Menu Spesial Keadilan: Pengakuan Bersalah, Restorative Justice, dan Pemaafan Hakim

Pada akhir 2025, pemerintah telah mengesahkan KUHAP baru yang di dalamnya dimuat tentang pengakuan bersalah, restorative justice, dan pemaafan hakim.
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik

Apa yang ada di benak kita saat berkunjung ke sebuah restoran? Pastinya apakah ada menu spesial yang dapat dipesan. Juru masak tentunya harus bisa bekerja keras untuk bisa menghidangkan menu spesial agar pengunjung merasa puas atas hidangan yang disajikan. 

Begitu juga hakim yang harus dapat meracik Pengakuan Bersalah, Restorative Justice, dan Pemaafan Hakim layaknya sup daging hangat agar dapat memberi keadilan bagi semua pihak.

Pada akhir 2025, pemerintah telah mengesahkan KUHAP baru yang di dalamnya dimuat tentang pengakuan bersalah, restorative justice, dan pemaafan hakim. 

Pengakuan bersalah didefinisikan sebagai perjanjian di mana Terdakwa mengakui kesalahannya demi imbalan keringanan hukuman. Bahan ini harus ditakar dengan ukuran. Hanya berlaku bagi Terdakwa yang pertama kali melakukan kejahatan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda Kategori V (Rp500.000.000,00). 

Tidak lupa, Terdakwa juga harus bersedia membayar ganti rugi atau restitusi bagi korban. Seluruh persyaratan ini tertuang lengkap dalam Pasal 78. 

Namun, layaknya hidangan istimewa, mekanisme ini punya pantangan. Ia dilarang untuk kasus-kasus kejahatan serius yang diancam pidana minimum khusus, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (3). Dengan adanya aturan ini, pengakuan bersalah menjadi bahan pertama yang Istimewa.

Kedua, yang tak kalah penting dalam racikan keadilan ini adalah keadilan restoratif. Jika pengakuan bersalah dapat dianalogikan sebagai “potongan daging” yang mempercepat proses, maka keadilan restoratif adalah “kuah hangat” yang bertujuan memulihkan relasi yang rusak akibat tindak pidana. 

Konsep ini didefinisikan dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP baru, yang menempatkan pemulihan terhadap korban sebagai fokus utama, alih-alih semata-mata pembalasan terhadap pelaku.

Keadilan restoratif hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda kategori I, II, atau III, sepanjang perbuatan tersebut bukan merupakan pengulangan dan kerugian yang ditimbulkan telah dipulihkan. 

Prinsip ini bahkan diwajibkan untuk dipertimbangkan oleh penegak hukum pada setiap tahapan proses peradilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 KUHAP baru, yang membuka ruang penyelesaian perkara di luar pengadilan demi tercapainya perdamaian dan pemulihan.

Adapun pengakuan bersalah dalam konteks ini tidak berkedudukan sebagai alat bukti, melainkan sebagai prasyarat prosedural untuk diperiksanya suatu perkara melalui mekanisme pemeriksaan jalur khusus. 

Melalui pengakuan bersalah tersebut, Terdakwa dimungkinkan memperoleh peringanan pidana sekaligus terhindar dari proses pemeriksaan dan pembuktian yang berlarut-larut, sehingga tujuan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan tetap terjaga.

Terakhir, adalah pemaafan hakim. Konsep pemaafan Hakim (rechterlijk pardon) dipahami sebagai mekanisme pengecualian yang memungkinkan hakim menyatakan Terdakwa terbukti bersalah tanpa menjatuhkan pidana, sepanjang tujuan pemidanaan telah tercapai melalui cara lain. 

Inilah sentuhan akhir yang memungkinkan seorang hakim meracik putusan yang syarat dengan keadilan substantif.

Diatur dalam Pasal 104, Pemaafan Hakim memberikan diskresi kepada Hakim untuk menyatakan Terdakwa terbukti bersalah, tetapi pada saat yang sama, memutuskan tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan jika Terdakwa telah menunjukkan penyesalan yang mendalam dan beritikad baik untuk tidak mengulangi kejahatannya. 

Ini berlaku terutama jika perbuatan tersebut telah menimbulkan penderitaan yang cukup bagi Terdakwa atau keluarganya.

Kembali ke pertanyaan krusial, mungkinkah pengakuan bersalah, restorative justice, dan pemaafan hakim diolah dan disajikan dalam satu putusan tunggal? Jawabannya adalah sangat mungkin secara teori. 

Meskipun bukan dalam arti diterapkan secara terpisah. Ketiganya bersinergi dalam sebuah alur logis yang berujung pada keadilan tertinggi. 

Agar "menu spesial” keadilan ini dapat disajikan, Hakim harus memastikan Terdakwa dan kasusnya memenuhi prasyarat gabungan yang ketat. 

Pertama, perkara haruslah kasus ringan dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun, serta Terdakwa haruslah baru pertama kali berbuat kejahatan, sesuai batasan Pengakuan Bersalah (Pasal 78). 

Kedua, Terdakwa wajib memberikan bukti nyata dari keadilan restoratif dengan membuat kesepakatan perdamaian dengan korban. Setelah semua syarat “daging” dan “kuah” terpenuhi, Hakim akhirnya punya “garnish” berupa legitimasi yang kuat untuk menerapkan diskresi Pemaafan Hakim (Pasal 104), yakni menyatakan Terdakwa bersalah tetapi tidak menjatuhkan pidana. 

Dengan demikian, pengakuan bersalah dan keadilan restoratif berfungsi sebagai pertimbangan yang membenarkan dan memantapkan Hakim untuk mengeluarkan amar putusan berupa pemaafan Hakim, menjadikan putusan tersebut sebagai menu spesial yang istimewa.

Layaknya sebuah restoran yang menjaga reputasinya, hidangan istimewa ini tidak boleh diobral. Bila diskresi pengakuan bersalah dan pemaafan Hakim dikeluarkan setiap saat, Pasal 78 dan Pasal 104 akan kehilangan sifat eksklusifnya, yang pada akhirnya akan merusak efek jera dan prinsip kepastian hukum. 

Ketiga hal tersebut merupakan mechanisms of exception, bukan mechanisms of routine. Jika Hakim terlalu mudah memberi pemaafan, sekalipun dilandasi semangat restorative justice, maka Hakim akan berisiko kehilangan kepercayaan publik. 

Oleh karena itu, ketiganya harus digunakan sebagai pengecualian yang terukur. Sebuah keputusan yang hanya dikeluarkan ketika keadilan substantif benar-benar menuntut Hakim untuk beranjak dari formalisme pidana.

Daftar Rujukan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2025 tentang KUHAP
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023  Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan restoratif.
Aji, Mas Toha Wiku. (2024). Praktik Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Tesis Magister, Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Maulana, Aby. 2017. “Pengakuan Bersalah Terdakwa dalam Perkembangan Pembuktian Peradilan Pidana Indonesia.” Jurnal (ISSN 2579-5198), Vol. 13, No. 2, Oktober 2017, hlm. 65–[isi sesuai jurnal]. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Meliala, Nefa Claudia. 2020. “Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim): Suatu Upaya Menuju Sistem Peradilan Pidana dengan Paradigma Keadilan restoratif.” Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 8, Issue 3, Desember 2020.
E-ISSN 2477-815X, P-ISSN 2303-3827. Jurnal Terakreditasi Nasional berdasarkan Keputusan Nomor 30/E/KPT/2018.