Pemenuhan atas hak lingkungan hidup merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945, yang menegaskan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Jimly Asshiddiqie (2009) menyebut ketentuan dalam konstitusi tersebut sebagai “Konstitusi Hijau” (Green Constitution). Namun realitasnya, kebijakan dan tindakan administrasi pemerintah (bestuurshandelingen; administrative action) sering kali justru menjadi sumber permasalahan lingkungan hidup.
Penerbitan izin usaha, persetujuan teknis terkait pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, persetujuan lingkungan, persetujuan pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah, dll, kerap berimplikasi pada kerusakan ekosistem, pencemaran, dan konflik vertikal dengan masyarakat hukum adat.
Dalam konteks inilah, Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) memegang peran strategis. Melalui mekanisme yudisial di Peratun, perorangan, perwakilan kelompok, masyarakat hukum adat, maupun organisasi lingkungan dapat menguji keabsahan keputusan administrasi (administrative decision) maupun tindakan faktual (real action) pejabat pemerintahan yang berdampak pada lingkungan hidup.
Namun, Peratun menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan pemulihan lingkungan dan keadilan iklim.
Artikel ini menguraikan dinamika dan tantangan tersebut, serta refleksi dan arah perbaikan.
Sengketa TUN dalam Konteks Lingkungan Hidup
Perubahan iklim dan krisis lingkungan hidup menjadi persoalan kontemporer dalam dekade terakhir. Isu tersebut merupakan tantangan global yang saling terkait dan mendesak untuk segera diatasi.
Keduanya berakar pada aktivitas manusia, khususnya penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Dampaknya tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga kelangsungan hidup umat manusia. (Abdilllah, dkk, 2024).
Karena itu, sengketa lingkungan hidup kerap diajukan ke Peratun untuk mewujudkan keadilan lingkungan (environmental justice).
Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) di bidang lingkungan hidup biasanya timbul akibat keputusan atau tindakan faktual pejabat pemerintah yang dianggap melanggar hukum (baik peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik) atau merugikan hak asasi manusia.
Beberapa contoh umum seperti penerbitan persetujuan lingkungan atau izin usaha kepada perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan, pembiaran terhadap pelanggaran lingkungan karena keputusan pejabat pemerintahan yang tidak melaksanakan kewajiban pengawasan, dll.
Melalui mekanisme yudisial di Peratun, pihak yang berkepentingan dapat menggugat agar keputusan/tindakan tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah di mana pedoman hukum acaranya telah dipertegas dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Dengan begitu, Peratun seharusnya berperan sebagai benteng hukum bagi masyarakat dalam melindungi lingkungan dari tindakan administratif yang sewenang-wenang dan cacat yuridis (juridische gebreken).
Pemulihan Lingkungan dan Keadilan Iklim dalam Sengketa TUN
Perbedaan utama sengketa TUN dengan sengketa perdata atau pidana lingkungan adalah fokusnya pada tindakan administratif (baik keputusan/tindakan). Artinya, jika keputusan izin usaha, paksaan pemerintah (bestuursdwang) atau persetujuan lingkungan dibatalkan oleh pengadilan, maka secara hukum aktivitas yang merusak lingkungan menjadi tidak sah (onrechtmatig).
Hal ini memiliki implikasi penting dalam pemulihan lingkungan. Namun, terdapat beberapa tantangan mendasar seperti putusan Peratun kerap kali hanya membatalkan atau menyatakan tidak sah suatu tindakan administrasi. Putusan tersebut belum tentu serta-merta mewajibkan tindakan pemulihan ekologis (rehabilitasi lingkungan).
Salah satu putusan yang berani mewajibkan pejabat pemerintahan untuk melakukan pemulihan ekologis di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan menurut Penulis adalah putusan perkara No. 36/G/TF/2022/PTUN.PBR.
Putusan tersebut menegaskan dalam diktumnya yaitu mewajibkan tergugat untuk menegakkan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan menghentikan pemanfaatan lahan di Taman Nasional Tesso Nilo seluas ±1.200 hektar, serta menanggung biaya pemulihan lingkungan dan reboisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Putusan Kasasi dalam perkara tersebut memperbaiki amar putusan sehingga amar rehabilitasi menjadi “Mewajibkan Tergugat I dan Tergugat III melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) khususnya terhadap areal yang terdapat perkebunan kelapa sawit seluas +/- 1.200 (seribu dua ratus) hektar beserta sarana penunjangnya, dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan/atau tindakan penegakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dihubungkan dengan isu iklim-keputusan maupun tindakan faktual di bidang lingkungan hidup meskipun berdampak besar pada emisi karbon dan krisis iklim, sering kali tidak dievaluasi dari perspektif keadilan iklim (climate justice).
Kesenjangan antara pembatalan keputusan/tindakan dan pemulihan nyata-meskipun keputusan/tindakan dibatalkan, dicabut dan dinyatakan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad), kerusakan lingkungan yang telah terjadi sering tidak otomatis dapat dipulihkan.
Dengan demikian, meskipun Peratun membuka ruang kontrol yuridis terhadap segala tindakan administrasi, tantangan besar masih ada dalam memastikan keadilan substantif (substantive justice) bagi lingkungan, masyarakat, dan generasi yang akan datang (intergenerational equity).
Tantangan Utama dalam Penanganan Sengketa TUN Lingkungan
1. Batasan Legal Standing Penggugat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahannya (UU Peratun) memberikan batasan bahwa yang dapat mengajukan gugatan adalah pihak yang dirugikan langsung oleh Keputusan TUN.
Meskipun ada perkembangan melalui actio popularis (baik gugatan class action maupun citizen lawsuit) dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PERMA Nomor 1 Tahun 2023 yang memungkinkan organisasi lingkungan hidup menggugat, implementasinya di Peratun masih menghadapi kendala. Seyogianya batasan dan perluasan legal standing dalam sengketa lingkungan hidup ke depannya dipertegas dalam amandemen UU Peratun.
2. Pembuktian Kaitan antara Tindakan Administrasi dan Kerusakan Lingkungan
Salah satu tantangan krusial adalah membuktikan bahwa kerusakan ekologis merupakan akibat langsung dari tindakan administratif. Hal ini sering kali memerlukan analisis ilmiah mendalam (scientific evidende), sementara kapasitas intelektual hakim Peratun masih terbatas tentang pembuktian dalam sengketa lingkungan terlebih kerap kali adanya ketidakpastian ilmiah dalam perkara lingkungan hidup (environmental disputes).
3. Putusan yang Bersifat Keadilan Formal
Hakim Peratun cenderung fokus pada aspek prosedural, seperti apakah keputusan/tindakan di bidang lingkungan hidup diterbitkan sesuai prosedur, apakah syarat formal terpenuhi, dan sebagainya. Sementara substansi dampak lingkungan atau aspek keadilan iklim sering tidak menjadi pertimbangan utama.
Akibatnya, putusan Peratun kadang kehilangan esensi perlindungan lingkungan. Dengan kata lain tidak menggali keadilan substantif dan berpegang pada prinsip in dubio pro natura (jika ada keraguan atau ketidakpastian, putusan harus diambil dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan secara maksimal).
4. Eksekusi Putusan yang Belum Optimal
Meskipun ada putusan Peratun yang membatalkan keputusan atau tindakan faktual di bidang lingkungan hidup yang telah berkekuatan hukum tetap, pelaksanaannya di internal pemerintahan sering tidak efektif.
Ada kalanya pejabat pemerintahan enggan menindaklanjuti secara sukarela putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum tetap. Lemahnya tingkat kepatuhan pejabat pemerintahan (self-obedience) ini membuat putusan kehilangan daya guna.
