Putusan Pidana Pengadilan: Siapa yang Salah?

Hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan hanya sekedar menghukum pelaku, namun diberikan kewenangan membebaskan atau melepaskan pelaku kejahatan atau terdakwa.
Ilustrasi suasana persidangan. Foto istockphoto.com/
Ilustrasi suasana persidangan. Foto istockphoto.com/

Pendahuluan

Ketika membahas putusan, maka akan jadi pembicaraan masyarakat mengenai menang dan kalah, apakah mendapatkan hukuman atau dibebaskan? Saat ini, slogan “no viral no justice”, ramai dibincangkan masyarakat, sehingga rasanya hukuman atau putusan pengadilan, terkesan dapatkan tekanan masyarakat atau bilamana tidak sesuai harapan, maka diviralkan putusan tersebut sampai dengan profil hakim yang memutus perkara tersebut.

Pemahaman hukum terlihat susah-susah gampang disampaikan kepada masyarakat, padahal berdasarkan ketentuan yang ada, telah mengatur mengenai jenis-jenis putusan. Dalam putusan pidana, terdapat amar putusan yang isinya berupa penghukuman, pembebasan dan melepaskan (pidana), mengabulkan atau menolak, menyatakan tidak diterima dan gugur (perdata), namun penulisan ini akan berfokus membahas mengenai putusan pidana pengadilan.

Jenis-jenis Putusan Pidana (Pengadilan)

Terdapat beberapa jenis-jenis putusan, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, menyatakan, jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, putusan bebas merupakan putusan yang dihasilkan atas tindak pidana yang didakwa penuntut umum dalam surat dakwaannya, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan tidak dipenuhinya ketentuan minimum pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan disertai keyakinan hakim, maka putusan yang diberikan kepada terdakwa adalah putusan bebas.

Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, menyatakan, bilamana pengadilan berpendapat perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Terhadap putusan lepas (ontslag van rechtsvervolging), dakwaan dan tuntutan telah terbukti, namun terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan terdakwa, bukan merupakan perbuatan pidana melainkan perbuatan hukum lainnya, seperti hukum perdata, hukum adat, hukum tata usaha negara atau hukum lainnya selain hukum pidana.

Dalam Pasal 199 ayat (1) KUHAP, mewajibkan putusan bukan pemidanaan memuat ketentuan, yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, kecuali huruf e, f dan h, dengan membuat pernyataan terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dimana menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, dan dapat membuat perintah supaya terdakwa segera dibebaskan dari tahanan, di dalam putusan tersebut.

Sedangkan putusan pemidanaan, yang diatur Pasal 193 (1) KUHAP menyatakan, bilamana pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Jenis pidana sesuai pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terdiri dari pidana pokok berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Adapun jenis pidana dalam KUHP lama cukup, berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional). Berdasarkan Pasal 64 KUHP Nasional, menerangkan sanksi pidana terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Mengenai pidana pokok, sesuai pasal 65 ayat (1) KUHP Nasional terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial.

Pidana tambahan, diatur Pasal 66 ayat (1) KUHP Nasional, yang menerangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu dan pemenuhan kewajiban adat setempat.

Sedangkan pidana yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHP Nasional adalah pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.

Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum terhadap seluruh putusan pidana yang sifatnya terbuka untuk umum dan tertutup untuk umum (kesusilaan atau anak).

Berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, tidak dipenuhi beberapa ketentuan yang terdapat di Pasal 197 ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum, serta putusan wajib dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan KUHAP.

Hakim Memutus Perkara Pidana Berdasarkan Fakta Hukum Persidangan

Setelah memperhatikan jenis-jenis putusan tersebut, maka kita akan memahami bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan hanya sekedar menghukum pelaku, namun diberikan kewenangan membebaskan atau melepaskan pelaku kejahatan atau terdakwa (penyebutan di persidangan).

Hakim memutus pemidanaan (penghukuman penjara) kepada pelaku, maka dianggap salah oleh keluarga pelaku. Hakim memutus bebas atau lepas dianggap salah oleh keluarga korban dan demikian sebaliknya, serta tidak hanya keluarga dari terdakwa atau korban, namun sampai masyarakat pun terlibat mempersalahkan hakim.

Begitu juga, ketika perkara yang ditangani hakim merupakan perkara menarik perhatian dari masyarakat atau perkara yang viral di media sosial, maka banyak mata yang akan tertuju kepada hakim yang menangani perkara tersebut, sejak perkara tersebut mulai disidangkan, mendengarkan keterangan saksi dan sampai dengan pembacaan putusan.

Mungkin masih kita ingat perkara-perkara yang jadi perhatian masyarakat secara nasional, seperti perkara terpidana Jessica Wongso, Ferdi Sambo, Harvey Moeis, Ronald Tannur dan masih banyak lainnya yang ada di daerah-daerah, serta menjadi perhatian masyarakat secara lokal.

Atas putusan pidana dari seluruh perkara yang viral tersebut, tentu banyak tekanan yang dialami hakim yang memeriksa perkara dan dilema dalam alam pikirannya, ketika membuat putusan, karena begitu banyak pertimbangan yang dibuat untuk menghasilkan putusan, serta dapat saja tidak disukai atau disukai masyarakat.

Belum lagi, bilamana putusan pengadilan, itu tidak dirasa adil oleh pihak-pihak, hakim bisa mendapatkan laporan pengaduan kode etik kepada Badan Pengawas MA atau kepada Komisi Yudisial, serta dapatkan juga dari lembaga-lembaga lainnya.

KUHAP dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, berikan pedoman bahwa hakim dalam memutus perkara pidana, wajib berdasarkan pertimbangan alat bukti yang cukup (minimal dua alat bukti) dan keyakinan hakim, sehingga pertimbangan yang diutarakan dalam putusan, merupakan pertimbangan yang didasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, sebagaimana alat-alat bukti (saksi, surat, ahli, petunjuk) dan barang bukti perkara. 

Bilamana, fakta hukum yang diperlihatkan penuntut umum mengarah pada kesalahan terdakwa, maka putusan berupa pemidanaan. Namun, apabila alat bukti/fakta hukum tidak mengarah kesalahan terdakwa, maka putusan berupa bebas atau lepas dari tuntutan hukum.

Dengan demikian, hakim wajib menggali fakta hukum (alat bukti) yang ada di persidangan dengan baik dan benar, serta berdasarkan keyakinan hakim terhadap fakta hukum pesidangan, sehingga bilamana dinilai salah dan benar oleh masyarakat atau dilaporkan kepada lembaga etik, putusan hakim dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan terkhusus kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kiranya sedikit tulisan ini dapat memberikan secercah gambaran pemahaman kepada masyarakat mengenai begitu kompleksnya pembuatan pertimbangan hukum dalam putusan dan penjatuhan dalam amar putusan terhadap perkara pidana yang ditangani dan diputuskan hakim berdasarkan fakta persidangan dan bukan karena adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews