Muhayah: Dari Ambon ke Medan Merdeka Utara

Profil Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H., Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung RI.
Muhayah setelah dilantik sebagai Hakim Agung oleh ketua Mahkamah Agung. dokumentasi Humas MA
Muhayah setelah dilantik sebagai Hakim Agung oleh ketua Mahkamah Agung. dokumentasi Humas MA

Nama lengkapnya sesingkat perawakannya yang mungil: Muhayah. Lahir di Pandeglang, Banten, pada 5 Juli 1963, Muhayah merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Perempuan penyuka ikan itu tumbuh di keluarga pendidik yang disiplin, terutama dalam urusan ibadah.

“Apalagi salat dan mengaji, Ayah saya keras sekali,” tuturnya.

Seluruh pendidikan formalnya ia tempuh di Pandeglang,

  • SD Sindanglaya (1975)
  • MTs MA Cimanying Menes (1979)
  • MA Mathla’ul Anwar Pusat Menes (1982)

Sejak kecil hingga remaja, ia tak pernah membayangkan akan menjadi hakim. Baginya profesi tersebut berat dan penuh risiko. Hakim harus menyelesaikan masalah banyak orang, ia tidak yakin mampu untuk itu.

Muhayah kecil justru ingin menjadi guru, profesi yang akrab dalam kesehariannya, karena memang mayoritas profesi keluarganya guru.

Perkenalannya dengan dunia hukum dimulai dari saat ia kuliah di Fakultas Syariah di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Seorang dosen, Bisman Siregar, yang juga seorang hakim saat mengajar menarik perhatian Muhayah. 

Penjelasan sang dosen tentang profesi pengadil membekas kuat dalam ingatannya, terlebih saat Muhayah melaksanakan praktik lapangan di pengadilan agama dan melihat langsung bagaimana hakim bekerja.

Gaji Tiga Puluh Ribu dan Pelajaran Syukur

Selepas kuliah, sesuai cita-cita awalnya, ia mengajar dan menjadi asisten dosen. Lalu, ketika Kementerian Agama membuka pendaftaran calon hakim, ia mendaftar dan lulus. Ia Bahagia.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Penempatannya ternyata jauh dari bayangan: Pengadilan Agama Ambon. Ibunya menolak dan memintanya membatalkan niat menjadi hakim karena tak tega membayangkan putrinya bertugas jauh di wilayah timur.

Sang ayah justru bersikap sebaliknya. “Semua bumi Allah. Kalau niatmu lurus, Allah pasti jaga.” Begitu kata sang Ayah. Kalimat itu meneguhkan Langkah Muhayah untuk melanjutkan keinginannya menjadi hakim, meski harus bertugas jauh dari kota kelahirannya.

Akhirnya, dengan keteguhan hati dan keyakinan akan pertolongan Allah, Muhayah melanjutkan keinginannya menjadi pengadil.

Ambon menyambutnya dengan laut biru, budaya yang berbeda namun hangat, serta tantangan yang tidak mudah.

Pada 1989, ia diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan Agama Ambon. Gaji bulanannya saat itu Rp30 ribu per bulan. 

Gaji tersebut, saat itu bahkan tidak cukup untuk sewa kos. Untuk itu, Muhayah gadis meskipun sudah bekerja, tetap mendapat amunisi dari keluarganya di Pandeglang, seperti kiriman uang, makanan, dan pakaian untuk menjadi penyambung hidup.

Berjalannya waktu, saat bertugas di PA Ambon, ia mulai berkenalan dengan warga sekitar. Meskipun berbeda agama, mereka dekat dan baik.

“Seperti keluarga jadinya,” terang Muhayah.

Ia pun diminta mengajar anak-anak dari lingkungan sekitar yang muslim. Ia tak pernah meminta bayaran, tapi selalu ada rezeki yang datang. “Alhamdulillah cukup. Pasti cukup,” katanya. 

Prinsipnya sederhana: la-in syakartum la-azidannakum, siapa yang bersyukur pasti ditambah.

Ambon Kota Cinta

Muhayah adalah salah satu perempuan yang ditempatkan di wilayah timur ketika itu. Meski menghadapi perbedaan agama, budaya, dan karakter masyarakat, keyakinannya membuat ia mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Karena tubuhnya mungil dan tidak terlihat saat menjalankan tugasnya sebagai hakim, rekan-rekannya membuatkan kursi khusus, kursi biasa dengan bantalan tinggi agar ia terlihat di meja sidang.

“Kreativitas mereka. Baik-baik sekali kepada saya,” kenangnya sambil tersenyum.

Ia bertugas di Ambon hampir sepuluh tahun (Calon Hakim 1989–1992, Hakim 1992–2000). Ambon bukan hanya memberinya pengalaman dan kedewasaan, tetapi juga mempertemukannya dengan cintanya, lelaki yang kelak menjadi suami dan ayah dari anak-anaknya.

Kerusuhan 1999 dan Hikmahnya

Saat kerusuhan Ambon 1999 pecah, ia menyaksikan langsung teriakan, kobaran api, dan ketakutan yang menyelimuti kota. 

Peristiwa itu menjadi penyebab pemindahan dirinya dan suami: suaminya ke Kementerian Agama Pusat, dan Muhayah ke PA Pandeglang (2000–2002). Muhayah menyebutnya sebagai hikmah yang Allah berikan kepadanya dan suami.

Lalu, dari Pandeglang, langkahnya berlanjut ke berbagai kota besar, ke berbagai amanah baru. Semua dijalaninya dengan penuh syukur, kinerja yang baik, dan niat ikhlas berbakti untuk negeri.

  • Jakarta Barat – Hakim (2002–2008)
  • Jakarta Selatan – Hakim (2008–2011)
  • Tigaraksa – Wakil Ketua PA (2012–2015)
  • Tangerang – Ketua PA (2015–2018)
  • Jakarta Barat – Ketua PA (2018–2020)
  • Samarinda – Hakim Tinggi PTA (2020–2021)
  • Banten – Hakim Tinggi PTA (2021–2022)
  • Kupang – Wakil Ketua PTA (2022–2023)
  • Samarinda – Wakil Ketua PTA (2023–2025)
  • Surabaya – Wakil Ketua PTA (2025–sekarang)

Semua proses tersebut ia tapaki dengan tenang. “Kalau ambisi, nanti kalau gagal bisa sakit hati,” ujarnya. Ia percaya: jika baik untuk dirinya, Allah akan berikan; jika belum, ada kebaikan yang disimpan.

Keyakinan itu diuji ketika beberapa kesempatan ia mengikuti fit and proper test pimpinan pengadilan.

“Saya tidak pernah punya perasaan lebih baik dari siapapun, dan memang itu tidak boleh, karena bisa mengotori hati,” ujarnya mengenang masa-masa ia melaksanakan seluruh proses fit and proper test pimpinan pengadilan.

Makanya, ketika dia tidak lulus ujian, ia tidak merasa sakit hati atau cemburu kepada yang lain.

“Punya cita-cita itu harus tinggi, usaha harus maksimal, doa harus tidak putus, kalau semua sudah dijalankan sesuai koridornya, pasti ikhlas jadinya, enak, tidak perlu kecewa,” katanya.  

Pengalaman yang sama juga ia lakukan pada saat ia mengikuti seleksi Hakim Agung dua kali, dan gagal dua-duanya. Rekan-rekannya menguatkan, memintanya tidak putus asa. 

Ia menjawab dengan tenang: “Saya tidak putus asa,” katanya sambil tersenyum, “Karena saya memang percaya, Allah punya rahasia dalam apapun, termasuk dalam kegagalan yang saya alami,” tambahnya, masih dengan senyuman.

Menjadi hakim agung memang cita-citanya, untuk itu ia mengikuti semua prosesnya dengan baik. Ia juga banyak belajar dan bertanya, menambah referensi, dan tentu saja berdoa yang tidak putus.

Ikhlas, Gagal Dua Kali, lalu ke Medan Merdeka Utara

Tahun 2025 menjadi titik balik. Untuk ketiga kalinya ia mengikuti seleksi Hakim Agung. Proses panjang, kompetisi ketat, dinamika yang tak mudah. Namun kali ini hasilnya berbeda: Muhayah lulus.

Pada 23 Oktober 2025, di Mahkamah Agung RI, ia dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Hakim Agung. Ia tiba di puncak karier setelah 36 tahun perjalanan, dari gaji tiga puluh ribu, dari kursi pendek di Ambon, dari kota ke kota, dari dua kali gagal, hingga akhirnya berhasil pada percobaan ketiga. Kini ia bertugas sebagai Hakim Agung di kantor Mahkamah Agung, jl. Medan Merdeka Utara.

Pelantikan itu menjadi penegasan bahwa integritas, ikhlas, dan kesabaran panjang tidak pernah keliru arah.

Muhayah saat dilantik sebagai Hakim Agung oleh Ketua Mahkamah Agung. Foto : dokumentasi Humas MA

Tiga Dunia: Ibu, Istri, Hakim

Dalam perjalanan panjang itu, ia juga mengemban peran sebagai istri, ibu dari dua anak: Muhammad Zaky Zulfikar (1993) dan Muhammad Risqy Aziz (2000).

Ia menjalankan tugas sebagai istri dan membesarkan anak-anak mereka di tengah perpindahan tugas dari satu kota ke kota lainnya, dari satu tantangan ke tantangan berikutnya.

“Tidak boleh melupakan kodrat sebagai ibu dan istri, semua harus seimbang” katanya.

“Jangan sampai sukses di karir, namun keluarga terbengkalai,” tegasnya.

“Kita bekerja untuk keluarga, pulang untuk keluarga, jangan sampai kita mengecewakan mereka dengan tidak memberikan yang terbaik untuk mereka,” ujarnya.

Kini kedua anaknya telah berkeluarga, memberi ruang bagi Muhayah untuk fokus sebagai pengadil.

Tentang Diskriminasi Gender

Ditanya soal diskriminasi gender, ia hanya tersenyum.

“Mungkin ada, dan kalau mau memilih tersinggung, bisa saja. Tapi saya pilih positif thinking,” tegasnya

“Kita semua punya hak yang sama dalam apapun, seperti hak untuk belajar, bersosialisasi, termasuk mengejar karir,” katanya.

Menurutnya perbedaan gender itu sama dengan perbedaan-perbedaan lain, seperti perbedaan budaya, perbedaan keinginan, dan lain-lain. 

“Dan dalam Islam perbedaan itu rahmat, bukan ancaman, jadi ya memang harus positif thinking,” kata Perempuan yang suka menghabiskan waktu luangnya dengan membaca itu.

Hakim Agung Muhayah saat diwawancara. Foto : Dokumentasi penulis

Pesan untuk Hakim Perempuan

Menurut Muhayah hakim perempuan memiliki peran penting dalam dunia peradilan, terutama dalam perkara perempuan dan anak.

Ia berpesan kepada semua hakim perempuan di Indonesia agar jaga integritas dan biasakan hidup sederhana,“Dekatlah dengan Tuhan, karena semakin dekat dengan Tuhan, akan semakin tinggi integritas. Integritas jika sudah baik, apapun akan menjadi baik, Tuhan yang menjanjikan itu.”

Di akhir percakapan, ia menutup dengan kalimat sederhana namun kuat: “Hidup ini sebentar. Berikan manfaat sebanyak-banyaknya.”

Dari Muhayah, kita belajar bahwa perjalanan hidup tidak diukur dari tinggi tubuh, tetapi dari ketinggian akan kepercayaan kuasa Allah, kekuatan keyakinan akan apapun yang telah digariskan Tuhan itulah yang terbaik dan pasti tidak akan tertukar, serta keteguhan menjaga niat baik dan keikhlasan. Jejaknya terasa seakan memang telah disiapkan sejak awal.