Bahwa jual beli suatu benda, terkualifikasi dalam perjanjian atau kontrak antara pembeli dan penjual, dimana penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan benda yang dijualnya dan pembeli membayar harga benda, sebagaimana diperjanjikan, sesuai ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata.
Adapun proses jual beli, telah terjadi, bilamana antara penjual dan pembeli telah sepakat untuk jual beli benda dan menetapkan harga benda dimaksud, walaupun benda, belum diserahkan kepada pembeli dan belum dibayar harga benda tersebut, kepada penjual, sebagaimana Pasal 1458 KUHPerdata.
Maka, dapat ditarik kesimpulan jual beli, yang bagian dari perjanjian, di mana wajib memenuhi syarat sah perjanjian, baik dalam konteks subjek dan objeknya, sebagaimana tertuang di Pasal 1320 KUHPerdata. Adapun syarat subjek, dalam perjanjian antara lain para pihak sepakat mengikatkan diri dan cakap membuat perjanjian. Sedangkan syarat objektif, adanya suatu hal atau objek perjanjian dan berlandasarkan suatu sebab halal atau perjanjian diperbolehkan menurut hukum.
Berdasarkan syarat perjanjian tersebut, di mana adanya larangan melakukan jual beli terhadap benda hasil pencurian. Namun, bagi pembeli yang tidak mengetahui riwayat benda dimaksud, termasuk mengenai cacat cela, seperti hasil pencurian, di mana mendapatkan perlindungan hukum, sebagai pembeli beriktikad baik, sesuai ketentuan Pasal 531 KUHPerdata.
Dalam ranah hukum perdata, dua isu seringkali menjadi sorotan: iktikad baik pembeli dan status benda hasil curian dalam transaksi jual beli. Bagaimana hukum memandangnya? Mari kita bedah lebih lanjut.
Menurut Prof. Subekti (Anek Perjanjian, 2014), iktikad baik pembeli dapat diartikan sebagai kondisi di mana pembeli tidak menyadari atau tidak mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan penjual yang sebenarnya bukan pemilik sah benda objek jual beli.
Secara khusus, dalam konteksi jual beli tanah, kualifikasi pembeli beriktikad baik telah diperjelas melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016. SEMA ini menekankan bahwa pembeli dianggap beriktikad baik jika:
- Melakukan jual beli tanah sesuai dengan tata cara dan prosedur yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Menunjukkan ketelitian dengan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, seperti status kepemilikan, riwayat tanah, dan potensi sengketa.
Lantas, bagaimana jika benda yang diperjualbelikan ternyata merupakan hasil tindak pidana pencurian? Apakah Majelis Hakim Perdata wajib menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap untuk menentukan status benda tersebut?
Permasalahan ini kerap menimbulkan dilema. Untuk menjawabnya, akan diuraikan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang memberikan panduan mengenai kapan waktu yang tepat untuk menentukan, apakah suatu benda yang diperjualbelikan merupakan hasil pencurian atau bukan, tanpa harus terikat pada proses pidana yang sedang berjalan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) telah menegaskan posisinya terkait pembuktian benda hasil curian dalam konteks jual beli melalui Putusan Nomor 60 K/SIP/1960. Putusan bersejarah ini, diputus pada 2 Maret 1960 oleh Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Mr. R. Wirjono Prodjodikoro (Ketua Majelis), serta Mr. R. Soekardono dan Mr. R. Subekti (masing-masing sebagai anggota), memberikan kejelasan penting.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan, untuk membuktikan suatu benda yang menjadi objek perjanjian jual beli berasal dari tindak pidana pencurian, tidak wajib secara mutlak untuk menunggu adanya putusan hakim pidana mengenai pencurian tersebut. Sebaliknya, bukti-bukti yang terungkap dan cukup meyakinkan dalam perkara perdata itu sendiri sudah memadai untuk menentukan status benda tersebut.
Ini berarti, pihak yang merasa dirugikan atau ingin membatalkan transaksi jual beli atas dasar objeknya merupakan hasil curian, dapat mengajukan gugatan perdata tanpa harus menunggu proses pidana tuntas. Keputusan ini memberikan efisiensi hukum dan perlindungan lebih cepat bagi pihak yang dirugikan, serta memperjelas landasan hukum dalam penyelesaian sengketa perdata terkait barang hasil kejahatan.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 60 K/SIP/1960 telah ditetapkan menjadi Yurisprudensi dalam PERSAHI pada 1962 dan dikompilasi dalam buku Yurisprudensi Aneka Perjanjian, karya Chidir Ali.
Semoga, dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya akademisi, praktisi hukum lainnya dan mahasiswa fakultas hukum.