5. Minimnya Integrasi Prinsip Keadilan Iklim
Peratun di Indonesia belum sepenuhnya memasukkan isu perubahan iklim ke dalam analisis hukum. Misalnya, pembatalan izin tambang batubara jarang dipertimbangkan dari perspektif kontribusinya terhadap emisi karbon atau dampaknya bagi masyarakat adat yang paling rentan terhadap krisis iklim.
Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan bagi Hakim Peratun dalam menangani sengketa lingkungan hidup perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, mengingat isu lingkungan hidup berkembang dinamis dan progresif.
6. Keterbatasan Partisipasi Publik dalam Proses Perizinan
Banyak tindakan administrasi di bidang lingkungan dibuat tanpa partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat. Akibatnya, gugatan di Peratun sering diajukan setelah kerusakan lingkungan terjadi. Seandainya partisipasi diperkuat sejak awal, sengketa lingkungan hidup bisa diminimalisir.
Refleksi dan Arah Perbaikan
Untuk memperkuat peran Peratun dalam pemulihan lingkungan dan keadilan iklim, sejumlah langkah penting perlu ditempuh seperti pertama, perluasan pemaknaan legal standing. Hakim Peratun harus lebih progresif dalam menafsirkan kepentingan hukum, termasuk memberi ruang bagi organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat untuk menggugat. Prinsip actio popularis perlu diinternalisasi lebih kuat di Peratun.
Kedua, peningkatan kapasitas hakim dan aparatur peradilan. Hakim Peratun memerlukan pemahaman lebih mendalam dan holistik tentang sains lingkungan, ekologi, dan isu perubahan iklim.
Dengan begitu, putusan tidak hanya bersifat memenuhi keadilan prosedural, tetapi juga substantif dalam melindungi lingkungan untuk mewujudkan keadilan antar-generasi (intergenerational equity).
Ketiga, negara harus menjamin bahwa putusan Peratun benar-benar dijalankan. Mekanisme pengawasan independen atau sanksi administratif terhadap pejabat yang lalai dapat diperkuat.
Keempat, integrasi prinsip keadilan iklim. Setiap sengketa TUN lingkungan seharusnya dianalisis dari perspektif keadilan iklim: siapa yang paling dirugikan, bagaimana dampaknya terhadap emisi karbon, dan apa implikasinya bagi generasi mendatang. Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainabåle development).
Kelima, mendorong partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam setiap pengambilan kebijakan di bidang lingkungan hidup. Transparansi dan partisipasi bermakna harus menjadi parameter dalam setiap tindakan administratif terkait lingkungan hidup.
Dengan melibatkan masyarakat sejak awal, persoalan lingkungan hidup dimitigasi secara holistik dan partisipatif sehingga sengketa di Peratun bisa menjadi instrumen yuridis terakhir (the last resort).
Penutup
Sengketa TUN di bidang lingkungan hidup menjadi sarana penting untuk menguji keabsahan tindakan administrasi yang memengaruhi kelestarian ekosistem, kehidupan masyarakat, dan generasi mendatang.
Namun, tantangan besar masih ada dalam memastikan bahwa putusan Peratun tidak berhenti pada keadilan formal, melainkan berkontribusi nyata pada pemulihan lingkungan dan penegakan keadilan iklim (substantive justice atau broad sense).
Dalam menghadapi krisis iklim global, Peratun tidak cukup menjadi penjaga prosedur administrasi, tetapi harus berperan sebagai instrumen keadilan substantif yang melindungi hak masyarakat atas lingkungan yang sehat serta hak generasi mendatang untuk hidup di bumi yang lestari.
Dengan memperkuat kapasitas peradilan, memperluas akses keadilan, dan mengintegrasikan prinsip keadilan iklim, Peratun dapat menjadi garda terdepan dalam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Tantangan ini besar, tetapi tidak terelakkan bagi bangsa yang berkomitmen menanggapi krisis lingkungan dan iklim secara adil dan berkelanjutan.