Pada acara Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024, 18 Februari 2025 yang lalu, Presiden Prabowo Subianto memberikan penghormatan ‘salute’ kepada Para Hakim.
Bukan saja, dikarenakan dirinya menyadari betapa pentingnya kekuasaan kehakiman untuk menjadikan suatu negara menjadi kuat atau gagal, tetapi juga ditujukan sebagai apresiasinya terhadap para Hakim, yang selama ini memikul beban berat dalam menegakkan hukum dan keadilan di tengah keterbatasannya.
Tidak sekedar penghormatan belaka, Presiden juga berjanji akan memperbaiki kualitas hidup para Hakim. Bahkan secara spontan di tengah-tengah sambutannya Presiden langsung mencari Menteri Keuangan.
Keesokan harinya Presiden kemudian mengundang para Hakim ke Istana Negara. Menurut pemberitaan luas di media massa dalam pertemuan Presiden dengan para Hakim di Istana Negara, 19 Februari 2025, Presiden meminta para Hakim untuk mendukung (back up) kebijakan-kebijakannya yang akan mengambil tindakan tegas terkait penguasaan sumber daya alam yang merugikan masyarakat.
Permintaan Presiden ini sontak saja mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Menurut pendapat yang berseberangan, sikap Presiden merupakan bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang semestinya steril dari campur tangan apapun. Presiden dianggap telah menciderai prinsip checks and balances dan merusak sistem ketatanegaraan.
Alih-alih memproteksinya, Presiden disinyalir malah menjadikan kekuasaan kehakiman di bawah kendalinya.
Bayangkan saja apa yang dapat dibuat lembaga peradilan saat ini. Segala produk peraturan perundang-undangan beserta produk turunannya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Hasil pemilihan umum yang sudah memakan waktu, energi, dan biaya sangat besar, seketika dapat dibalikkan oleh suara mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi. Konsesi-konsesi pertambangan, perkebunan dan kehutanan dapat dengan mudah dianulir oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Investasi perbankan syariah, yang bernilai triliunan rupiah dapat lari begitu saja, dikarenakan putusan Hakim peradilan agama. Belum lagi apa yang dapat dibuat oleh Hakim peradilan umum, dari maling sandal sampai dengan kekayaan negara, dari sengketa pagar tetangga sampai dengan pagar laut, semuanya ditentukan oleh peradilan umum.
Begitu juga, peranan peradilan militer yang tidak dapat dikesampingkan sebagai salah satu komponen sistem pertahanan negara.
Menelusuri sejarah pemerintahan di Indonesia, dapat dibuktikan kekuasaan eksekutif acapkali berusaha untuk mengakuisisi kekuasaan kehakiman untuk senantiasa berada di bawah kendalinya. Paling tidak fakta empiris menunjukkan demikian.
Pada masa pemerintahan orde lama, tepatnya pada Kabinet Dwikora I tahun 1964, Presiden Soekarno memasukkan Mahkamah Agung menjadi bagian dari anggota kabinet. Jabatan Ketua Mahkamah Agung disebut sebagai “Ketua/Menteri Mahkamah Agung”.
Hal ini, kemudian dijustifikasi oleh Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yang membolehkan Presiden mencampuri urusan pengadilan.
Keinginan menguasai lembaga yudikatif, terus berlanjut pada era orde baru. Melalui Undang-undang Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung dibelenggu dari sisi organisasi, administrasi, dan finansialnya dengan ditempatkan di bawah departemen yang dikepalai oleh seorang Menteri.
Pasca-berakhirnya kekuasaan orde baru yang ditandai dengan kejatuhan Presiden Soeharto banyak lahir Undang-undang baru yang mengusung tema demokratisasi dan pembatasan kekuasaan.
Kekuasaan yang semula didominasi oleh Presiden (executive heavy), dikembalikan ke posisi idealnya.
Salah satu produk yang dihasilkan dari semangat itu, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, yang menentukan persoalan organisasi, administrasi, dan keuangan Mahkamah Agung lansung berada di dalam naungan Mahkamah Agung itu sendiri.
Hanya saja sampai dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lembaga yudikatif masih belum sepenuhnya mandiri.
Anggaran Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi masih tergantung dengan kebijaksanaan Presiden selaku regulator sekaligus pemegang kunci perbendaharaan negara.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan dari apapun merupakan prinsip fundamental yang harus dipegang teguh oleh negara-negara demokratis, yang menjadikan hukum sebagai pedomannya (rule of law).
Tanpa itu, lembaga yudikatif tidak lebih hanyalah lembaga stempel untuk membenarkan segala keinginan dan tindakan dari penguasa. Kekuasaan kehakiman tidak lagi menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, melainkan menjadi tukang pukul penguasa (body guard of the King).
Hal tersebut, sama saja mundur ke belakang, mundur beberapa abad, ketika titah sang Raja yang menjadi hukum tertinggi (rule of man).
Lembaga peradilan mesti diisolir atau dipisahkan dari kekuaasan-kekuasan lainnya. Montesqieu menyatakan “there is no liberty, if the power of judging be not separated from the executive and legislative powers”, sehingga lembaga peradilan harus diproteksi dari segala macam campur tangan yang dapat mempengaruhinya.
Bukan malah disubordinasi atau dijadikan proxy oleh cabang kekuasaan lain.
Kekuasaan kehakiman mempunyai kedudukan yang setara dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Cabang-cabang kekuasaan yang satu, tidak boleh mendominasi cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Relasi yang timbul diantaranya bersifat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), supaya cabang-cabang kekuasaan tersebut tidak melenceng dari koridor yang telah ditentukan dalam melaksanakan fungsinya.
Pentingnya kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan jaminan bagi setiap individu dan kelompok untuk diperlakukan secara adil.
Pihak yang bersalah dihukum, pihak yang merugikan harus mengganti kerugian, dan setiap pelanggaran dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Tidak peduli si kaya atau si miskin, yang kuat atau yang lemah, rakyat atau penguasa, semuanya dijamin untuk diperlakukan secara adil. Adanya intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, sama saja akan menggerogoti jaminan keadilan tersebut.
Neraca keadilan menjadi timpang, berat sebelah, condong memihak kepada mereka-mereka yang berkuasa. Untuk itu demi tegaknya hukum dan keadilan maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan harga mati yang harus dijaga oleh segenap pihak.
Dalam konteks pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan para Hakim di Istana Negara, jikapun terdapat permintaan dari Presiden terhadap para Hakim untuk mem-back up kebijakan-kebijakannya, hal itu tidaklah selalu diartikan sebagai intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap kekuaasaan yudikatif.
Sepanjang Presiden tidak secara spesifik ‘memesan’ perkara, maka ajakan tersebut dapat juga diartikan sebagai ajakan kepada para Hakim untuk mempersamakan persepsi dalam penegakkan hukum.
Presiden yang juga selaku kepala negara ingin menghimpun dan mengintegrasikan derap langkah semua komponen cabang-cabang kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan.
Meskipun relasi antara cabang-cabang kekuasaan bersifat saling mengawasi dan mengimbangi, namum hal tersebut bukan berarti larangan untuk bekerja sama satu sama lainnya.
Justru dalam kerangka konstitusi, cabang-cabang kekuasaan tersebut haruslah bahu-membahu dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kekuasaan eksekutif mustahil dapat menjalankan agenda-agendanya dengan baik, tanpa adanya dukungan dari kekuasan kehakiman.
Sebaliknya, sekalipun kekuasaan kehakiman wajib steril dari campur tangan apapun, kekuasaan kehakiman tidak dapat berjalan sendiri.
Kekuasaan kehakiman mesti membuka mata dan mendengarkan agenda-agenda yang diusung cabang-cabang kekuasaan lainnya tanpa harus selalu setuju dengannya.
Tanpa adanya kesepahaman dan keterpaduan antara cabang-cabang maka mustahil sebuah bangsa dapat mewujudkan cita-cita bersamanya.