Dalam setiap putusan yang dibacakan di ruang sidang, ada suara yang tetap hening. Suara itu tidak tercatat dalam berita acara, tidak menjadi bagian dari pertimbangan hukum, namun tetap bergetar di relung kehidupan. Ia adalah suara yang lahir dari luka, kecewa, derita, pengharapan, dan kejujuran yang tak sempat diungkapkan.
Dalam sengketa keluarga, misalnya, suara anak yang bingung, suara ibu yang terluka, atau suara ayah yang menyesal seringkali hilang dalam teks amar putusan. Yang tercatat hanya siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa yang wajib memberi dan menerima. Tetapi bagaimana dengan rasa yang tak tertuang?
Hukum memiliki mekanisme baku, dan itu dibutuhkan untuk menjamin kepastian. Namun mekanisme ini sering mengabaikan dimensi batiniah yang menyimpan makna lebih dalam. Hukum butuh alat untuk mendengar yang tak diucapkan, untuk memahami yang tak tertulis, untuk menangkap isyarat kemanusiaan yang sunyi.
Keheningan ini bukan tanpa makna. Ia justru mencerminkan adanya kekosongan dalam struktur hukum modern yang terlalu kaku dan prosedural. Ketika suara-suara kecil tidak dianggap penting, hukum berisiko kehilangan relevansinya sebagai penjaga keadilan substantif.
Pendekatan restoratif telah memperlihatkan bahwa mendengar semua suara, termasuk yang paling lemah, dapat mengubah wajah hukum. Ketika korban, pelaku, dan masyarakat diberi ruang untuk bicara secara jujur, maka keadilan tidak hanya diputuskan, tetapi dirasakan dan disepakati.
Suara yang tak terdengar oleh hukum bisa berasal dari perempuan yang dimarjinalkan, dari anak-anak yang belum cukup umur, dari kelompok adat yang sistem nilainya tak sesuai dengan hukum negara, atau dari rakyat kecil yang bahkan tidak tahu cara menyuarakan haknya.
Setiap putusan yang tidak mengakomodasi dimensi kemanusiaan, hanya akan menjadi teks yang dingin. Hukum yang agung adalah hukum yang tidak sekadar menetapkan siapa salah dan siapa benar, tetapi yang mampu menyentuh dan mengakui suara yang tersembunyi dalam diam.
Kepekaan sosial dan spiritual dalam menafsirkan hukum menjadi kunci agar suara-suara ini tak terus-menerus diabaikan. Hukum tidak hidup dalam kitab, tetapi dalam manusia. Dan manusia tidak hanya hidup dalam kata-kata, tetapi juga dalam rasa dan pengalaman.
Lembaga mediasi dan pendekatan partisipatif telah membuktikan bahwa mendengar suara yang tak terdengar adalah bentuk tertinggi dari keadilan. Di sinilah keadilan dapat disepakati. Ia bukan kelemahan hukum, tetapi puncak peradabannya.
Menata hukum agar mampu mendengar membutuhkan keberanian intelektual dan kerendahan hati. Dibutuhkan semangat bahwa hukum bukan menara gading, tetapi jembatan agar bisa dilalui oleh semua orang, termasuk yang paling tak berdaya.
Dalam tradisi keagamaan, suara hati adalah bagian dari petunjuk ilahi. Maka hukum yang tak mendengar suara hati adalah hukum yang kehilangan arah. Kepekaan terhadap suara sunyi adalah bentuk ibadah, dan putusan yang menyentuh batin adalah bentuk amal.
Jika semua suara yang tak terdengar itu diberi ruang, maka putusan hukum akan menjadi lebih dari sekadar teks. Ia akan menjadi pesan moral yang hidup, yang menyembuhkan, dan yang memperkuat jaringan kemanusiaan dalam masyarakat.
Keadilan sejati tidak hanya terlihat dari keakuratan logika hukum, tetapi dari keberanian untuk menyimak suara yang nyaris hilang. Suara yang tak terwakili bukanlah suara yang salah, tetapi suara yang belum diberi tempat dalam struktur hukum yang ada.
Dengan demikian, tugas besar para penegak hukum adalah belajar mendengar lebih dalam dari sekadar apa yang terucap. Sebab di balik putusan, ada jeritan, doa, harapan, dan luka yang mengandung kebenaran. Dan hukum yang benar adalah hukum yang mampu memberi tempat bagi semua suara itu, sekalipun lahir dari keheningan.