan kasus korupsi. Ketika melihat foto terdakwa yang berpenampilan rapi dalam kemeja putih, korteks prefrontal mungkin mencoba memproses bukti secara objektif. Namun sistem limbik sudah membisikkan: "Orang ini tidak terlihat seperti koruptor." Tanpa disadari, bias ini dapat memengaruhi bagaimana hakim menimbang bukti-bukti yang ada.
Kemajuan aplikasi neurosains pada bidang hukum sendiri telah menunjukkan bahwa prediksi dan akurasi telah meningkat melalui model judicial kognitif. Di mana, lebih banyak faktor kognitif dan nilai dipertimbangkan, lebih banyak penjelasan diberikan, dan proses pengambilan keputusan dianalisis. Hal ini membuka peluang untuk mengembangkan sistem peradilan yang lebih objektif dan dapat diandalkan.
Pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah struktur pengambilan keputusan hakim dapat bebas dari bias heuristik? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya, namun dapat diminimalkan secara signifikan. Studi menunjukkan, pelatihan bias implisit dapat mengurangi bias melalui strategi seperti mengganti respons stereotipal (yang bersifat kaku/otomatis) dengan respons nonstereotipal dan refleksi mengapa respons stereotipal terjadi.
Mahkamah Agung sendiri sebenarnya dapat memimpin transformasi ini dengan menetapkan standar minimal pelatihan psikologi dan neurosains untuk semua hakim. Kurikulum pendidikan hakim seharusnya juga dapat memasukkan mata ajar tentang bias kognitif dan pengambilan keputusan berbasis evidens. Ini bukan kemewahan, tetapi sebenarnya kebutuhan di era modern.
Pelatihan berbasis neurosains dapat meningkatkan objektivitas hakim melalui pendekatan multi-modal yang tidak hanya teoretis, tetapi juga praktis dan aplikatif. Hakim perlu memahami bagaimana otak mereka bekerja, bagaimana bias terbentuk, dan bagaimana mengatasinya.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Mengakui eksistensi bias kognitif dalam pengambilan keputusan hakim bukanlah kritik terhadap integritas hakim, melainkan langkah realistis menuju sistem peradilan yang lebih adil dan dapat diandalkan. Ini adalah tentang mengakui bahwa hakim adalah manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.
Ketika seorang ayah harus menunggu putusan atas kasus yang melibatkan anaknya, ketika seorang pedagang kecil bergantung pada keputusan hakim untuk masa depan usahanya, atau ketika masyarakat mengharapkan keadilan atas kasus korupsi yang merugikan negara dalam momen-momen inilah objektivitas hakim menjadi sangat penting.
Integrasi temuan psikologi dan neurosains ke dalam praktik peradilan Indonesia bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Transformasi ini memerlukan komitmen jangka panjang dari seluruh stakeholder sistem peradilan. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membangun sistem peradilan yang tidak hanya mengandalkan kebijaksanaan dan pengalaman, tetapi juga didukung oleh pemahaman ilmiah tentang bagaimana manusia benar-benar membuat keputusan.
Inilah saatnya ilmu hukum Indonesia melangkah menuju era baru yang lebih objektif dan berbasis evidens. Bukan karena tidak percaya pada hakim, tetapi justru karena percaya bahwa dengan pemahaman yang lebih baik tentang keterbatasan manusia, kita dapat membangun sistem yang lebih adil untuk semua.
Daftar Bacaan:
- D. Kahneman, (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.
- Guthrie, C., Rachlinski, J. J., & Wistrich, A. J. (2001). Inside the judicial mind. Cornell Law Review, 86(4), 777-830.
- Guthrie, C., Rachlinski, J. J., & Wistrich, A. J (2006). Inside the bankruptcy judge's mind. Boston University Law Review, 93(3), 759-832.
- Cass. R. Sunstein, (2005). Why Societies Need Dissent. Cambridge: Harvard University Press.
- Taufiq Syarif Akmal, Peran Pikiran Bawah Sadar dalam Proses Pengambilan Keputusan, diakses dari https://liternote.com/index.php/ln/article/download/280/228/858 Pada 16 Juli 2025
- Danziger, S., Levav, J., & Avnaim-Pesso, L. (2011). Extraneous factors in judicial decisions. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(17), 6889-6892.
- Federal and State Court Cooperation, Effectiveness of Implicit Bias Trainings diakses dari https://www.fjc.gov/content/337738/effectiveness-implicit-bias-trainings
- Avani Mehta Sood (2015). Cognitive cleansing: Experimental psychology and the jury. Georgetown Law Journal, 101(4), 1439-1496.
- Harini S. Shah, Julie Bohlen, Implicit Bias, diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK589697/#:~:text=Implicit%20bias%20includes%20the%20subconscious,%2C%20affect%20their%20decision%2Dmaking.
- Joel D. lieBerman, Daniel a. Krauss. (2009). Jury Psychology: social aspects of trial Processes Psychology in the courtroom, Volume 1. Wey court east, Ashgate Publishing limited.