Damang Kepala Adat Juru Damai Masyarakat Adat Dayak

Pengangkatan Damang Kepala Adat didasarkan pada hasil pemilihan oleh para Kepala Desa/Lurah, para Ketua Badan Permusyawaratan Desa.
Kegiatan Damang Kepala Adat Dayak. Foto : Dokumentasi Pemkab Palangkaraya
Kegiatan Damang Kepala Adat Dayak. Foto : Dokumentasi Pemkab Palangkaraya

Dalam perangkat hukum adat masyarakat Dayak, jabatan Damang Kepala Adat menempati posisi yang sangat penting. Damang Kepala Adat sendiri merupakan pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu wilayah adat.

Pengangkatan Damang Kepala Adat didasarkan pada hasil pemilihan oleh para Kepala Desa/Lurah, para Ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakat Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, dan para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan di wilayah Kedamangan tersebut.

Pentingnya jabatan Damang Kepala Adat dalam tatanan hukum adat Dayak, tergambar dari fungsi, tugas dan kewenangan yang diembannya. 

Selain bertugas dalam menegakkan hukum adat Dayak, Damang Kepala Adat juga diberikan fungsi sebagai juru damai.

Berdasarkan Pasal 8 huruf c dan huruf d Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, Damang Kepala Adat sebagai juru damai bertugas:

  1. Menyelesaikan perselisihan dan/atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku;
  2. Berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai, jika terdapat perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya;

Pada Pasal selanjutnya, guna mengukuhkan posisi sebagai juru damai, Damang Kepala Adat juga berfungsi sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat berdasarkan hukum adat.

Berkenaan dengan posisinya sebagai juru damai, Damang Kepala Adat diwajibkan untuk: (vide Pasal 10 ayat 2 Perda tersebut)

  1. Ikut memelihara stabilitas daerah dan nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama Pemerintah Kecamatan dan desa/kelurahan dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis;
  2. Ikut menciptakan suasana yang tetap dapat menjamin terpeliharanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat di wilayahnya;
  3. Selalu mengingatkan dan mendorong agar seluruh warga masyarakat adat Dayak ikut bertanggung jawab dalam menjaga, melestarikan, mengembangkan dan membudayakan falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat”.

Budaya Huma Betang dan Belom Bahadat

Masyarakat adat Dayak memiliki falsafah hidup Budaya Huma Betang dan Belom Bahadat. Huma Betang secara harfiah bermakna Rumah Betang, yaitu rumah khas adat Dayak. 

Bagi masyarakat Dayak, Huma Betang lebih dari sekedar tempat tinggal, karena Huma Betang juga mencerminkan simbol kerukunan, kebersamaan dan nilai-nilai luhur seperti musyawarah, mufakat dan kesetaraan, sebagaimana Huma Betang itu sendiri yang dirancang menjadi tempat tinggal bagi banyak anggota keluarga di dalam satu atap.

Budaya Huma Betang secara filosofis dan sosiologis mencerminkan nilai kehidupan kolektif, gotong royong, dan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang kuat bagi penghuninya. 

Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, Huma Betang juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah dan menjaga harmoni sosial.

Demikian juga, Budaya Huma Betang, masyarakat adat Dayak juga memegang erat falsafah Belom Bahadat. Belom berarti hidup, sedangkan Bahadat memiliki makna beradat atau taat norma hukum, tata karma, dan sopan santun. Masyarakat Dayak sudah diajari Belom Bahadat sejak mereka kecil.

Bagi masyarakat Dayak, Belom Bahadat adalah pedoman dalam menjalani hidup. Implementasi Belom Bahadat tercermin dari cara berpikir, bertingkah laku, dan bertutur kata. 

Bagi yang melanggar prinsip-prinsip Belom Bahadat, maka akan dikenakan sanksi sosial yang berat dan dicap sebagai “dia bahadat” (orang yang tidak beradat).

Penerapan Belom Bahadat Dalam Kehidupan Masyarakat Adat Dayak

Implementasi falsafah Belom Bahadat bagi masyarakat Dayak, tergambar pada ketaatan mereka terhadap norma hukum, tata karma, dan sopan santun. Norma hukum disini mencakup hukum Negara, hukum adat, dan hukum alam.

Contoh implementasi falsafah belom bahadat di bidang perkawinan terwujud pada adanya pelaksanaan perkawinan secara adat, mencakup perceraian secara adat.

Dalam konsep belom bahadat, sesuatu yang dimulai secara baik-baik dengan adat, maka untuk mengakhirinya juga harus secara baik-baik dengan adat. Hal ini juga berlaku untuk perkawinan dan perceraian. 

Apabila seseorang yang merupakan masyarakat Dayak telah menikah secara adat, maka untuk perceraiannya pun harus menempuh tata cara hukum adat pula. 

Terdapat konsekuensi bagi masyarakat Dayak yang telah menikah secara adat, namun ketika bercerai tidak menempuh tata cara hukum adat.

Dalam pelaksanaan perceraian secara adat oleh masyarakat Dayak, Damang Kepala Adat berkewajiban terlebih dahulu mendamaikan pasangan suami istri tersebut. Jika upaya damai ini tidak berhasil, baru persidangan adat dilanjutkan ke pemeriksaan hingga berakhir dengan dikeluarkannya surat keterangan perceraian secara adat oleh Damang Kepala Adat.

Masyarakat Dayak yang telah bercerai secara adat, pada umumnya bercerai secara baik-baik, karena dalam proses persidangan adat telah didamaikan oleh Damang Kepala Adat. Perdamaian tersebut, tetap terjalin meskipun pada akhirnya terjadi perceraian.

Kondisi ini menemui persoalan, ketika perceraian secara adat telah ditempuh, hubungan mantan suami dan mantan istri telah kembali terjalin dengan baik, kemudian harus mengajukan gugatan perceraian kembali di Pengadilan. 

Hukum acara di Pengadilan yang mengharuskan adanya proses sanggah menyanggah/jawab menjawab (op tegenspraak) rentan meretakkan kembali hubungan pertemanan yang sebelumnya telah terjalin pada sidang adat.

Maka yang sering terjadi adalah cipta kondisi dimana persidangan dilaksanakan secara verstek yang hanya dihadiri satu pihak, dan dihindari oleh pihak lainnya, untuk mencegah rusaknya perdamaian pasca sidang adat.

Kondisi ini harus segera ditemukan solusinya, agar perdamaian yang telah diupayakan oleh Damang Kepala Adat tidak menjadi sia-sia, khususnya dalam bidang hukum perceraian masyarakat adat Dayak.

Lebih luas lagi, hasil kerja Damang Kepala Adat sebagai juru damai di masyarakat adat Dayak, perlu mendapatkan pengakuan secara hukum, agar terjadi integrasi antara hukum positif dan hukum adat, khususnya hukum adat Dayak. 

Sebab bagi masyarakat Dayak yang memegang teguh falsafah Belom Bahadat, secara sosiologis acap kali perdamaian dari juru damai Damang Kepala Adat lebih mereka patuhi dibanding yang selainnya.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews