Dilemma Wajib Militer untuk Negara

Swiss, Swedia, Korea Selatan, Singapura, Finlandia, dan Denmark mewajibkan rakyat mereka untuk terlibat dalam tugas bela negara.
Ilustrasi wajib militer. Foto ; Freepik
Ilustrasi wajib militer. Foto ; Freepik

“The Western nationalism which culminated in general conscription was the product of firmly rooted and emancipated peasant classes.” – Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism).

Sebuah survei dari lembaga kredibel, Statista (2025) mencatat sepuluh negara paling inovatif dalam hal teknologi. Bertumpu pada data yang berasal dari World Intellectual Property Organization ini, indeks tertinggi diraih Swiss dengan skor 66,0, dan selanjutnya ada Swedia, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, Finlandia, Inggris, Belanda, Denmark, dan Tiongkok. 

Dari sepuluh negara tersebut, enam menerapkan wajib militer (konskripsi) hingga saat ini, dan empat meniadakannya. 

Swiss, Swedia, Korea Selatan, Singapura, Finlandia, dan Denmark mewajibkan rakyat mereka untuk terlibat dalam tugas bela negara dalam durasi tertentu. Sepintas data ini berbicara satu poin penting: konskripsi tidak bertentangan dengan inovasi dan kreativitas. 

Di Tiongkok, dengan skor 56,6, jumlah warga negara yang secara sukarela berinisiatif membela negara sudah melampaui kebutuhan, sehingga negara ini tidak lagi perlu secara formal menerapkan kebijakan wajib militer.

Seabad lebih yang lalu George Gordon Coulton dalam The Case for Compulsary Military Service (1917) menulis bahwa wajib militer adalah turunan atau derivat dari kontrak sosial dalam pembentukan negara. 

Bagi Coulton, perjuangan untuk meraih dan mempertahankan kebebasan bagi setiap warga negara justru tertuang secara kokoh dalam bentuk konskripsi. Coulton mengatakan bahwa kemegahan kekaisaran Romawi tidak dapat dilepaskan dari konsripsi militer (Coulton, 1917:8-9). 

Hampir setengah abad sebelum Coulton, dalam surat kabar The South Australian Register (27 Mei 1871), filsuf Utilitarianisme John Stuart Mill memberikan catatan bahwa wajib militer adalah bagian dari hak sipil (civil rights) yang tidak dapat dibantah. 

Filsuf lainnya, Jean-Jacques Rousseau, pernah mengatakan bahwa “it was the duty of every citizen to serve as a soldier” (adalah tugas setiap warga negara untuk mengemban tugas sebagai seorang prajurit) (Flynn, 2002:3).  

Wajib Militer sebagai Tindakan Memaknai

Kembali ke negara yang paling inovatif di dunia, Swiss, Konstitusi 29 Mei 1874 Pasal 18 mengatakan: “Every Swiss citizen is subject to military service. Soldiers who, by reason of the Federal service, lose their lives or suffer permanent disability, have a right to Confederation aid for themselves or their families in case of need” (Setiap warga negara Swiss wajib mengikuti dinas militer. Prajurit yang, karena dinas federal, kehilangan nyawanya atau menderita cacat permanen, berhak memperoleh bantuan dari Konfederasi bagi dirinya sendiri atau keluarganya apabila berada dalam keadaan membutuhkan) (Prasad & Smythe, 1968:124). 

Kebijakan Swiss ini mungkin terdengar biasa, namun saat kita berbicara soal angka, maka per September 2025, kita dapat melihat penghargaan pemerintah Swiss terkait wajib militer. Bila dirupiahkan, mereka yang menjalani program ini mendapatkan 1,2 juta rupiah per hari, dan setelah menyelesaikan masa dinas selama 245 hari mereka memeroleh sekitar 1 miliar rupiah. 

Bila dalam wajib militer mereka mengalami cacat atau meninggal, setiap orang atau keluarga yang ditinggalkan berhak mendapatkan santunan 2,9 miliar rupiah per tahun (Federal Social Insurance Office & Swiss National Accident Insurance Fund, 2025).

Membaca wajib militer di Swiss mungkin lebih tepat sebagai panggilan daripada paksaan. 

Filsuf politik Hannah Arendt mungkin dapat memberi catatan penting tentang mengapa negara ini mewajibkan konskripsi. Dalam karya seminalnya, The Origins of Totalitarianism (2004), Arendt mengidentifikasi tiga peran manusia dalam kehidupan bermasyarakat: labour (bekerja), work (berkarya), dan action (bertindak). 

Mengerjakan pekerjaan sehari-hari adalah bekerja dalam pemahaman Arendt. Berkarya adalah profesi yang dilakoni seseorang untuk menopang hidupnya. Bertindak adalah upaya sadar untuk memahami perannya dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk memaknai peran seseorang bagi dirinya dan bagi orang lain. 

Sehingga seorang hakim menjalani kesehariannya (dimensi bekerja) dalam profesi sebagai hakim (dimensi berkarya) untuk menjadi bagian dari dinamika masyarakat dalam bernegara (dimensi bertindak). 

Perang Dunia Kedua menurut Arendt terjadi karena labour dan work dipisahkan dari action, sehingga birokrasi berubah menjadi satu mesin totaliter.

Dalam konteks inilah mungkin Swiss mewajibkan konskripsi bagi warga negaranya. Wajib militer dilihat sebagai sarana untuk mengukuhkan action sebagai bagian berkesinambungan dari labour dan work. Di sini bertindak bersifat aktif karena negara memang melindungi warganya, dan demikian pula sebaliknya. 

Perlindungan yang diberikan oleh negara menjadi elemen tidak terpisahkan dari bakti warga negara. Dengan kata lain, sekalipun Swiss tidak terlibat dengan konflik bersenjata secara terbuka, keikutsertaan warga negara dalam wajib militer menjadi sarana pendidikan untuk bertanggung jawab terhadap yang lain. 

Untuk membantu kita memahami prinsip dasar pendidikan kesadaran bertindak (action) semacam ini, kita dapat membandingkannya misalnya dengan Prancis, yang warga negaranya “accustomed to the idea of a conscience directed by an institutional hierarchy” (terbiasa dengan prinsip kesadaran yang diarahkan oleh institusi yang hierarkis) (Flynn, 2002:200). 

Pemerintah Prancis tidak lagi mewajibkan konskripsi sejak tahun 1996, setelah sebelumnya mewajibmiliterkan warganya sejak 1798. Singkatnya, mendidik warga negara untuk bisa memaknai peran sosialnya memang membutuhkan peran dari pemerintah.

Catatan Lain tentang Wajib Militer

Swiss dan Prancis dapat dikatakan mewakili dua sikap pemerintah berbeda tentang wajib militer. Bila Swiss masih menganut konskrip mandatoris, maka Prancis menempuh langkah konskrip sukarela. 

Persoalan mewajibkan atau menyukarelakan kewajiban bernegara ini didasarkan atas dua sisi perdebatan. Bagi negara yang mewajibkan, argumennya adalah kendali dan kualitas dari peserta wajib militer. Bagi negara-negara semacam ini, tentara sukarelawan (all-volunteer force/AVF) dapat dipertanyakan kompetensinya, dan sulit dikendalikan terutama dalam masa-masa krisis atau konflik. 

Sebaliknya, bagi negara yang memilih untuk memberikan opsi pada warganya untuk ikut atau tidak dalam pelatihan militer, poin argumentasinya adalah biaya dan motivasi. Tentara sukarela biasanya sangat termotivasi dan dapat dikelola dengan anggaran yang jauh lebih rendah. 

Disposisi pendapat ini yang membuat berbagai negara menempuh jalan yang berbeda dalam mengelola sumber daya manusia pertahanannya (Simon & Abdel-Moneim, 2011:20).

Seorang jaksa di Amerika Serikat, R.C. Johnson mengangkat dua keberatan utama dari mereka yang menolak didaftarkan di wajib militer (non-registration). 

Pertama, dengan menolak berarti warga negara memberikan pernyataan politis atas keberadaan wajib militer. 

Kedua, penolakan tersebut juga dapat dilakukan sebagai bentuk keputusan personal (Johnson 36-37). 

Inti dari kedua sikap tersebut adalah prinsip bahwa wajib militer merupakan sebuah paksaan yang melanggar kebebasan warga negara. 

Kasus yang menimpa legenda tinju dunia di tahun 1960-an, Muhammad Ali, dapat membantu menjelaskan poin yang diangkat oleh Johnson. Dalam Clay v. United States (403 U.S. 698, 1971), Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) mengabulkan banding yang diajukan Ali. 

Di putusan sebelumnya, Ali dinyatakan bersalah karena menolak untuk ikut wajib militer di tahun 1967, dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda 10.000 dolar. 

Dalam putusan mufakat di Mahkamah Agung, Ali dinyatakan tidak bersalah terutama karena sikap politis dan personalnya disebabkan penolakannya atas perang, pandangan religius yang dianutnya (Justia, U.S. Supreme Court, 28 Juni 1971).

Tindakan Bermakna untuk Keunggulan Negara

Wajib militer menjadi problematis bila berpengaruh pada kinerja sebuah negara. 

Bila konskripsi menjadi beban mental dan moral, dampaknya pada masyarakat bersifat destruktif. Sebaliknya, seperti yang dapat dilihat di Swiss dan beberapa negara Skandinavia, wajib militer mungkin menjadi alat edukasi dan panduan untuk bertindak (action), sebagaimana yang dikatakan oleh Arendt. 

Memang korelasi antara wajib militer dengan keunggulan sebuah negara tidak dapat ditentukan. Namun demikian, sebagaimana yang dapat kita lihat di data Statista di paragraf awal tulisan ini, ada kesamaan dari negara-negara yang inovatif. 

Nasionalisme dan kesediaan untuk berkorban bagi yang lain adalah poin-poin penting yang dapat diperoleh dari wajib militer. Bukan kebetulan bila Singapura dan Korea Selatan menerapkan wajib militer bagi warga negaranya, dan bila memang konskripsi tidak memiliki dampak sama sekali, maka konsep ini sudah pasti akan ditinggalkan dan ditanggalkan.

Kewajiban untuk mengadakan atau meniadakan wajib militer diatur dan dijamin oleh hukum. Dengan demikian, pembahasan tentang konskripsi tidak dapat dilepaskan dari perdebatan klasik dalam filsafat hukum mengenai legitimasi pemaksaan oleh negara, kontrak sosial, dan hubungan antara hak dan kewajiban warga negara. 

Jika hukum dipahami semata-mata sebagai perangkat koersif, maka wajib militer hanya akan tampak sebagai instrumen dominasi. 

Namun dalam kerangka pemikiran seperti yang diajukan oleh Rousseau dan dikembangkan kembali oleh Hannah Arendt, hukum juga mengandung dimensi edukatif dan performatif: ia membentuk subjek hukum sekaligus mendidik kesadaran politik warga negara. Wajib militer, dalam hal ini, bukan hanya ekspresi otoritas negara, melainkan pengejawantahan prinsip timbal balik antara negara dan rakyatnya. 

Konskripsi menjadi ruang praksis di mana hukum tidak sekadar memerintah, tetapi mengajak, mengikat, dan mengukuhkan makna partisipasi warga dalam proyek kenegaraan. 

Dengan membaca wajib militer dalam horizon filsafat hukum, kita melihatnya bukan sekadar sebagai kebijakan teknokratis, melainkan sebagai ekspresi dari ide dasar hukum itu sendiri: keadilan, tanggung jawab, dan keterlibatan aktif dalam kehidupan bersama.        

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews