Belakangan ini, kita semakin akrab dengan fenomena siaran langsung persidangan. Beberapa kasus penting ditayangkan secara daring, bahkan menjadi trending topic di media sosial. Transparansi menjadi alasan utama. Namun, apakah semua harus disiarkan secara terbuka? Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara keterbukaan informasi dan martabat peradilan.
Pasal 13 huruf a UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan asas persidangan yang terbuka untuk umum. Namun, ada kalanya demi menjaga ketertiban atau perlindungan terhadap korban, persidangan dapat dinyatakan tertutup.
Sementara itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran MA No. 4 Tahun 2012 telah memberi panduan tentang perekaman proses persidangan. Namun, surat edaran tersebut kini perlu dikaji ulang. Di era digital dan media sosial yang berkembang pesat, aturan lama mungkin tak lagi memadai untuk menjawab tantangan terkini.
Mahkamah Agung sebagai garda terdepan dalam menjaga martabat peradilan harus terus memperbarui kebijakan yang relevan. Siaran langsung persidangan memang dapat memperkuat transparansi, tetapi juga berisiko mengganggu independensi hakim dan tekanan publik. Dalam situasi ini, integritas dan etika yudisial menjadi kompas utama.
Para hakim dituntut untuk bersikap adil, tak tergoda sorotan kamera atau opini viral. Perlu dikembangkan kebijakan teknis agar proses siaran langsung memiliki batas yang jelas: misalnya hanya tahap pembacaan putusan, atau disesuaikan dengan kepentingan publik tanpa mengorbankan hak para pihak.
Solusinya bukan menolak teknologi, melainkan mengelolanya secara bijak. Mahkamah Agung dapat menyusun pedoman teknis baru yang lebih relevan dengan kondisi saat ini, dan membekali hakim dengan pelatihan etika di era digital.
Transparansi adalah bagian dari keadilan. Tetapi menjaga martabat lembaga peradilan juga tak kalah penting. Keduanya harus berjalan beriringan.